Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Penghidupan di Sungai Batang Muar

Sungai Batang Muar di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, menjadi urat nadi aktivitas masyarakat.

18 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemilik perahu ketek memberikan jasa penyeberangan masyarakat di Sungai Batang Muar.

  • Pengangkutan tandan buah segar sawit pun menggunakan perahu ketek di Sungai Batang Muar.

  • Ternak kerbau juga digembalakan di tepi Sungai Batang Muar.

WAKTU menunjukkan pukul 14.05 ketika puluhan pekerja PT Alno Agro Utama-Air Ikan Estate, dengan menumpang truk, tiba di tepi Sungai Batang Muar, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Para pekerja perkebunan sawit itu hendak pulang ke rumah mereka di Desa Talang Arah, Desa Air Merah, dan Desa Serambi Baru menggunakan perahu ketek. "Kalau pagi kami dijemput perahu ketek perusahaan, pas jam 6 pagi," ujar Ahmad Laka, salah satu pekerja yang ditemui pada Sabtu, 3 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria 46 tahun itu mengatakan ketika kembali ke permukimannya, dia harus membayar sendiri biaya transportasi sebesar Rp 5.000 per trip. Sebagai pekerja harian lepas, Ahmad mengatakan ia dibayar Rp 110 ribu per hari. "Tugasnya memanen sawit dan membersihkan pelepah," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad bercerita, kesulitan dalam bekerja muncul ketika musim hujan tiba. Menurut dia, Sungai Batang Muar yang berhulu di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) setiap tahun meluap. Kondisi terparah, kata dia, terjadi 10 tahun lalu, ketika aliran sungai bergeser sekitar 50 meter. "Permukiman lama kami juga ada di seberang sungai yang dekat lahan perkebunan PT Air Ikan Estate," ucapnya.

Pemindahan permukiman ke lokasi yang lebih tinggi, menurut Ahmad, terjadi pada 1918. Kala itu sempat terjadi banjir bandang sehingga pemerintah menginisiasi relokasi rumah warga. "Waktu itu pasirah atau camat yang bernama Abu Hurairah yang membantu kami pindah ke permukiman baru," kata Ahmad, yang merupakan warga Desa Air Merah.

Parades, 31 tahun, mengatakan memiliki perahu ketek angkutan sejak setahun lalu. Ia mengeluarkan uang sekitar Rp 7 juta agar bisa memiliki satu unit transportasi andalan warga Malin Deman di Sungai Batang Muar tersebut. Menurut dia, di sepanjang Sungai Batang Muar terdapat 100 perahu ketek. "Mesin keteknya itu beli Rp 2 juta. Kalau perahu ukuran segini tidak kurang dari Rp 5 juta," ujar Parades, Sabtu, 3 Juni lalu.

Pria yang tinggal di Desa Talang Arah ini bercerita, dari jasa menyeberangkan warga Malin Deman itu, ia bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp 100 ribu per hari. Namun itu hanya pada hari Sabtu, ketika banyak warga beraktivitas. "Kalau Senin sampai Kamis, agak sedikit yang menyeberang," ucapnya.

Menurut dia, selain mengangkut warga desa, pemilik perahu ketek membantu menyeberangkan sepeda motor. Parades mengatakan tarifnya berkisar Rp 25-30 ribu per sepeda motor. "Kalau motor bebek itu yang harganya Rp 25 ribu. Kalau agak besar kenanya Rp 30 ribu," tuturnya.

Sumber pendapatan lain bagi para pemilik perahu ketek, kata Parades, adalah mengumpulkan batu dari dasar Sungai Batang Muar untuk dijual. Harga batu yang dikumpulkan sekitar Rp 150 ribu per meter kubik. "Kalau air jernih bisa mengumpulkan sekitar 3 meter kubik per hari."

Selain itu, kata Parades, pengangkutan tandan buah segar sawit menjadi sumber pendapatan. Ia mengatakan minimal dalam sepekan bisa mendapat dua kali orderan mengangkut sawit. "Tarifnya tergantung jarak. Kalau dekat Rp 100 ribu per ton. Kalau jauh bisa sampai Rp 300 ribu per ton," ujarnya.

Warga Talang Arah lain, Raka, mengatakan aktivitas lain warga di tepi Sungai Batang Muar adalah menggembalakan kerbau. Hampir setiap sore pemilik kerbau datang ke tepi sungai untuk memberikan air garam kepada ternaknya. "Gembala kerbau ini mengusir suntuk sehabis kerja," kata Raka saat ditemui Tempo, Sabtu, 3 Juni lalu.

Meski ada ratusan kerbau yang mendatanginya, pria 27 tahun itu hanya akan memberikan semprotan air garam kepada kerbau miliknya. Ia mengenali ternaknya melalui model sayatan pada telinga kerbau. "Kami hafal karena tanda di telinganya beda-beda," ucapnya.

Menurut Raka, pemilik kerbau di Malin Deman sekitar 70 orang, yang bergabung dalam kelompok petani. Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebutkan jumlah ternak kerbau di Malin Deman sebanyak 729 ekor. "Kalau jumlah yang punya pasti bertambah lagi meski tidak gabung di kelompok," tuturnya.

Raka mengatakan belajar ternak kerbau dari kakeknya. Dia ketika itu masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar. "Kalau sekarang sudah punya sendiri sebanyak sembilan ekor," ujarnya. Untuk seekor kerbau, Raka mematok harga jual Rp 17-18 juta. Menurut dia, setiap tahun, ketika memasuki Idul Adha, banyak peternak yang melepas kerbau mereka.

Tantangan beternak, kata Raka, terjadi ketika musim hujan. Kerbau yang gemar berkubang, menurut dia, rawan terbawa arus ketika bermain ke sungai. "Setiap tahun ada saja kerbau yang hanyut di Sungai Batang Muar."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus