Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Alih fungsi lahan yang sebelumnya dipenuhi pepohonan lalu menjadi kawasan industri, diklaim menjadi pemicu fenomena cuaca ekstrem berupa puting beliung, di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kawasan itu telah beralih fungsi, perubahan tata guna lahan yang semula hujan jati, berubah jadi kawasan industri. Biasanya rawan diterjang pusaran angin," kata Profesor Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, melalui keterangannya, Jumat, 23 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy mengatakan, kawasan industri cenderung menghasilkan gas emisi dan biasanya sulit terurai ke atmosfer. Hal ini merupakan efek rumah kaca. "Dengan lama penyinaran matahari lebih dari 12,1 jam, maka kawasan ini sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari," kata Eddy.
Perbedaan suhu yang signifikan antara siang dan malam itu, menurut Eddy, membuat kawasan di sekitar Rancaekek berada di tekanan rendah. Akibatnya, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek dan memunculkan pembentukan gumpalan awan-awan cumulus.
"Proses pembentukan kumpulan massa uap air menjadi awan cumulus agak lama, sekitar 24 hingga 48 jam. Proses ini dikenal dengan nama Pre-MCS. Setelah dirasa cukup, maka lambat laun awan cumulus membesar dan membentuk awan cumulonimbus," ujar Eddy.
Mekanisme pembentukan awan cumulonimbus di Rancaekek pada Kamis, 22 Februari 2024, dinilai Eddy sangat kompleks. Kendati demikian, dugaan dari hasil risetnya mencatat bahwa adanya pertemuan dua massa uap air dari arah barat dan timur, lalu mengalami degradasi panas yang cukup tajam.
Walaupun begitu, Eddy mengakui bahwa fenomena cuaca ekstrem seperti puting beliung sangat sulit diprediksi kapan terjadinya di Indonesia. Kondisi ini didasari oleh beberapa faktor, di antaranya adalah terbatasnya pemahaman soal proses pembentukannya. "Jadi wajar kalau semisal ada yang berbeda pandangan soal puting beliung ini," ucap Eddy.
Puting beliung juga fenomena yang langka di Indonesia. Eddy mengatakan bencana ini tidak bisa dicegah tapi dampaknya kerusakannya bisa dihindari. "Jangan merusak lingkungan dan perbanyak menanam pohon. Back to nature agar laju global warming bisa kita redam," kata Eddy.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.