Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik lahan antara petani penggarap di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, dan perusahaan sawit PT Daria Dharma Pratama masih belum terselesaikan.
Perusahaan mengkriminalisasi 40 petani penggarap lahan yang memanen sawit di lahan hak guna usaha PT Bumi Bina Sejahtera.
Pemerintah Kabupaten Mukomuko menyerahkan hasil rekomendasi penyelesaian sengketa kepada Gubernur Bengkulu.
MENGGUNAKAN egrek, Herman, 48 tahun, sibuk menyiangi pelepah pohon kelapa sawit yang tua di lahan miliknya. Warga Desa Air Merah, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, ini memiliki kebun kelapa sawit seluas 4 hektare. "Ada sekitar 500 batang sawit, yang setiap bulannya bisa menghasilkan 2-4 ton," kata bapak tiga anak ini ketika ditemui Tempo di kebunnya, Sabtu, 3 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebun sawit Herman itu secara de jure berada dalam izin hak guna usaha (HGU) PT Bumi Bina Sejahtera (PT BBS) seluas 1.889 hektare. Perusahaan itu mendapatkan izin HGU Nomor 34 Tahun 1995 dari Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Mukomuko untuk komoditas kakao dan kelapa hibrida. Herman mengaku tak mengetahui bahwa lahan yang dibukanya itu bagian dari HGU PT BBS. "Saya buka ini tahun 2004. Waktu itu masih semak belukar," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika pertama kali membuka lahan terbengkalai itu, Herman sempat menanam padi dan karet. Ia baru mulai menanam kelapa sawit pada 2007. "Pertama kali tanam hanya 2 hektare, tapi habis dimakan babi,” ujar Herman. “Di tahun ketiga baru berhasil. Saya sampai harus menginap di kebun untuk menjaga bibit sawit."
Pada 2007, Herman didatangi orang suruhan PT BBS. Ia mendapat peringatan untuk tidak menanam kelapa sawit di lahan milik perusahaan tersebut. "Saya bilang, ini lahan saya yang buka. Buktinya, ada pohon karet saya yang masih tumbuh," ucap Herman menceritakan intimidasi yang didapat ketika ia mulai menanam kelapa sawit.
Herman bercerita, bukti kepemilikan tanah itu berupa surat keterangan tanah yang dikeluarkan kepala desa. Surat itu menjadi bukti batas tanah antarwarga di Kecamatan Malin Deman. "Dulu, di Malin Deman ini, warga yang mau buka lahan cuma perlu lapor ke pihak adat dan kepala desa, sehingga kami jarang yang memiliki sertifikat," katanya.
Herman berharap pemerintah bisa turun tangan menyelesaikan konflik lahan di Malin Deman. Menurut dia, sejak warga mengenal komoditas kebun berupa kelapa sawit, sebagian besar dari mereka meninggalkan aktivitas mencuri kayu atau pembalakan liar. "Aktivitas saya dulu ya illegal logging. Itu juga pernah dilakukan warga lain, tapi sekarang sudah tak ada lagi," ujar pria yang lahir pada 1975 ini.
Warga lain, Zarkawi, 55 tahun, juga membuka lahan pada 1998. Zarkawi menyebutkan lahan yang ia buka merupakan lahan tidur karena berupa hutan. Lahannya yang seluas 4 hektare lebih itu ditanami kopi dan jengkol. "Setelah lima tahun, datang orang perusahaan, mungkin dari PT Daria Dharma Pratama (PT DDP), bilang itu tanah negara yang diserahkan ke perusahaan," tutur Zarkawi di rumahnya di Desa Talang Arah, Sabtu, 3 Juni lalu.
Dia kaget ketika lahannya diserobot PT DDP pada 2004. Zarkawi pun merelakan lahan yang sebelumnya ia kelola ditanami kelapa sawit oleh PT DDP. "Kami mundur ketika itu karena merasa warga kecil," ujarnya. PT DDP mengklaim lahan seluas 1.899 hektare itu sudah dialihkan pengelolaannya dari PT BBS kepada mereka dengan akta pinjam pakai. Pengalihan pengelolaan itu disinyalir tidak sah karena HGU tidak bisa dialihkan.
Herman, Warga Malin Deman, Kabupaten Muko-muko, Bengkulu di areal perkebunan sawit yang menjadi sengketa antara warga dan PT Daria Dharma Pratama (DDP), 2 Juni 2023/Tempo/Irsyan Hasyim
Pada 2011, ia melihat bekas lahan miliknya kembali ditelantarkan oleh PT DDP. Zarkawi pun merawat sawit yang tidak terurus dan mulai memanennya. "Pada 2016, kembali perusahaan muncul setelah melihat hasil sawit yang berlimpah. Kami maju-mundur, lah,” ucapnya. “Kalau mau bukti itu lahan saya, ada sisa pohon jengkol yang masih tumbuh di sana."
Merasa tidak tenang dengan intimidasi perusahaan, Zarkawi dan beberapa petani lain membentuk Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS). Pada Mei 2022, ia bersama 39 petani lain melakukan aksi dengan memanen sawit di lahan miliknya. "Kami pun ditangkap oleh Brimob yang berjaga dan dibawa dengan telanjang dada ke Polres Mukomuko. Waktu itu saya dituduh sebagai provokator," katanya.
Sekretaris P3BS Lobian Anggrianto bercerita, seusai konflik 2022 itu kasus sengketa di Malin Deman mendapat sorotan luas. Pria 29 tahun ini membeberkan, konflik antara perusahaan dan masyarakat setempat muncul karena penelantaran lahan HGU. PT BBS hanya menanam kakao di lahan seluas 350 hektare dan kelapa hibrida di lahan seluas 14 hektare. Ada sisa lahan yang telantar, sehingga digarap masyarakat dengan menanam kopi dan jengkol.
Pada 2005, ujar Lobian, tiba-tiba datang PT DDP yang mengambil alih HGU PT BBS dan menggusur semua lahan yang sebelumnya digarap petani, tanpa ganti rugi. Di lahan tersebut, PT DDP kemudian menanam komoditas baru: kelapa sawit. "Akhirnya pada 2016 pecah konflik. Konflik mutakhir terjadi pada 2022, yang membuat Gubernur, Ombudsman Perwakilan Bengkulu, Bupati, dan DPRD Mukomuko turun tangan,” tutur Lobian pada Ahad, 4 Juni lalu. “Dalam advokasi kasus, kami banyak dibantu Akar Foundation."
Sekretaris Daerah Kabupaten Mukomuko Abdiyanto mengatakan pemerintah daerah melakukan pemetaan potensi konflik di wilayahnya sejak era Bupati Choirul Huda (2016-2021). Sejak era Bupati Sapuan, kata dia, Pemerintah Kabupaten Mukomuko melakukan langkah serius ketika pecah konflik di Kecamatan Malin Deman. "Perintah dari Pak Bupati untuk menyelesaikan dengan membentuk Tim Penyelesaian Sengketa dan Satuan Tugas Reforma Agraria,” ucap Abdiyanto saat ditemui di kantornya, Senin, 5 Juni lalu.
Abdiyanto menyatakan pemerintah daerah berulang kali menggelar rapat untuk secepatnya menyelesaikan permasalahan lahan di Malin Deman. Dia menuturkan, penyelesaian sengketa lahan tidak mudah karena harus melibatkan sejumlah pihak. "Minimal kami bisa mengidentifikasi karena, dalam peraturan perundang-undangan, untuk menyatakan suatu lahan adalah obyek reforma agraria rupanya kewenangan pusat, sehingga daerah sifatnya hanya supporting data," ujarnya.
Ia menyebutkan secepatnya bakal menyerahkan hasil rekomendasi kepada Gubernur Bengkulu. Dalam rapat bersama perusahaan, pemerintah desa, Badan Pertanahan Nasional, dan kelompok masyarakat menyepakati rekomendasi setelah mendengar semua kronologi sengketa. Salah satunya peralihan HGU dari PT Bumi Bina Sejahtera kepada PT Daria Dharma Pratama serta alih komoditas tanam. Ia juga telah mendengar rekomendasi dari warga agar melepas lahan untuk 953 hektare lahan HGU yang telah ditanami sawit oleh warga. "Pemerintah desa juga telah membentuk tim untuk itu," tuturnya.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mukomuko Ali Saftaini mengatakan pihaknya telah membentuk panitia khusus penyelesaian sengketa lahan di Malin Deman. Ia menyebutkan bakal memberikan rekomendasi pada akhir Juni ini kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Gubernur Bengkulu. "Kami berpatokan pada aturan perundang-undangan. Untuk perpanjangan HGU, kami minta perusahaan mengeluarkan 20 persen untuk masyarakat. Nanti silakan desa yang tentukan," kata Ali di kantornya, Senin, 5 Juni lalu.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu Herdi Puryanto mengaku sempat memantau permasalahan sengketa lahan di Malin Deman untuk memastikan semua pihak mendapatkan informasi yang transparan. Ia mengatakan Ombudsman sempat melakukan klarifikasi kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Bengkulu dan Pemerintah Kabupaten Mukomuko agar warga bisa mendapatkan dokumen dan data yang dibutuhkan untuk penyelesaian konflik.
"Sebelum Ombudsman masuk, sebenarnya proses sudah berjalan walaupun lambat,” ucap Herdi melalui sambungan telepon, Rabu, 14 Juni lalu. “Pihak perusahaan sebenarnya mau dan punya iktikad baik untuk melepaskan lahan atau inklap yang memang terindikasi telantar tersebut," tuturnya.
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan pihaknya telah membina dan mengawasi PT Daria Dharma Pratama. Pemerintah Provinsi, kata dia, juga menyurvei dan mengidentifikasi masalah terhadap masyarakat penyangga dan pelaku usaha sejak Desember 2016. Menurut dia, penanganan konflik bisa melalui mediasi dan litigasi. "Mediasi antara masyarakat Malin Deman dan manajemen PT Daria Dharma Pratama oleh Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan pada 13-14 April 2022," ujar Rohidin melalui pesan tertulis, Rabu, 14 Juni lalu.
Menurut Rohidin, dari mediasi tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan, di antaranya izin HGU Nomor 34 Tahun 1995 dengan luas lahan 1.889 hektare berakhir pada 31 Desember 2025. Berdasarkan pengukuran kadastral oleh Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu, izin lahan yang dapat diperpanjang oleh PT Bumi Bina Sejahtera seluas 935,74 hektare dan sisanya seluas 953,26 hektare dilepas. Rohidin mengatakan PT BBS bersedia membangun kebun plasma seluas 20 persen dari lahan yang dikelola.
Vice President Agronomi PT Daria Dharma Pratama, Anwar Jibe, mengatakan pihaknya tengah menunggu hasil rekomendasi Pemerintah Kabupaten Mukomuko dan Panitia Khusus DPRD Mukomuko. Ia menyatakan berusaha mengikuti segala keputusan yang akan dikeluarkan pemerintah. "Kami dari pihak perusahaan pada prinsipnya tentu berharap pemerintah memperhatikan kami sebagai investor di Mukomuko," ujar Anwar saat dihubungi, Kamis, 15 Juni lalu.
Menurut Anwar, konflik lahan di Malin Deman telah diminimalkan melalui komunikasi rutin dengan pemerintah desa. Namun, kata dia, selalu muncul gangguan pada lahan HGU yang dikelola perusahaannya. Anwar tidak mau mendetailkan siapa yang membuat gangguan itu. "'Masyarakat lain'. Tidak bisa kami detailkan siapa-siapa di situ,” ucapnya. “Dengan adanya tim Pansus, kami sangat berharap difasilitasi oleh pemerintah untuk penyelesaian masalah ini."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo