Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan menenggelamkan kapal ikan asing yang tertangkap mencuri ikan yang gencar dilakukan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti (2014-2019) sempat berhenti ketika Edhy Prabowo menjadi menteri. Kini kebijakan itu kembali dihidupkan oleh M
Jumlah kapal yang tertangkap ini sebenarnya tergolong sedikit dibandingkan dengan angka riil kapal ikan asing yang masuk ke perairan Indonesia di Natuna.
Jumlah kapal patroli kita sangat terbatas dan butuh sepuluh jam untuk mengejar kapal pencuri dari Natuna ke laut di bagian atasnya.
SATU per satu kapal ikan asing yang bersandar di Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Batam, Kepulauan Riau, menghilang dari permukaan. Pada 3 Maret lalu, pemerintah menenggelamkan sepuluh kapal nelayan asing di perairan Air Raja, Galang, Batam. Kapal-kapal itu dikaramkan dengan cara dilubangi lambungnya, kemudian diisi dengan air dan diberi pemberat. Bangkai kapal-kapal itu diharapkan bisa menjadi rumah ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Armada penangkap ikan luar negeri itu, yang ditangkap oleh kapal patroli Indonesia pada 2020, dikirim ke dasar laut setelah kasusnya rampung di pengadilan atau sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar dalam siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 21 April lalu mengatakan, "Diharapkan penenggelaman ini memberikan efek gentar bagi kapal-kapal asing yang masih berani mencuri di perairan kita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sepuluh kapal yang ditenggelamkan itu, delapan berbendera Vietnam dan dua berbendera Malaysia. Kapal nelayan Vietnam itu ditangkap di perairan Natuna pada 2020. Sedangkan kapal nelayan Malaysia ditangkap di Selat Malaka. "Tahun ini sudah ada 26 kapal yang ditenggelamkan," kata Pung Nugroho Saksono, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu, 25 Agustus lalu.
Kabar penenggelaman itu seperti pemberitahuan kepada masyarakat internasional bahwa era penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia sudah kembali. Kebijakan yang gencar dilaksanakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (2014-2019) ini berhenti ketika ia digantikan Edhy Prabowo. Kini kebijakan itu kembali saat Sakti Wahyu Trenggono menjadi menteri, menggantikan Eddy yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus korupsi.
Penenggelaman dan penangkapan kapal asing memang tak lantas membuat angka kasus pencurian ikan turun. Menurut data Kementerian Kelautan, sejak 2015 kecenderungan pencurian masih tinggi dan Laut Natuna Utara paling banyak menjadi sasaran. Pada 2015, sebanyak 60 kapal Vietnam ditangkap di Laut Natuna Utara dan pada tahun berikutnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 140 kapal. Dari total penangkapan 486 kapal, 286 kapal ditangkap di Natuna dan semuanya asal Vietnam.
Jumlah kapal yang tertangkap ini sebenarnya tergolong sedikit dibanding angka riil kapal ikan asing yang masuk ke perairan Indonesia di Natuna. Menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), berdasarkan analisis citra satelit ESA Sentinel-2 dan data Automatic Identification System pada Februari- April 2021, ada puluhan kapal ikan Vietnam yang mengintrusi. Namun jumlah yang ditangkap pada waktu itu jauh dari angka tersebut.
Ada banyak hal yang mendorong kapal Vietnam masuk ke perairan Indonesia. Salah satunya habisnya stok ikan di negaranya. Selain itu, menurut peneliti IOJI, Andreas Aditya Salim, aksi itu adalah bagian dari "politik kedaulatan". "Keberadaan nelayan itu ditujukan untuk menjaga konsistensi kehadiran. Ini bisa mempengaruhi perundingan soal batas maritim," ucap Andreas dalam webinar tentang intrusi kapal ikan Vietnam, 30 April lalu.
Pung Nugroho mengatakan memang ada soal tumpang-tindih klaim perbatasan dua negara di Laut Natuna Utara—sebutan resmi untuk daerah yang kita kenal sebagai Laut Cina Selatan itu. Indonesia menggunakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diukur dari 200 mil di atas air dari pulau terluar. Adapun Vietnam menggunakan landas kontinen, yakni dari dasar laut pulau terluar sampai palung habis. "Sudah ada upaya untuk menyelesaikan masalah ini," tuturnya.
Tempo berupaya meminta konfirmasi mengenai kabar penangkapan kapal Vietnam ini dari Kedutaan Besar Vietnam di Jakarta. Permintaan konfirmasi dilayangkan melalui surat elektronik tertanggal 23 Agustus 2021, tapi belum ada balasan hingga Sabtu, 28 Agustus lalu. Pertanyaan juga disampaikan melalui salah satu diplomat Kedutaan Vietnam di Jakarta. Namun belum ada jawaban atas pertanyaan tentang penangkapan kapal dan klaim batas wilayah.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Kepresidenan Alan F. Koropitan mengatakan, dalam sengketa wilayah ini, Indonesia berusaha mematuhi peraturan internasional dengan tak melakukan tindakan keras terhadap kapal nelayan asing di daerah itu. Namun pemerintah berusaha meningkatkan kehadiran fisik di kawasan tersebut. "Termasuk (berupaya) agar banyak nelayan kita di sana," katanya. Pada awal 2020, pemerintah mendorong nelayan cantrang dari Tegal, Jawa Tengah, untuk melaut ke Natuna. Tapi hasilnya tak berjalan sesuai dengan harapan.
Indonesia juga punya area abu-abu dengan Cina. Cina menggunakan konsep nine-dash line dan tidak mengakui ZEE Indonesia. Wilayah abu-abu inilah yang menjadi alasan kapal patroli Cina sesekali terlihat di Natuna. Tapi, selama 2021, kapal patroli Indonesia belum pernah bertemu dengan mereka ataupun kapal nelayan Cina seperti pada tahun sebelumnya. "Untuk kapal Tiongkok, kami sampai saat ini belum bertemu di Natuna Utara," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Suharta.
Kapal dan nelayan Cina bukannya tak ada di area itu sama sekali. Ketua Asosiasi Nelayan Natuna, Hendri, mengungkapkan, pada 19 Maret lalu, nelayan Natuna melihat kapal penjaga pantai dengan nomor lambung 171 sedang berada di perairan Natuna. Tak jauh dari kapal itu, tampak sejumlah kapal nelayan. Ia yakin itu kapal penjaga pantai Cina dari nomor lambungnya. "Kan, tak mungkin mereka mengawal kapal nelayan Vietnam," ucapnya, 8 Juni lalu.
Aparat penegak hukum Indonesia mengaku memiliki banyak keterbatasan dalam menghadapi intrusi kapal Vietnam yang jumlahnya sangat banyak. "Harus diakui jumlah kapal kita sangat terbatas. Kapasitasnya juga. Untuk mengejar dari Natuna ke (laut bagian) atas perlu waktu 10-12 jam," kata Suharta. Menurut Pung Nugroho, kementeriannya kini memiliki enam kapal patroli di sana. Selain itu, ada kapal Badan Keamanan Laut, Korps Kepolisian Perairan dan Udara, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, serta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. "Kami terus berkoordinasi."
Masalah waktu juga dihadapi Kepolisian Perairan, yang memiliki setidaknya dua armada untuk menjaga kawasan perairan ini. Menurut Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Ajun Komisaris Besar Yuldi Yusman, polisi melakukan patroli setelah mendapat informasi intelijen. Tapi dia mengaku dibutuhkan waktu berjam-jam hingga mereka bisa mengecek atau mengejar kapal. Sebab, kapal patroli polisi berada di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dan membutuhkan waktu enam-delapan jam untuk tiba di Natuna.
Kapal patroli Vietnam, menurut Yuldi Yusman, juga mengintai gerak-gerik kapal patroli Indonesia. Informasi inilah yang dibagikan kepada nelayan mereka. Yuldi mengungkapkan, saat ada laporan tentang kapal Vietnam yang masuk ke wilayah Indonesia, kapal patroli polisi langsung dikirim ke area itu. "Tapi, sesampai di sana, kapal Vietnam itu sudah di daerah aman, di luar ZEE kita," ujarnya.
Nelayan Vietnam juga sepertinya mempelajari pola patroli kapal Indonesia. Menurut Suharta, dulu kapal Vietnam kerap bergerombol saat berada di perairan Natuna. Dalam kondisi seperti itu, kapal patroli Indonesia bisa menangkap empat-lima kapal dalam sekali pengejaran. Belakangan, mereka hanya bisa menangkap satu-dua kapal dalam setiap operasi. Nelayan Vietnam makin lihai mencari celah untuk menghindari penangkapan. "Kayak kucing-kucingan," tuturnya.
Hendri mengatakan kapal patroli kita di lautan itu mungkin perlu diperbanyak. "Nelayan jarang ketemu kapal patroli kita," katanya, Senin, 23 Agustus lalu. Pada 2014-2019, hampir selalu ada kapal patroli yang bersiaga di sebuah pelabuhan kecil di Natuna. Kini pemandangan itu jarang terlihat. Pung Nugroho mengatakan nelayan jarang bertemu dengan kapal patroli mungkin karena jam operasi yang berbeda. Kapal patroli juga lebih banyak berada di perbatasan yang lokasinya lebih dari 100 mil dari daratan.
KRISNA PRADIPTA BERKONTRIBUSI DALAM PENULISAN ARTIKEL INI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo