Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Warisan Pasal Perusak Lingkungan

Perpu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja yang punya daya rusak luar biasa terhadap lingkungan.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM urusan merusak lingkungan dengan cara legal, pemerintah Joko Widodo boleh disebut jagonya. Bahkan, menjelang akhir masa jabatan keduanya, Presiden Jokowi masih “produktif” menerbitkan aturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang luar biasa: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja.

Perpu Cipta Kerja membangkitkan kembali zombi Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021. Mahkamah sebenarnya telah memberikan kesempatan kedua kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperbaiki omnibus law yang ditentang banyak kalangan itu, dengan melibatkan “partisipasi publik yang bermakna”. Namun pemerintah justru memilih potong kompas dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja, yang tak kalah kontroversial.

Pemerintah praktis hanya mengganti jilid UU Cipta Kerja, tanpa memperbaiki substansinya. Seperti halnya UU Cipta Kerja, Perpu menghapus kewajiban pemerintah menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau. Implikasinya tentu sangat berbahaya. Selama ini, ketika masih ada kewajiban mempertahankan kawasan hutan, pelanggaran terjadi di mana-mana. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi setelah kewajiban itu dihapuskan. Pembabatan hutan di sepanjang kawasan aliran sungai bakal makin ugal-ugalan.

Perpu Cipta Kerja juga memperlonggar urusan perizinan lingkungan demi menggelar karpet merah bagi investor. Perpu mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satunya berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Berdasarkan Perpu Cipta Kerja, tidak ada kata “wajib” bagi perusahaan untuk menyusun amdal sebelum beroperasi. Padahal, menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, amdal menjadi prasyarat wajib untuk izin lingkungan. Kini amdal hanya menjadi pelengkap.

Amdal sejatinya merupakan instrumen sangat penting untuk mengetahui dampak aktivitas usaha atau pembangunan. Dengan adanya amdal, langkah mitigasi atas kerusakan dan pencemaran lingkungan bisa disiapkan. Jika amdal hanya menjadi syarat pelengkap bagi “subyek usaha”, lingkungan makin berisiko tinggi sebagai “obyek penderita”.

Perpu Cipta Kerja juga memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan amdal. Penyusunan amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Ruang bagi peran masyarakat adat dan pemerhati lingkungan ditutup. Keberadaan Komisi Penilai Amdal pun tidak diatur dalam perpu ini. Bukan hanya itu. Bak menegaskan dukungan atas aktivitas perusakan lingkungan, Perpu Cipta Kerja juga memuat pasal karet yang bisa digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menentang tambang.

Tanpa menunggu penolakan DPR, Presiden Jokowi seharusnya segera mencabut Perpu Cipta Kerja yang problematis. Jangan hanya demi membela kepentingan para pemodal, pemerintah mengorbankan hak generasi yang akan datang dengan mewariskan kerusakan alam.

Artikel:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus