Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Sepanjang Hanya Kebebasan Berekspresi, Tidak Ada Masalah

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan polisi mengutamakan langkah damai melalui mediasi dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Seberapa efektif?

 

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU ITE tidak menghentikan pemidanaan di ruang digital.

  • Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta penyidik memprioritaskan langkah damai dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran UU ITE.

  • Listyo meminta penyidik dapat membedakan antara kritik masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidanakan.

UPAYA pemidanaan seseorang dengan jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik masih terjadi meski telah terbit Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang ITE. Surat keputusan yang diteken Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 23 Juni lalu itu dibuat untuk menjadi pedoman agar tidak ada lagi jerat pasal karet dalam undang-undang tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga pekan setelah dilantik sebagai Kepala Polri pada 27 Januari lalu, Listyo pun sudah menerbitkan surat edaran yang meminta penyidik mengutamakan langkah damai melalui mediasi dalam menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE. Dia meminta penyidik, saat menerima laporan, dapat membedakan antara kritik masukan, hoaks, dan pencemaran nama yang dapat dipidanakan. Polisi baru memprosesnya secara hukum bila upaya mediasi tak membuahkan hasil. “Tapi lebih banyak yang diselesaikan secara restorative justice,” ucap Listyo dalam wawancara khusus dengan Tempo di Markas Besar Polri, Jumat, 13 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemunduran hak kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, tersebut menjadi perhatian sejumlah organisasi hak asasi manusia. Amnesty Internasional Indonesia, misalnya, menilai merosotnya kebebasan sipil dapat dilihat dari sejumlah insiden belakangan ini, seperti kriminalisasi menggunakan pasal bermasalah dalam Undang-Undang ITE dan serangan digital terhadap pengkritik pemerintah. 

Salah satu kasus yang mendapat perhatian publik adalah pemeriksaan terhadap Lembaga Bantuan Hukum Padang atas karikatur yang mengkritik penghentian penyelidikan kasus dugaan penyelewengan anggaran Covid-19 di Sumatera Barat. Listyo mengatakan Kepolisian Daerah Sumatera Barat masih melakukan klarifikasi untuk mengetahui latar belakang pembuatan karikatur tersebut. “Jika kemudian diketahui itu semata-mata bentuk kritik, penyidik ingin melihat apa yang melatarbelakangi kritik itu, sehingga penyidik dapat memperbaiki kritik tersebut,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Anton Aprianto dan Linda Trianita, Listyo menjelaskan upaya Polri dalam mengutamakan keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus, peran Polri dalam penanganan Covid-19, hingga penanganan kasus-kasus terorisme. Listyo juga menjawab beberapa pertanyaan Tempo melalui pesan WhatsApp pada Ahad, 15 Agustus lalu.

Polda Sumatera Barat memanggil Ketua LBH Padang dalam kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian. Mengapa kasus seperti ini masih terjadi ketika sudah ada SKB pedoman implementasi atas Undang-Undang ITE?

Pada Juli lalu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Barat melakukan patroli siber dan menemukan konten berupa karikatur kepala tikus menggunakan baju oranye dan baju polisi yang diunggah oleh akun Instagram @lbh_padang. Penyidik kemudian melakukan penyelidikan untuk mengetahui motif pemilik akun @lbh_padang. Akun itu digunakan oleh LBH Padang. Sebagai lembaga di bidang hukum, seharusnya LBH Padang memahami etika, sopan santun, dan norma-norma hukum dengan tidak mengunggah konten berisi informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE.

Bagaimana Mabes Polri mengawasi potensi penyimpangan aturan oleh petugas di daerah dan memastikannya tidak terulang?

Polri telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari 2021 dan Surat Telegram Kapolri tanggal 22 Februari 2021. Dalam aturan tersebut dijelaskan, satuan kerja wilayah dalam menangani Undang-Undang ITE dan undang-undang terkait agar melakukan gelar perkara di tingkat markas besar dalam tahap penyidikan dan penetapan tersangka. Selanjutnya, dalam penanganan perkara ITE, Polri berpedoman pada SKB tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam Undang-Undang ITE. 

Bagaimana urutan kebijakan penanganan Undang-Undang ITE?

Polri mengedepankan upaya pre-emptif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert. Dalam menerima laporan, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik masukan, hoaks, dan pencemaran nama yang dapat dipidana. Penyidik diminta berkomunikasi dengan para pihak, terutama korban (tidak diwakilkan), dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak untuk melaksanakan mediasi. Penyidik berprinsip, hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Mengapa Anda memilih pendekatan keadilan restoratif?

Ada beberapa kasus menonjol ketika kami mengejar kepastian hukum. Semuanya diselesaikan dengan menuntaskan kasus tersebut sampai di pengadilan. Sementara itu, sebenarnya kasus-kasus tersebut bisa kami bantu selesaikan dalam bentuk restorative justice. Contohnya, dulu pernah viral kasus Nenek Minah yang mengambil kakao. Karena mungkin sudah kesekian kalinya, pemilik kakao melaporkannya. Dia mengambil hanya untuk kebutuhan hidupnya. Sebenarnya ini bisa diselesaikan dengan mediasi. Hal-hal seperti ini harus kami evaluasi sehingga masyarakat betul-betul merasa tidak semuanya bisa selesai sampai di pengadilan.

Bagaimana jika mediasi berakhir buntu?

Kalau sudah maksimal dan mediasi tetap tidak bisa jalan, kami tetap akan proses hukum. Tapi lebih banyak yang diselesaikan secara restorative justice.

Anda memimpin Polri di tengah kondisi sulit. Bagaimana tugas Kepala Polri dalam konteks penanganan pandemi Covid-19?

Program saya salah satunya adalah mendukung seluruh program pemerintah. Ada dua hal yang paling berat saat ini, yaitu penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Dalam hal penanganan Covid-19, mau tidak mau saya harus turun, polisi harus turun, karena ini menjadi masalah bersama, termasuk menjadi masalah polisi karena banyak anggota kami yang terjangkit. Kalau kami tidak berada di lapangan, kepatuhan yang diharapkan serta distribusi dan akselerasi program vaksinasi tidak akan berjalan.

Apa saja tugas polisi?

Kami melaksanakan 3T (testing, tracing, treatment), 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak), dan vaksinasi.

Bagaimana dengan penegakan hukum?

Penegakan aturan mengenai pelanggaran terhadap kepatuhan juga harus kami laksanakan.

Masyarakat tampak ketakutan bila ada aparat muncul sehingga ada kesan mereka dipaksa. Bagaimana agar polisi memberikan kesadaran, bukan penegakan hukum?

PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) kan ada level-levelnya. Pada saat itu harus dilaksanakan lebih ketat, kami datang mengedukasi masyarakat dengan sentuhan-sentuhan humanis. Saya mencoba memberikan contoh kepada masyarakat. Pada saat saya di Solo, Jawa Tengah, saya datangi pedagang angkringan. Saya ajak mereka bicara. Pada saat (PPKM) mulai dilonggarkan, kami harus bisa lebih tegas dalam penegakan protokol kesehatan. Pelonggaran sudah dilakukan tapi kewajiban mematuhi protokol kesehatan harus tetap dilaksanakan.

Pada titik mana penegakan hukum harus dilakukan?

Sebagai contoh, kerumunan. Apalagi di dalam kerumunan itu ada orang buka masker. Pelanggaran-pelanggaran seperti itu yang harus kami berikan tindakan keras. Artinya, harus kami proses supaya ada jera, supaya yang lain tidak ikut. Seperti kemarin acara pernikahan yang dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Yang gitu-gitu harus kami proses.

(Kepolisian Resor Banyuwangi memeriksa SA, anggota DPRD Banyuwangi, yang mengelar resepsi pernikahan di tengah PPKM pada 24 Juli lalu.)

Bagaimana Anda memberikan contoh dari sisi protokol kesehatan?

Kami turun ke lapangan untuk mengedukasi. Kami menjelaskan manfaat memakai masker, mengapa setelah divaksin harus tetap memakai masker. Masker dipakai, selain untuk melindungi diri sendiri, juga untuk melindungi keluarga. Kami harus terus-menerus mengajak bicara semua tokoh.

Hasil survei menunjukkan di beberapa tempat banyak orang termakan hoaks, terutama informasi tentang vaksinasi. Bagaimana polisi memerangi hoaks seputar pandemi?

Dari hasil survei, 30 persen masyarakat tidak setuju divaksin. Dari 30 persen itu kemudian kami urai, ada yang takut vaksin, ada yang memang tidak percaya vaksin. Seperti kemarin muncul dokter Lois (Owien, dokter yang tidak percaya Covid-19). Karena banyak masyarakat yang tidak setuju, tentunya akan mempengaruhi yang lain. Hal-hal seperti itu, kan, harus kami tegur. Tahap ditegurnya sampai seberapa, akan kami buat agar tidak ada tindakan kami yang menghalangi kebebasan berpikir seseorang. Kalau itu bagian dari ruang diskusi atau ilmiah, ya, silakan saja. Tapi tidak kemudian melakukan hal-hal yang sifatnya memprovokasi dan kemudian ada potensi pidananya. 

Seperti apa peran polisi virtual dalam menertibkan hoaks di media sosial?

Zaman dulu, begitu ada pelanggaran Undang-Undang ITE, kan langsung kami tangkap. Tapi dengan virtual police itu potensi pelanggaran biasanya kami bicarakan dengan para ahli. Bila menurut ahli itu ada potensi pelanggaran pidana, kami berikan teguran. Direct message supaya dia paham. Dari sekian itu, banyak yang kemudian berterima kasih dan tidak akan mengulangi. Itu juga besar jumlahnya.

Tapi masih ada juga yang melakukannya.

Masih. Karena orang menyampaikan (hoaks) ada yang motifnya karena pengetahuannya, pemahamannya, memang seperti itu. Tapi ada juga yang konteksnya memang ingin membuat situasi menjadi tidak bagus. Itu yang harus kami luruskan.

Bagaimana supaya tidak memberi kesan polisi mengekang kebebasan berpendapat?

Sepanjang sekadar kebebasan berekspresi, bagi kami ndak ada masalah, kok. Yang biasanya kami proses itu kalau kami temukan bukan sekadar ingin berekspresi, tapi di dalamnya sudah ada struktur untuk membuat huru-hara. Kemudian kalau di sini muncul masalah, nanti kelompok ini yang bergerak.

Sepanjang personal dan sifatnya spontan tidak apa-apa?

Enggak. Dokter Lois kami panggil, habis itu sudah, pulang.

Apakah ada jaringan yang memproduksi hoaks tentang pandemi?

Pasti ada.

Mengapa tidak ditindak?

Kami masih terus mengawasi kelompok-kelompok seperti itu. Ada juga kemarin yang polanya begitu, langsung kami tangkap, kami periksa, dan pulangkan. Ada juga yang nanti kami analisis apakah ini perlu kami proses lebih lanjut atau tidak. Tapi upaya-upaya untuk memberikan pemahaman dan pengertian kepada mereka sekarang jauh lebih besarlah daripada yang kami proses.

Polisi pernah menemukan kelompok yang memproduksi hoaks untuk komersial?

Ada. Beberapa waktu lalu kami pernah mengungkap beberapa yang memproduksi dengan nilai sekian. Tapi saat ini jauh lebih kecil. Pemahaman kelompok-kelompok tertentu terhadap hal-hal seperti itu pasti akan ada terus. Apalagi yang dalam posisi berseberangan. Sudah pasti apa pun akan dilakukan manakala dia melihat bahwa itu tidak pas. Tapi kami masih melihat itu masalah kritik, kebebasan berekspresi. Jadi yang seperti itu masih kami kasih ruang.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan, Anda berkomitmen tidak akan pandang bulu terhadap personel kepolisian. Bagaimana pelaksanaannya?

Aturannya sudah jelas. Kami ada parameter seberapa besar toleransi bisa kami berikan. Sepanjang toleransi itu bisa kami berikan, kami berikan teguran. Tapi kalau memang hal tersebut berdampak kepada institusi, beberapa macam tindakan bisa dilakukan, dari diperiksa, diproses kode etik, demosi atau pencopotan, hingga pemindahan. Termasuk juga kalau melakukan pidana tertentu, seperti beberapa kasus sebelumnya, ya, kami proses saja. Masyarakat kan melihat ini polisi sungguh-sungguh atau tidak.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meninjau Pasar Modern BSD Serpong, Tangerang Selatan, Banten, untuk memastikan protokol kesehatan dan ketersedian kebutuhan pangan yang dijual di pasar tersebut , 29 Juli 2021. ANTARA/Muhammad Iqbal

Sejauh ini sudah dijalankan dengan baik?

Ada lah beberapa masalah yang kami masukkan di porsi menangani kode etik, kami proses pidana. Tapi yang masih bisa diperbaiki, juga kami perbaiki.

Bagaimana perkembangan penanganan kasus-kasus terorisme?

Masih berlanjut, utamanya Poso, ya. Kalau Papua kan pandangannya beda. Pendekatan kami di sana juga soft dan hard. Di Poso juga sama. Yang di atas ini kan juga merupakan bagian dari representasi, anggap saja bentuk perlawanan oleh kelompok tertentu yang ideologinya teroris. Padahal yang diselesaikan kan tidak hanya yang di atas, tapi yang memiliki pandangan sama juga harus kami garap khusus dengan pendekatan moderasi beragama, memberikan pemahaman lebih moderat.

Apakah sel-sel teroris masih aktif selama masa pandemi, termasuk sel Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Makassar?

Masih ada.

Pengejaran masih berlangsung?

Itu kan dampak pengaruh lingkungan strategis luar negeri yang lebih dominan, ya. Jadi peristiwa di Timur Tengah, peristiwa perang antar-negara besar di sana, dampaknya akan membuat orang yang ideologinya sama berangkat atau justru sebaliknya. Pada saat mulai melandai, mereka masuk dan menganggap ini sebagai bagian dari wilayah yang bisa digunakan untuk melakukan perjuangan. Ini treatment-nya beda, khusus.

Apa bedanya dengan pendekatan kontraterorisme di Papua?

Di sana banyak juga yang mudah digerakkan karena kesenjangan pantai dan gunung, kesenjangan pendidikan. Makanya kami juga punya Program Binmas Noken dan Polisi Pi Ajar atau polisi pergi mengajar. Yang kira-kira harus diangkat kemampuannya di bidang pertanian dan peternakan, kami masuk di situ. Kami mencoba bekerja sama dengan kementerian supaya program-program itu bisa jalan. Apalagi sekarang revisi Undang-Undang Otonomi Khusus sudah jalan sehingga kami akan lebih tepat sasaran sampai di masyarakat.

Sejak menjabat Kepala Polri, seberapa sering Anda berkunjung ke Papua?

Sudah beberapa kali.

Benarkah Organisasi Papua Merdeka selama ini bertalian dengan sebagian pejabat daerah di Papua?

Tidak dimungkiri ada irisan-irisan itu.

Bagaimana Anda menanggapi kasus Akidi Tio yang kini sedang hangat diperbincangkan masyarakat?

Ya, ndak boleh ceroboh dalam hal-hal seperti ini. Semua ada aturannya. Kami harus tahu dari mana sumbernya, prosedurnya juga harus seperti apa.

Interpol telah menerbitkan red notice terhadap Harun Masiku. Bagaimana peran Polri dalam membantu pencarian Harun?

Kalau Harun Masiku, sih, konsep kami sama. Kalau kami diminta bantuan khusus untuk melakukan pencarian, pasti kami akan bantu. Tapi biasanya DPO (daftar pencarian orang) itu sudah dikirim. Memang bagus dibentuk tim khusus untuk mencari dia.

Bagaimana Anda menanggapi kontroversi tes wawasan kebangsaan untuk pegawai KPK?

Kalau kaitannya dengan TWK (tes wawasan kebangsaan) dan sebagainya, kami dalam posisi ini kan (pegawai) sudah bekerja, pernah ada Indonesia Memanggil, jadi tentunya harus ada pemberlakuan khusus.


LISTYO SIGIT PRABOWO | Tempat dan tanggal lahir: Kota Ambon, Maluku, 5 Mei 1969 | Pendidikan: Akademi Kepolisian (1991), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (1998), Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (2006), S-2 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (2008), Lembaga Ketahanan Nasional (2017) | Karier: Kepala Kepolisian Resor Pati (2009), Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang (2010), Kepala Kepolisian Resor Surakarta (2011), Kepala Subdirektorat II Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri (2012), Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (2013), Perwira Menengah Staf Sumber Daya Manusia Polri, penugasan pada Sekretariat Militer Presiden sebagai Ajudan Presiden RI (2014), Kepala Kepolisian Daerah Banten (2016), Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (2018), Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (2019), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (sejak Januari 2021) | Penghargaan: Satyalancana Dwidya Sistha (2002), Satyalancana Dharma Nusa (2007), Bintang Bhayangkara Nararya (2016), Satyalancana Ops Kepolisian (2019), Bintang Bhayangkara Pratama (2019), Satyalancana Karya Bhakti (2020), Satyalancana Jana Utama (2020), Satyalancana Bhakti Buana (2020), Bintang Bhayangkara Utama (2021).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus