Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Fantasmagoria Raga Rusak di Sebuah Artbook Coffee

Tubuh-tubuh tak lazim Yanal Desmond Zendratato. Seolah-olah muncul dari mimpi buruk.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GABUNGAN organ-organ dalam dan raga luar itu membentuk imaji-imaji sungsang. Kita tahu yang digambar citra tubuh, tapi sama sekali tak bisa kita sebut sebagai sebuah tubuh normal dan utuh—melainkan amorf. Beberapa gambar menyajikan bagian ruas rangka, entah tulang ekor, tulang dada, entah rusuk yang tumpuk-menumpuk tembus pandang dengan organ-organ. Bukan limpa, usus besar, dan kelenjar tapi barangkali tonjolan bengkak organ menggelembung keluar dari dalam tubuh. Kaki atau tangan muncul menyilang di tempat yang tak semestinya. Sosok kepala melayang di atas leher, lepas tertidur di pangkal pundak dengan mata tertutup dan rambut lebat. Kemampuan mencampurbaurkan raga, tulang, dan organ-organ secara tak terduga menimbulkan sensasi yang aneh. Sebuah fantasmagoria.

Sensasi ini memberikan kesan gelap, ilusif, dan halusinatif. Sensasi yang datang dari dunia mimpi yang berantakan. Deformasi tubuh pada gambar itu seolah-olah tak bisa lagi dilacak asal-muasalnya. Ini bukan tubuh yang dipereteli lalu diedit dengan Photoshop dalam sebentuk sosok-sosok ganjil untuk menimbulkan efek estetis tertentu. Atau montase gabungan antara hewan dan manusia sebagaimana makhluk mitologi makara. Ini lebih seperti cerminan liar alam bawah sadar yang mengalami penglihatan aneh-aneh terhadap diri sendiri. Ini adalah suatu delusi atau mimpi-mimpi buruk yang mungkin dikeluarkan semaksimal mungkin. Igauan-igauan sakit tentang tubuh: tubuh yang kacau, tubuh yang meracau, dan tubuh yang tercerai-berai.

Hal itulah yang diperlihatkan oleh gambar-gambar charcoal Yanal Desmond Zendratato. Di sebuah rumah kecil bernama Kebun Buku—sebuah artbook coffee di kawasan Minggiran, Suryodiningratan, Yogyakarta, Yanal menempelkan gambar-gambar monokromnya di hampir semua sudut yang berdampingan dengan rak-rak padat buku. Artbook coffee ini didirikan pada 2015 oleh seorang Belanda bernama Hans Knegtmans. “Saya enam bulan di Belanda, enam bulan di sini,” katanya saat ditemui Tempo beberapa waktu lalu. Dulu bernama Kebun Bibi, pada 2020 artbook coffee ini berubah menjadi Kebun Buku. Tapi baik plang Kebun Bibi maupun Kebun Buku masih terpasang di depan rumah. Rumah ini populer bagi para muralis Yogya karena sisi luar temboknya secara reguler menjadi ajang “kanvas” mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Martian And Venusian #2

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rata-rata buku yang dijual di artbook kecil ini adalah novel bekas berbahasa Inggris. Koleksinya lumayan, dari novel klasik sampai modern. Suasananya homy. Selama pameran berlangsung, ruangan dirudapaksa menjadi galeri. Ruangan dibiarkan apa adanya seperti sehari-hari. Kita masih bisa menyeduh kopi, membaca buku, dan duduk di kursi-kursi lawas rotan yang disediakan. Selanjutnya, pengunjung bisa menikmati karya Yanal di dinding yang kebanyakan tidak dibingkai spanram (mungkin hanya tiga karya yang berpigura).

Judul-judulnya: Lamentation, Deep Voice, Lost Control, Inner Radius, 360 Degree of Solitude, 00:00 AM, Recuperation, White Shadow, Martian and Venusian, Reality and Illusion, serta Ophelia and Fish. Ukurannya ada yang kecil dan besar. Dua yang terbesar adalah Recuperation serta Reality and Illusion. Perbauran antara tokoh sastra yang bersahaja dan idiom-idiom tubuh tak lazim yang disodorkan Yanal membuat pameran ini greget suasananya sama sekali berbeda dengan pameran-pameran di galeri mapan. Terasa lebih jujur. Tak ada beban terlalu komersial dan kreativitas tak dibatas-batasi atau diarahkan imajinasinya.

Coba amati peletakan goresan hitam di gambar-gambar pada pameran berjudul Tubuh Chaos. Tak bisa diprediksi. Sebuah gambar hitam digoreskan pada citra rambut memanjang. Lalu hitam bisa menjadi “saudara kembar” atau bayang-bayang sebuah sosok. Atau hitam bisa menjadi warna bagi seluruh tubuh. Hitam artinya bukan hanya digunakan untuk arsiran gelap-terang, tapi dalam komposisi bisa ditempatkan sebagai “alter ego“ subyek. Raganya sendiri bila kita cermati sesungguhnya potongan-potongannya kekar. Yanal seperti terobsesi akan tubuh tegap. Dada terlihat bidang. Kaki-kaki terlihat berotot. Betis gempal. Tapi semua itu “termutilasi” dan kemudian, saat bercampur, lahir kembali lalu saling bersitegang kacau.

Ada dua-tiga karya yang menampilkan sosok wajah secara jelas. Ophelia and Fish, misalnya, memperlihatkan wajah seorang anak perempuan berambut poni. Wajahnya cemberut. Tapi ini bukan perempuan kecil sendu ala perupa Jepang Yoshitomo Nara yang kemudian menjadi tren karena laku di pasar dan banyak mempengaruhi perupa muda. Perempuan kecil berponi dan berdasi pita milik Yanal itu parasnya dibubuhi kerangka duri-duri ikan. Kesannya jauh dari cute. Di lukisan lain berjudul 360 Degree of Solitude, Yanal menampilkan anak kecil perempuan tanpa hidung dan mulut bermuka biru (satu-satunya wajah yang diberi warna) duduk. Proposisinya aneh. Lehernya memanjang menyatu dengan organ dalam. Kepalanya jauh lebih besar daripada kedua kakinya. Lukisan lain, 00.00 AM, menampilkan seorang laki-laki bercambang berbaring dengan tangan menopang pipi. Mata dan pipinya bengep. 

Mungkin karena aura lokasi pameran adalah ruangan baca buku-buku fiksi, imaji-imaji arang Yanal dilengkapi oleh penulis Ricky Y. Nasution dengan teks-teks mini. Ia merespons tiap drawing Yanal dengan sebuah fiksi pendek yang berpretensi imajis. Teks-teks ini diletakkan di samping drawing Yanal. Kita bisa membaca tapi tak harus mengasosiasikannya dengan gambar Yanal, karena itu bukan petunjuk untuk memahami. Teks ini cenderung sebagai semacam dialektika. Beberapa teks memang pas—seolah-olah memberi makna atau konteks pada gambar—tapi beberapa sama sekali tak berkaitan, bagaikan dua karya yang berbeda arah. Salah satu yang saya anggap pas dan dapat memancing konteks dengan drawing Yanal adalah teks yang diletakkan disamping gambar berjudul White Shadow.

Pengunjung mengamati karya Yanal Desmon Zendrato berjudul Reality and Illution, di Kebun Buku, Mantrijeron, Yogyakarta, 1 Januari 2023. TEMPO/Seno Joko Suyono

Gambar itu menampilkan seseorang yang terpekur sendiri. Kakinya bersilang dengan paha sangat besar yang menutupi kelamin rapat-rapat. Sementara itu, teks yang ditulis Ricky tertulis: “Ketika tuntas 1.500 persetubuhan, aku putuskan untuk berhenti. Namun hanya berhasil sebulan. Hari-hari berikutnya aku jadi uring-uringan, frustrasi. Halnya makin runyam ketika tabungan habis untuk beli celana dalam. Tiap hari aku terbangun kebasahan lendir. Sudah aku coba cuci sendiri. Tetapi tetangga jadi curiga karena jemuranku kelihatan ganjil. Jadilah aku bahan rumpi. Mereka bilang aku kena Raja Singa. Aku cari alternatif ke tukang laundry. Sialnya tukang-tukang itu juga tetanggaku. Suatu malam sebelum tidur, aku berdoa semoga niat suci ini dimudahkan. Sungguh fantastis! Doa itu diijabah melalui mimpi yang menyuruh untuk bersetubuh lebih banyak lagi. Ujung-ujungnya aku lupakan mimpi itu. Sesat, mimpi Setan!

Pada Juni 2013, Yanal pernah berpameran di ViaVia Café di kawasan yang dipenuhi turis backpacker, yakni Sosrowijayan, Yogyakarta. Di pameran itu sudah terlihat sikap underground-nya. Untuk menggambar, ia menggunakan bahan asap lampu semprong sebagai cat yang memberi efek warna hitam. Kanvas dibalik menghadap lampu semprong, lalu noda-noda hitam atau jelaga yang dihasilkan dari asap lampu semprong itu menjadi bahan dasar lukisannya. Tak mengherankan, pada pameran kali ini ia peka terhadap warna hitam.

Adalah menarik di era masa kesuraman pandemi, ketika banyak kematian terjadi, muncul beberapa perupa muda yang mengeksplorasi lagi tubuh. Yang mereka sodorkan bukan jenis tubuh mulus, tubuh yang memendarkan sensualitas. Ayu Rika adalah nama lain. Hampir berbarengan dengan pameran Yanal Desmond Zendratato, di Kiniko Art Yogyakarta, Ayu Rika Nilasari menyajikan lukisan-lukisan berukuran superbesar: tubuh-tubuh gemuk, gembrot—berlapis lemak, dan perempuan telanjang bulat dengan posisi “erotis” sampai memperlihatkan area sensitif secara blak-blakan. Semua mengingatkan kita akan karya Jenny Saville, perupa Inggris kontemporer. Namun yang sampai kepada kita bukan vulgaritas, justru perlawanan menolak male gaze atau tatapan lelaki yang selama ini terobsesi pada bentuk tubuh ideal yang dikonstruksi industri. Ini perkembangan menarik. Tubuh ternyata masih dieksplorasi. Dan Yanal di awal tahun ini memberikan kita imaji-imaji dengan penglihatan-penglihatan sureal yang berbeda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus