Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Sejauh Apa Netralitas TNI dalam Pemilu 2024

Wawancara dengan calon Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto. Sebagai pilihan Jokowi, bagaimana ia menjaga netralitas TNI di Pemilu 2024?

19 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU enam hari Jenderal Agus Subiyanto menjabat Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Presiden Joko Widodo mengajukan namanya sebagai calon tunggal Panglima TNI. Jenderal yang lahir di Cimahi, Jawa Barat, itu akan menggantikan Laksamana Yudo Margono, yang pensiun pada 26 November 2023. Setelah menggelar uji kepatutan dan kelayakan, Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pencalonan itu pada Senin, 13 November lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana pengangkatan Agus Subiyanto sebagai Panglima TNI ini mendapat sorotan sejumlah pihak. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis ragu terhadap netralitas TNI dalam Pemilihan Umum 2024. Soalnya, Agus dinilai dekat dengan Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto maju sebagai calon presiden yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, sebagai calon wakil presidennya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus menepis tuduhan itu. Dia menegaskan bahwa TNI akan tetap netral. “Loyalitas kepada atasan boleh, tapi kami setia kepada bangsa dan negara,” katanya kepada wartawan Tempo, Iwan Kurniawan dan Setri Yasra, di Markas Besar TNI Angkatan Darat, Jakarta, Rabu, 15 November lalu.

Dalam wawancara selama sekitar satu setengah jam, Agus menjelaskan hubungannya dengan Jokowi, rencananya memajukan TNI, soal pengembangan alat utama sistem pertahanan dalam negeri, dan penanganan Papua.

Anda memang dekat dengan Presiden Jokowi secara personal?

Mungkin Pak Jokowi menilai saya baik sewaktu saya mendampinginya saat menjadi Wali Kota Solo. Setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi. Saya kan ke mana-mana. Kalau sekarang orang mengait-ngaitkan saya dengan Jokowi, silakan saja. Saya task-oriented. Enggak pernah saya kasih apa-apa kepada Pak Jokowi. Kita berbuat baik saja sama orang. Akan ada balasannya.

Sewaktu saya Dandim (Komandan Komando Distrik Militer 0735) Surakarta, bukan Pak Jokowi saja yang baik kepada saya. Pak Budiman (Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro) dengan saya baik. Dia memuji saya karena saya bisa meredam konflik. Dulu ada kejadian masjid dilempar oleh warga etnis lain karena toanya mengarah ke rumah dia. Coba, apa yang akan terjadi? Masyarakat Islam pasti marah. Saya langsung cepat. Saya ambil orangnya, saya serahkan ke polisi. Saya jaga, saya mediasi. Itu sebenarnya hal sepele. Tapi, kalau kita terlambat, itu bisa menjadi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), konflik sosial.

Jadi hubungan dengan Jokowi formal saja?

Iya, diundang acara makan. Kalau Pak Jokowi kan suka blusukan. Sabtu-Minggu, ketika waktunya istirahat, beliau blusukan. Saya ikut karena saya suka bersepeda. “Pak Agus di depan Wali Kota jam 6.” Saya jam 6 sudah di situ, lalu ke pasar sama beliau, terus ke rumah sakit, yang sakit kami lihat. Jadi seperti itu, task-oriented.

Bagaimana netralitas TNI ketika Menteri Pertahanan jadi calon presiden dan anak Presiden jadi calon wakil presidennya?

Kami punya pedoman Sapta Marga, Sumpah Prajurit. “Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan”. Itu Sumpah Prajurit nomor tiga. Tapi nomor satunya adalah “Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Jadi kami setia kepada bangsa dan negara ini. Loyalitas kepada atasan boleh, tapi kami setia kepada bangsa dan negara.

Koridor netralitas TNI sudah ada dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa prajurit tidak boleh berpolitik praktis. Sudah jelas. Kemudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, apabila anggota TNI melakukan pelanggaran akan, nomor satu, kena hukum pidana. Nomor duanya hukum disiplin dari ankum (atasan yang berhak menghukum). Kami tidak hanya melakukan itu. Prajurit juga harus dijelaskan dengan penyuluhan, menyampaikan kepada mereka mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak, bahkan saya membuat buku saku. Ini memang harus rinci.

Kalau ada yang melanggar?

Kalau ada yang melakukan tidak sesuai dengan undang-undang, itu oknum dan akan diproses hukum. Kami tak mau juga itu terjadi karena kami lihat dinamikanya nanti akan banyak. Misalnya baliho tidak tertib. Pemilu-pemilu kemarin ada kejadian seperti itu. Kemarin juga ada kejadian di Bali. Baliho diturunkan oleh satuan polisi pamong praja, bukan oleh kami, karena jalan itu harus steril. Baliho dicabut, ada dandim berdiri di sebelahnya, divideoin.

Berdiri di sebelah baliho saja jadi masalah. Tapi tidak apa. Yang kami lakukan memang demi keutuhan negara dan bangsa. Mudah-mudahan pemilu ini damai. Makanya kami buat deklarasi di setiap daerah. Kemarin saya di Ciamis, di Pangandaran, kami buat deklarasi damai Pemilu 2024 dengan semua elemen masyarakat, dari ketua partai politik daerah, camat, tokoh adat, tokoh pemuda.

Apa yang akan Anda lakukan agar TNI tetap netral dalam pemilu?

Ini sensitif kalau kami bergerak sendiri. DPR akan buat panitia kerja tentang pengamanan pemilu. Itu sangat bagus. Nanti ada sekitar 820 ribu tempat pemungutan suara. Bayangkan saja. Kalau di kota besar, pulau besar, mudah menjaganya. Kalau yang di kepulauan, bagaimana coba? Kalau tidak ada kolaborasi atau rencana untuk pengamanan di situ, bagaimana? Kalau sendirian, bisa saja saya pakai bantuan teknis, tapi lebih elegan kalau bersama-sama. Tadi itu untuk menghindari kecurigaan. Kalau kami berdiri satu orang di TPS, “Lho, itu kok ada TNI?” Kecurigaan itu jangan sampai timbul. Jadi harus ada Polri, bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat, Komisi Pemilihan Umum daerah, Badan Pengawas Pemilu, tokoh-tokoh agama yang dilibatkan untuk mengamankan TPS.

Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Agus Subiyanto saat wawancara dengan Tempo di Markas Besar Angkatan Darat, Jakarta, 15 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Para senior TNI kini ada di kubu pasangan calon presiden. Bagaimana Anda menyikapinya? 

Kembali ke Undang-Undang TNI. Kalau mereka mau ke partai politik, harus keluar dari TNI. Kebetulan beliau-beliau ini sudah pensiun. Saya lihat orang-orang yang ikut itu orang-orang yang punya kapabilitas yang bagus, makanya partai melirik. Itu sah-sah saja. Beliau-beliau bukan tentara aktif. Kami melihatnya senang saja. Berarti tentara masih diperhitungkan.

Omong-omong, apa pesan Jokowi saat mencalonkan Anda sebagai Panglima TNI?

Flashback dulu, ya. Saya menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden itu pas masa pandemi Covid-19. Keluar surat keputusan saya menjadi Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi. Saya menghadap Presiden. Kirain mau mengucapkan terima kasih karena sudah saya bantu dalam pengamanan. Saya malah ditunjuk-tunjuk. “Pak Agus harus turun ke lapangan, Covid di sana (Jawa Barat) tinggi.” Makanya saya buat kantornya di luar. Setiap hari saya muter. Lima bulan saya jadi Pangdam Siliwangi itu paling tinggi kami capaiannya (vaksinasi). Akhirnya saya menghadap Pak Andika (Andika Perkasa, Panglima TNI). “Teritorial bagus, Pak Agus jadi Wakasad (Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat).” Jadi jabatan itu semua reward (penghargaan). Saya tidak pernah minta-minta. Amit-amit. Tabu. 

Memang saya dipanggil Jokowi. Pesannya pertama, ini tahun politik. “Pak Agus harus sinergi. Kalau TNI dan Polri sudah kompak, kolaborasi, sinergi, keamanan selalu terjaga di negara ini.” 

Saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Anda menyampaikan TNI yang PRIMA. Apa artinya?

Itu visi dan misi saya, yakni profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. Semuanya diakomodasi dalam tugas pokok TNI, hubungan TNI dengan Polri, dengan kementerian lain. Profesionalisme misalnya. Profesionalisme prajurit itu berangkat dari kemampuan individu. Kemampuan menembak, bermanuver, itu harus profesional.

Selalu saya sampaikan bahwa doktrin pertempuran itu dinamis. Saya ingin ubah karena perkembangan lingkungan strategis sekarang jauh berbeda dengan doktrin yang dibuat para pendahulu kami. Contoh, kita lihat perang Ukraina dengan Rusia. Itu perangnya modern, tapi tidak menghilangkan perang tradisional. Dia tetap menggunakan (prajurit) yang jalan kaki, patroli. Tapi dia juga menggunakan drone, misalnya, sehingga organisasi saya atau satuan saya—batalion, kompi, peleton—harus diubah. Mungkin ditambah dengan alat drone.

Bagaimana soal Papua?

Kita perlu menghadapinya dengan soft power. Jangan selalu angkat senjata. Semua prajurit yang hendak pergi ke suatu daerah harus tahu dulu tipologi wilayahnya, kearifan lokalnya, adat istiadatnya. Misalnya, sebelum melepas pasukan dari Jawa, kami panggil komandan resimen, komandan batalion, pejabat teritorial di daerah yang hendak kami kunjungi untuk memberikan pembekalan, penyuluhan. Di Papua sukunya banyak, terus adat istiadatnya perang. Nyawa dibayar nyawa. Kalau kami ajak perang, ya, dia perang. Bagaimana mindset itu diubah? Namanya soft power. Mengedepankan operasi teritorial. Itu yang dimaksimalkan.

Soal kelompok bersenjata?

Karena dia kombatan, ya, kami juga profesional. Prajurit menembaknya harus bagus, manuvernya bagus, sehingga kalau menghadapi kombatan itu tidak ada masalah. Tapi yang kami kedepankan soft power. Kami tidak bekerja sendiri karena di situ sudah bermain teritorial, seperti membangun jembatan. Kami butuh kolaborasi dengan kementerian lain. Dia punya anggaran, kami punya konsep, oke bersama-sama. Jangan pula kementerian jalan sendiri karena selama ini tidak terkoordinasi sehingga mereka yang lagi bekerja ditembaki OPM (Organisasi Papua Merdeka), misalnya. Pendekatannya harus soft power. Kami harus tahu kearifan lokalnya. Jangan menyakiti hati rakyat. Sudah ada itu dalam Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat. Itu harus dikedepankan karena mereka saudara-saudara kita. 


Agus Subiyanto

Tempat dan tanggal lahir:

  • Baros, Cimahi Tengah, Jawa Barat, 5 Agustus 1967

Pendidikan:

  • Akademi Militer, 1988-1991
  • Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat, 2006
  • Sekolah Staf dan Komando TNI, 2015
  • Lembaga Ketahanan Nasional, 2019

Jabatan:

  • Komandan Batalion 22 Grup 2 Kopassus
  • Kepala Penerangan Kopassus
  • Komandan Komando Daerah Militer 0735/Surakarta
  • Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad
  • Asisten Operasi Kepala Staf Divisi Infanteri 1/Kostrad
  • Asisten Operasi Kepala Staf Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan
  • Komandan Resimen Induk Komando Daerah Militer II/Sriwijaya
  • Komandan Komando Resor Militer 132/Tadulako
  • Komandan Komando Resor Militer 061/Suryakencana
  • Komandan Pasukan Pengamanan Presiden
  • Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi
  • Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat
  • Kepala Staf TNI Angkatan Darat
  • Panglima TNI

Bagaimana idealnya persenjataan TNI Angkatan Darat sebagai matra terbesar?

Angkatan Darat akan menggandeng industri pertahanan dan saya sudah ke berbagai negara, misalnya ke Jerman, yang bikin tank Leopard. Ternyata kita buat tank juga di Pindad. Jadi kita sudah bisa. Cuma, turret (pelindung meriam yang dapat berputar) harus beli ke Belgia, sehingga Pindad membuat bodinya, senjatanya dari Belgia.

Itu lebih hemat?

Lebih hemat, perawatannya mudah. Kami akan ke sana. Kalau kami terus bergantung pada negara lain, enggak bisa. Contoh, kami beli tank Scorpion dari Inggris. Kalau dibawa ke Papua, enggak boleh. Mending kita punya otoritas bergerak sesuai dengan konsep operasi kita. 

Contoh lain, pesawat F16 punya Angkatan Udara. Saya ingin integratif, jadi saya punya network untuk tiga matra. Kalau pakai F16, (network) itu tidak bisa (dibangun) karena dia tersendiri, tidak bisa terkoneksi dengan pasukan laut, darat. Kalau kita ganti (alatnya), dari Amerikanya komplain.

Berlaku juga untuk alat-alat sistem pertahanan di laut dan udara?

Iya. Sebenarnya kita dulu sudah bisa bikin pesawat terbang. Secara logika kita bisa bikin pesawat tempur. Tapi kita masih dikendalikan sama negara-negara lain yang tidak ingin kita maju. Tapi, kalau senjata perorangan, kita sudah hebat. Kemarin saya mengecek Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus). Kopassus sudah pakai senapan SS2-V5 buatan Pindad. Dari segi model, modis, bagus. Hanya memang untuk aimpoint (alat bidik) kita masih pakai Trijicon dari luar. Saya minta agar kita nanti buat sendiri (alat bidiknya). 

Artinya, kemandirian menjadi prioritas?

Harus. Seperti drone, akan saya minta PT Len Industri bikin. Harus kita dorong dan supaya mereka hidup juga. Ini harus kita mulai. Kadang-kadang orang Indonesia itu gengsi-gengsian terhadap produk lokal. Selalu saya sampaikan kepada anggota bahwa produk kita sudah bagus. Kalau ada kekurangan, kami evaluasi. Satu rusak, biasa. Misalnya, senapan ditembak beberapa butir itu patah, ya sudah kita evaluasi. Kami sampaikan sama Pindad.

Dulu pernah membayangkan jadi Panglima TNI?

Siapa sih yang enggak pengen? Tapi terus terang saya enggak terbayang. Saya enggak pernah mikir (sejauh itu). Misalnya, kami di infanteri itu, kalau rekam jejaknya lurus, insyaallah pasti jadi komandan peleton. Habis itu kepala seksi operasi, komandan kompi, wakil komandan batalion, komandan batalion. Jalurnya begitu kalau kita enggak sakit, masih bisa lari, enggak pincang, badan enggak gemuk. Saya gini-gini aja dari dulu. Tidak berubah. Makannya tahu-tempe. Itulah gambaran seorang infantryman. Saya enggak pernah memikirkan jabatan. Dari dulu saya task-minded, fokus ke kerja sebagai seorang infanteri. Saya enggak mikir apa-apa. Kerja saja di batalion. Bawa kontingen, latihan bersama.

Setelah jadi panglima, ada target lain?

Akan saya jalani dulu ini. Saya ingin mengubah TNI menjadi yang PRIMA. Insyaallah dengan tekad dan niat yang baik, tulus, ikhlas, TNI ini ke depan akan lebih baik. Mungkin kesejahteraan sekarang sudah baik, tapi akan lebih baik. Jangan sampai ada perbedaan dengan instansi lain, tentang makan, perumahan, dan sebagainya. Demikian pula dengan purnawirawan, warakawuri, harus sejahtera. Meskipun sudah keluar, kan jasa-jasanya dalam mempertahankan negeri ini penting untuk kita perhatikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tentara Masih Diperhitungkan". Koreksi 21 November 2023: Dalam kalimat di jawaban kedua sebelumnya tertulis “Jadi seperti itu, trust-oriented” yang seharusnya “Jadi seperti itu, task-oriented”.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus