Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan mengalami reduksi peran hanya sebagai fasilitator.
Penerbitan Perpu Cipta Kerja dianggap tak memperkuat tata kelola karena berwatak sama dengan UU Cipta Kerja.
Ada berbagai pasal yang dianggap rawan untuk lingkungan.
BERLAKUNYA Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja membuat semangat Salim Jundan menurun. Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Wilayah II Lalan Mangsang Mendis di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Bayuasin, Sumatera Selatan, itu merasa tak relevan lagi berbicara mengenai berbagai program kerja yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Parahnya lagi, Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja yang tak membawa perubahan.
Kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) kini, ujar Salim, hanya sebagai fasilitator dan administrator. “KPH saat ini hanya unit pelaksana tugas daerah yang secara administratif berada di bawah dinas kehutanan provinsi. Kemandirian KPH sebagai sebuah entitas untuk mengelola hutan sudah tak ada,” ucapnya. Padahal, menurut Salim, berbekal kemandirian itu, KPH mampu berkontribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Landasan pembentukan KPH adalah Undang-Undang Kehutanan Tahun 1999.
Reduksi kewenangan KPH ini berpangkal dari Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Di dalam peraturan itu, meski disebutkan KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi perencanaan, pengelolaan, hingga pengendalian dan pengawasan, wewenangnya dalam pengelolaan atau pemanfaatan hutan dibatasi sekadar melaksanakan fasilitasi.
Pasal 123 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 menjabarkan tugas dan fungsi organisasi KPH yang sebagian besar adalah melakukan fasilitasi. Hal itu dari pemfasilitasan inventarisasi hutan, perlindungan dan pengamanan hutan, fasilitasi untuk mendukung perhutanan sosial, melaksanakan fasilitasi pemantauan dan evaluasi atas kegiatan pengelolaan hutan, hingga melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan pangan dan energi. Tak ada satu pun yang menyatakan KPH bisa secara mandiri melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 itu membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta rehabilitasi dan perlindungan konservasi alam. Selain itu, KPH bertugas menjabarkan kebijakan kehutanan nasional hingga kabupaten/kota untuk diimplementasikan dan melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.
Tugas KPH lain yang dibatalkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 adalah melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya dan membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Tugas pemantauan dan penilaian itu menjadi pemantauan dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian. Namun, menurut Salim, tugas dan fungsi tersebut tak dapat dijalankan secara maksimal oleh KPH.
Ia menjabarkan saat ini pengelolaan dan pemanfaatan hutan hanya dapat dilakukan melalui perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan perhutanan sosial. “Sementara semua kewenangan diresentralisasi atau ditarik lagi ke pusat, semua proses yang ditempuh oleh pemilik izin PBPH dilakukan melalui self assessment,” tutur Salim. “Ketika KPH melakukan pemantauan, format dan mekanisme penyampaian hasil pemantauan itu belum diformulasikan hingga saat ini,” katanya. Walhasil, fungsi pemantauan tak bisa berjalan.
Secara prosedural, dia menerangkan, hasil pemantauan dapat disampaikan kepada dinas kehutanan tingkat provinsi. Persoalan lain, dinas kehutanan tak memiliki wewenang bertindak apabila terdapat temuan indikasi penyimpangan pada pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemilik izin. “Catatan dari KPH pada akhirnya hanya menjadi sebatas catatan. Kami tak pernah tahu seberapa besar pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pusat,” ujar Salim.
Selain Salim, Kepala KPHP Barito Hulu Unit V Rudy Candra Utama menyinggung tentang beberapa rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang telah dirancang pada 2017 tapi tak dapat dilaksanakan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya menyiapkan lahan seluas 20 ribu hektare untuk kepentingan stok karbon nasional. “Tutupan hutannya masih sangat bagus dan belum ada beban izin di atasnya. Ini selaras dengan agenda-agenda besar Indonesia di sektor kehutanan untuk mencegah krisis iklim. Selaras dengan FOLU Net Sink 2030,” katanya.
Namun rencana itu bubar jalan karena KPH tak lagi memiliki kuasa untuk mengelola hutan. Selain menyiapkan area penyimpanan karbon, KPHP Barito Hulu Unit V bersama pemerintah daerah sedang menggodok peraturan daerah yang memungkinkan adanya peningkatan kontribusi pendapatan asli daerah dari sektor kehutanan. Upaya ini pun terpaksa berhenti.
Guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Setyarso, menyebutkan tata kelola hutan saat ini seolah-olah menghilangkan fungsi KPH sebagai wali negara di tingkat tapak. Ia mengatakan ada dua “roh” yang melekat pada KPH. Yang pertama, tutur dia, adalah menjadi wali negara di tingkat tapak dan yang kedua adalah entitas yang bertanggung gugat terhadap aksi di lapangan untuk mengelola hutan.
Agus menjelaskan, di tingkat tapak, tak ada satu pun entitas yang menjalankan fungsi pengelolaan hutan kecuali KPH. “Sudah lama dinas kehutanan tidak mengelola hutan, sementara pemegang izin usaha pemanfaatan hanya mengusahakan hasil hutan, bukan mengelola hutan,” ujarnya. Menurut dia, mengelola hutan berarti bertanggung gugat mengelola daerah aliran sungai, memaksimalkan potensi kelola hasil hutan bukan kayu, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjamin setiap pohon yang ditebang ditanami lagi.
Sebagai wali negara di tingkat tapak, kata Agus, KPH juga menjadi pintu pertama yang dapat didatangi oleh warga ataupun pelaku usaha ketika terjadi persoalan dalam pengelolaan hutan. Dengan begitu, para pihak yang berkepentingan tak perlu datang ke Jakarta hanya untuk mengadukan persoalan. “Karena itu, pemegang izin wajib tunduk dan menghormati KPH. Jika ditemukan pengelolaan yang tidak lestari, KPH bisa menentukan tindakan atas temuan-temuan pelanggaran itu,” ucapnya.
Agus menjabarkan, kebutuhan tata kelola di tingkat tapak bukan sekadar kemudahan prosedur berinvestasi dan memanfaatkan hasil hutan. “Prinsip sebuah kebijakan adalah melayani kebutuhan dan harus ada instrumen pelaksana yang kuat, mencakup kewenangan, kelembagaan, pendelegasian, dan pengembangan kapasitas,” ujarnya. Ia mengatakan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, pemegang perizinan diberi kewenangan multiusaha tanpa mempertimbangkan risiko besar di sektor hulu yang harus dikelola.
Selain itu, dia menerangkan, ada aspek pengendalian rantai nilai yang juga mesti dikelola. “Misalnya kayu, si penanam kayu mendapatkan nilai 10-15 persen, pabrik mengambil 20-30 persen, industri hilir mengambil 50-100 persen, eksportir mengambil 100-200 persen. Dengan beban di hulu yang besar, dari deforestasi, pelepasan karbon, sampai pembalakan ilegal, nilai yang besar justru dinikmati oleh sektor hilir,” ucapnya. Karena itu, kata Agus, KPH harus dapat berperan optimal untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan ini.
Menurut Agus, prinsip tata kelola selepas terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja tak menjawab kebutuhan tersebut. “Dari sekitar 60 juta hektare kawasan hutan negara untuk tujuan produksi, hanya sekitar 28 juta hektare yang dimanfaatkan oleh PBPH. Sisanya mau diapakan? Jika diserahkan ke KPH untuk dikelola, harus ada pendelegasian kewenangannya,” tuturnya. Ia melanjutkan, “Praktiknya di tapak saat ini kita masih berhadapan dengan perambahan hutan. Tanpa ada KPH yang memiliki kewenangan, sama saja membiarkan hutan rusak.”
Keadaan ini menyebabkan pendanaan untuk KPH yang makin minim. Dengan menjelma sebagai organisasi perangkat daerah, pendanaan KPH praktis hanya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dari hitung-hitungan yang dilakukan Agus, idealnya satu KPH yang mengawasi kawasan seluas 50 ribu hektare memerlukan biaya operasional sebesar Rp 4 miliar. “Untuk mengungkap hingga mengawal satu kasus illegal logging sampai vonis saja diperlukan kurang-lebih Rp 400 juta,” ucapnya.
Menurut Rudy, yang diperlukan KPH adalah regulasi yang menguatkan keberadaannya sebagai entitas pengelola hutan di tingkat tapak. Selain itu, ia menyinggung ihwal pendelegasian tugas yang dapat diberikan kepada KPH untuk memaksimalkan perannya di lapangan. “Selepas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, kami masih kerap menerima aduan dari masyarakat. Tapi aduan ini tidak bisa lagi secara aktif langsung ditangani atau diselesaikan oleh KPH,” katanya.
Kritik lain mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021adalah jangka waktu perizinan berusaha yang diberikan selama 90 tahun dapat diperpanjang kembali hingga 90 tahun. Menurut Agus, regulasi yang baik seharusnya memperhitungkan jangka waktu secara terukur. “Jika dalam penghitungannya si pemilik izin dapat memaksimalkan keuntungan hingga 300 persen di tahun kesepuluh, sudah stop. Kembalikan lagi hutannya ke negara untuk dipulihkan lebih dulu sebelum nanti dibebani izin lagi,” tuturnya.
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan praktik pemberian izin dalam jangka waktu 90 tahun ini bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi untuk membangun kawasan dari pinggiran dengan memperhatikan pengakuan masyarakat adat dan reformasi agraria. Tak hanya itu, Jikalahari menyoroti ihwal hutan yang bisa diagunkan oleh pemilik izin. Padahal lahan hutan yang dibebani konsesi itu adalah lahan ulayat yang sebagian masih berkonflik dengan masyarakat adat pemilik hak ulayat.
Meski Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, putusan MK tidak secara spesifik menyebutkan keberlakuan peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021. Putusan itu hanya menyebutkan Undang-Undang Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat jika tak ada perbaikan dalam periode dua tahun. Selama periode tersebut, Undang-Undang Cipta Kerja tetap berlaku sampai perbaikan dilakukan. Namun selama periode tersebut tidak diperkenankan penerbitan peraturan pelaksana baru.
Personil KPH Lalan Mendis melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pencegahan kebakaran hutan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Agustus 2018. Dok. Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari
Menurut Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Adrianus Eryan, dengan adanya amar keempat yang mengatur Undang-Undang Cipta Kerja yang tetap berlaku, secara logis peraturan turunannya tetap berlaku. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran atau kesalahan. Namun, kata Adrianus, ada pendapat ahli hukum lain yang menganggap semua peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja harus dihentikan dulu pelaksanaannya sampai perbaikan dilakukan sesuai dengan putusan MK.
Meski sengkarut di tingkat tapak hadir karena Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, menurut Adrianus, perubahan tata kelola merupakan konsekuensi logis perubahan peraturan. Untuk itu, dia menjelaskan, penyusunan peraturan memerlukan partisipasi publik yang memadai agar kebijakan yang dipilih dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara luas. “Ini yang menjadi permasalahan utama Undang-Undang Cipta Kerja, menghilangkan partisipasi publik yang bermakna.” Menurut Adrianus, sikap ini merupakan pelanggaran terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.
Ihwal perintah Mahkamah Konstitusi memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja, menurut Adrianus Eryan, sikap yang sama ditunjukkan pemerintah ketika menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Salah satu alasan kegentingan yang memaksa adalah dinamika global yang disebabkan perubahan iklim. Poin kegentingan memaksa ini kemudian disebutkan harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Adrianus, penerbitan Perpu Cipta Kerja meruntuhkan demokrasi lingkungan yang telah dibangun sejak dibuatnya Deklarasi Rio Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 65 ayat 2 undang-undang tersebut, “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Ia mengatakan putusan MK jelas memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja melalui penyusunan kembali dengan melibatkan masyarakat. “Namun pemerintah justru mengakali dengan membentuk Perpu Cipta Kerja yang prosesnya hanya dilakukan oleh pemerintah,” tuturnya. Ia menjelaskan, perpu hanya dapat diterbitkan dalam keadaan genting yang memaksa dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa persidangan berikutnya. “Jika tidak mendapat persetujuan DPR, perpu harus dicabut.”
Yang menjadi catatan, kata Adrianus, pertama, kegentingan seperti apa yang membuat pemerintah menerbitkan perpu, bukan merevisi Undang-Undang Cipta Kerja? Kedua, adanya perpu tidak serta-merta dianggap sebagai perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dan juga tak mengandung unsur partisipasi publik yang bermakna seperti yang diperintahkan MK. Ketiga, penerbitan perpu membuat Undang-Undang Cipta Kerja tak lagi berlaku sehingga putusan MK tak lagi memiliki kekuatan hukum. Ia khawatir terjadi penyelundupan hukum dengan skenario pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR untuk mengesahkan perpu menjadi Udang-Undang Cipta Kerja baru.
Padahal, menurut catatan sejumlah organisasi sipil, secara substansi isi Perpu Cipta Kerja menyalin Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu yang disoroti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adalah analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal. Yang menjadi kritik Walhi pada Undang-Undang Cipta Kerja adalah amdal yang diperlakukan sebagai syarat pelengkap saja, bukan prasyarat utama.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyusunan amdal dibatasi hanya pada masyarakat yang terkena dampak dengan ukuran yang tak jelas. Aturan ini tidak berubah dalam Perpu Cipta Kerja. Demikian pula dengan keberadaan komisi penilai amdal yang tak diatur dalam Perpu Cipta Kerja. “Dulu kami sudah menolak pengaturan amdal dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Karena di dalam perpu ini juga tidak diubah, suara kami masih sama,” tutur Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian.
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang memberi catatan mengenai insentif untuk pengusaha batu bara dengan pengenaan royalti sebesar nol persen. Ini telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan diperkuat dalam Pasal 39 Perpu Cipta Kerja. Pasal 128A ayat 2 menambahkan kata “izin usaha penambangan (IUP) dan izin usaha penambangan khusus (IUPK)”. Melalui pasal ini, perusahaan tambang yang berkomitmen melakukan penghiliran batu bara, salah satunya melalui proyek gasifikasi, akan mendapat insentif.
Selain itu, Perpu Cipta Kerja masih memberi ruang bagi korporasi untuk menambang hingga laut dalam dan membuang limbah di lautan. Selanjutnya, Pasal 41 Perpu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 5 Undang-Undang Panas Bumi dianggap melanggengkan perambahan kawasan hutan konservasi, lindung, dan kawasan konservasi di perairan. Perpu ini juga dianggap memperkuat pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman pertambangan.
Sama seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Perpu Cipta Kerja juga tidak mengatur kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan seluas minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Menurut Walhi, hal ini dapat menimbulkan dampak buruk berupa peningkatan deforestasi.
DINI PRAMITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo