Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Data pribadi pengguna Facebook lagi-lagi bocor. Jumlah pengguna yang terdampak pun tak main-main, lebih dari 533 juta orang. Ratusan juta pengguna ini berasal dari 106 negara, termasuk Indonesia. Bahkan, data pribadi milik bos Facebook, Mark Zuckerberg, juga terekspos. Bagaimana kebocoran data ini bisa terjadi?
- Para ilmuwan masih terus memperdebatkan asal-usul SARS-CoV-2, meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan hasil investigasinya terkait virus Corona penyebab Covid-19 tersebut. Ada pihak yang berkata SARS-CoV-2 menyebar karena kecelakaan laboratorium. Tapi banyak ilmuwan memandang sangat kecil kemungkinan hal itu bisa terjadi.
Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo! Lagi-lagi, kita mesti mendengar kabar buruk bahwa Facebook mengalami kebocoran data. Yang lebih buruk lagi, jumlah pengguna yang terdampak kebocoran data ini mencapai lebih dari 533 juta orang. Apakah kita termasuk di dalamnya? Yang jelas, ratusan juta pengguna ini berasal dari 106 negara, di mana sekitar 130 ribu dari ratusan juta pengguna tersebut adalah warga Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
LAGI, DATA JUTAAN PENGGUNA FACEBOOK BOCOR
Data pribadi pengguna Facebook kembali ditemukan bocor. Jumlah pengguna yang terdampak pun tidak hanya jutaan, puluhan juta, atau 267 juta—yang data pribadinya terdeteksi bocor pada Desember 2019 lalu—melainkan lebih dari 533 juta. Ya, seorang anggota forum peretasan amatir, pada 3 April 2021 kemarin, membagikan data pribadi, termasuk nomor telepon, lebih dari 533 juta pengguna Facebook secara gratis.
Ratusan juta pengguna ini berasal dari 106 negara, termasuk sekitar 44,8 juta pengguna di Mesir, 39,5 juta di Tunisia, 35,6 juta di Italia, dan 32,3 juta di AS. Ada pula data pribadi milik sekitar 130 ribu pengguna di Indonesia. Data pribadi yang disebarkan, selain nomor telepon, adalah ID Facebook, nama lengkap, lokasi, tanggal lahir, biodata, dan, dalam beberapa kasus, alamat e-mail.
Data pribadi milik bos Facebook, Mark Zuckerberg, pun ikut bocor. Lewat akun Twitter-nya, peneliti keamanan siber Dave Walker mengunggah gambar yang menunjukkan serangkaian data pribadi milik Zuckerberg, termasuk nomor ponselnya yang disensor. “Dari 533 juta pengguna yang datanya bocor, ironisnya Mark Zuckerberg termasuk di dalamnya,” kata Walker. Ikut tersebar data pribadi milik dua pendiri Facebook lainnya, Chris Hughes dan Dustin Moskovitz.
Kepada Business Insider, juru bicara Facebook mengatakan data tersebut dikeruk lantaran kerentanan pada sebuah fitur. Pada 6 April, Mike Clark, Direktur Manajemen Produk Facebook, menerbitkan keterangan resmi di situs perusahaan yang berisi penjelasan bahwa data itu diperoleh bukan lewat peretasan sistem, melainkan dengan mengekstraknya (scraping) dari platform pada 2019. “Scraping adalah taktik umum yang sering kali mengandalkan perangkat lunak otomatis untuk mendapatkan informasi publik dari internet,” ujarnya.
Facebook meyakini data tersebut diambil dari profil akun pengguna oleh pelaku dengan fitur pengimpor kontak, sebelum fitur tersebut diperbaiki pada September 2019. Fitur ini dirancang untuk membantu pengguna menemukan teman-teman mereka di Facebook dengan daftar kontak mereka. Saat mengetahui aktor jahat menyalahgunakan fitur ini, Facebook membuat perubahan terhadap pengimpor kontak itu. “Lewat fungsi sebelumnya, mereka dapat menanyakan sekumpulan data untuk profil pengguna dan mendapatkan informasi terbatas yang termasuk dalam profil publik mereka.”
Menurut Alon Gal, direktur teknologi firma intelijen kejahatan siber Hudson Rock yang mendeteksi kebocoran data sekitar 533 juta pengguna Facebook itu, meskipun peristiwa ini terjadi beberapa tahun sebelumnya, data yang bocor terbukti berharga bagi para penjahat dunia maya. Data pribadi seseorang, walaupun bukan berupa informasi kata sandi, bisa disalahgunakan untuk menyamar atau menipu mereka, untuk menyerahkan kredensial masuk.
Facebook CEO Mark Zuckerberg, bersaksi untuk dengar pendapat Komite Energi dan Perdagangan DPR mengenai penggunaan dan perlindungan data pengguna di Capitol Hill, Washington, 11 April 2018. REUTERS
Gal mengatakan, dari sisi keamanan, tidak banyak yang bisa dilakukan Facebook untuk membantu penggunanya yang terkena dampak kebocoran, karena datanya sudah terbuka. Tapi Facebook bisa memberi tahu pengguna agar waspada terhadap skema penipuan yang memanfaatkan data mereka. “Orang yang mendaftar ke perusahaan terkemuka seperti Facebook mempercayai mereka terkait datanya, dan Facebook seharusnya memperlakukan data itu dengan sangat hormat. Kebocoran data pribadi pengguna adalah pelanggaran terhadap kepercayaan,” kata Gal.
Sementara editor teknologi Axios, Scott Rosenberg, menuturkan setiap informasi yang diberikan pengguna ke Facebook maupun diunggah di platform tersebut, termasuk profil, cepat atau lambat memang akan bersifat publik, meski pengguna mencoba merahasiakannya atau secara khusus membatasinya bagi teman-teman pengguna. Meski demikian, menurut Rosenberg, tidak berarti Facebook bisa lepas dari tanggung jawab untuk melindungi penggunanya.
Penulis senior Wired, Lily Hay Newman, justru mempertanyakan penjelasan Facebook. Dalam artikelnya pada 6 April, Newman menulis salah satu sumber kebingungannya adalah Facebook telah mengalami beberapa kali kebocoran, yang mungkin saja menjadi sumber dari 533 juta data tersebut. Apakah itu berasal dari tereksposnya data 540 juta pengguna yang diungkap firma keamanan siber UpGuard pada April 2019? Ataukah berasal dari bocornya data 419 juta pengguna yang dilaporkan TechCrunch pada September 2019?
Apakah itu ada hubungannya dengan skandal Cambridge Analytica pada 2018? Ataukah terkait dengan pelanggaran data Facebook besar-besaran pada 2018, yang membahayakan token akses dan hampir seluruh data pribadi sekitar 30 juta pengguna? Menurut laporan MIT Technology Review, Facebook memang mengatakan bahwa itu terjadi sebelum September 2019.
Tapi sebenarnya tidak jelas kapan persisnya data tersebut diambil. Salah satu faktor yang menyulitkan adalah sangat umum bagi aktor jahat di dunia maya untuk menggabungkan kumpulan data yang berbeda dan menjualnya dalam potongan yang berbeda pula. Sedangkan Facebook telah mengalami banyak pelanggaran data yang berbeda selama bertahun-tahun.
Mengapa isu soal waktu ini penting? Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) mulai berlaku di negara-negara Uni Eropa pada Mei 2018. Jika pelanggaran data 533 juta pengguna tersebut terjadi setelah itu, Facebook dapat dikenai denda dan tindakan penegakan hukum karena gagal mengungkapkan pelanggaran ini kepada regulator dalam 72 jam. Di AS, dua tahun lalu, Facebook pun menandatangani kesepakatan yang memberinya kekebalan dari denda Komisi Perdagangan Federal (FTC) untuk pelanggaran sebelum Juni 2019. Jadi, jika datanya dicuri setelah itu, Facebook juga bisa dikenai tindakan di sana.
MENELUSURI ASAL-USUL VIRUS CORONA
Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.
Hingga kini, dari mana virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, berasal masih menjadi perdebatan. Investigasi masih terus dilakukan demi menjawab perbedaan pendapat dari para pakar. Sejumlah pihak mengklaim bahwa virus Corona penyebab Covid-19 menyebar karena adanya kebocoran laboratorium di Wuhan. Namun, lebih banyak ilmuwan yang memandang hal skenario tersebut sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.
- Mantan direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), Robert Redfield, mengecam penanganan Cina terhadap pandemi Covid-19. “Bagi saya, sebagian informasinya tidak transparan. Saya bisa gunakan kata ‘menutup-nutupi’, tapi saya tidak tahu, jadi saya tidak akan berspekulasi,” ujarnya. Anthony Fauci, pakar penyakit menular AS, telah membantah klaim bahwa SARS-CoV-2 dibuat di laboratorium. Menurut dia, pernyataan Redfield hanyalah opini.
- Riset Roland Wiesendanger, pakar teknologi nano Universitas Hamburg, menemukan sejumlah sumber yang mengindikasikan kecelakaan laboratorium di Institut Virologi Wuhan sebagai penyebab pandemi. Riset ini menggunakan berbagai sumber informasi, termasuk literatur ilmiah, artikel di media cetak dan online, serta komunikasi pribadi dengan peneliti internasional. Wiesendanger pun mengatakan, “Mereka tidak memberikan bukti berbasis sains, tapi mereka memberikan banyak indikasi signifikan.”
- Pendiri Medika Life, Robert Turner, mencoba menjawab pertanyaan mengapa ahli teknologi nano yang dihormati seperti Wiesendanger mempertaruhkan kariernya dengan menerbitkan laporan yang kontroversial itu. Menurut dia, ada kekhawatiran yang berkembang tentang penelitian “Gain-of-Function” (GOF), yang berfokus untuk mengeksploitasi virus agar lebih mematikan. Secara ilmiah, penelitian tersebut berupaya meningkatkan patogenisitas suatu virus.
- Turner berkata, “Bisa dibilang, penelitian ini bisa menghentikan pandemi. Tapi, untuk mencapai itu, Anda perlu membuktikan secara meyakinkan bahwa laboratorium Wuhan terlibat dalam penelitian GOF, bahwa mereka memiliki akses ke virus Corona, bahwa mereka berhasil meningkatkan patogenisitasnya, dan akhirnya, secara tidak sengaja atau sebaliknya, melepaskan virus ke populasi manusia. Itu tugas yang sulit.”
- Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Cina tentang asal-usul Covid-19 menyatakan penularan virus dari kelelawar ke manusia melalui hewan lain adalah skenario yang paling mungkin, dan dugaan kebocoran laboratorium sangat tidak mungkin terjadi. WHO juga mengungkapkan temuan bahwa kasus pertama dengan gejala terdeteksi pada 8 Desember 2019. Namun, ada kemungkinan transmisi terjadi lebih awal. Meski begitu, tim WHO kesulitan dalam mengakses data, termasuk sampel biologis.
- Menanggapi laporan WHO ini, AS dan negara lain, termasuk Korea Selatan, Australia, dan Inggris, mendesak Cina untuk memberikan akses penuh ke para ahli. Ketua tim investigasi WHO, Peter Ben Embarek, pun mengatakan timnya merasa berada di bawah tekanan politik, termasuk dari luar Cina. Tapi dia menyatakan tidak pernah ditekan untuk menghapus apapun dari laporan akhirnya. Dia juga mengkonfirmasi bahwa timnya tidak menemukan bukti keterlibatan laboratorium di Wuhan dalam pandemi.
- Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, berharap ada studi kolaboratif lanjutan tentang asal-usul Covid-19 dengan skema berbagi data yang lebih komprehensif. “Saya tidak yakin hasil investigasi yang ada sudah komplit. Data-data dan studi lebih jauh diperlukan untuk mendapatkan konklusi yang lebih tegas,” katanya. Embarek membenarkan soal kurang komplitnya hasil investigasi timnya. “Ada berbagai alasan, mulai dari batasan hingga ruang privasi,” tuturnya.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
Donald Trump dan istrinya Melania menaiki pesawat di pangkalan Joint Base Andrews seusai meninggalkan Gedung Putih, Maryland, AS, Rabu, 20 Januari 2021. REUTERS/Carlos Barria
- Mahkamah Agung Amerika Serikat menghapus pendapat pengadilan federal yang menyatakan Presiden Donald Trump, saat masih menjabat, melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS karena memblokir pengikut akun Twitter-nya. Mahkamah membubarkan kasus itu karena Trump sudah tidak lagi menjabat. Pada Mei dan Juni 2017, Trump memblokir tujuh akun yang menyatakan ketidaksenangan kepadanya. Pengacara dari Knight First Amendment Institute pun menggugat Trump atas nama pemilik akun itu.
- Rusia mencabut ancamannya untuk memblokir Twitter pada 5 April 2021. Menurut pengawas internet Rusia, Roskomnadzor, pada 1 April, Twitter menggelar konferensi video dengan pemerintah, dan telah menghapus konten yang mempromosikan aktivitas ilegal atau pornografi lebih cepat. Selama hampir sebulan terakhir, akses pengguna di Rusia ke Twitter telah diperlambat, karena regulator menuntut platform untuk menghapus konten-konten yang mereka tandai.
- Raksasa teknologi di Cina, seperti Alibaba, Tencent, dan Baidu, mulai menghadapi tantangan yang serupa dengan yang dihadapi oleh Amazon, Facebook, dan Google. Antitrust—kebijakan pemerintah untuk menangani monopoli—telah menjadi tema besar bagi Beijing. Alibaba misalnya, yang memiliki beberapa platform e-commerce terbesar di dunia, sedang diselidiki terkait isu persaingan, dan berpotensi dikenai denda sebesar US$ 1 miliar serta diwajibkan melakukan divestasi.
- YouTube merilis transparansi seputar efektivitas sistemnya, yaitu Rasio Tontonan yang Melanggar (Violative View Rate atau VVR). VVR membantu YouTube mengetahui persentase penayangan yang berasal dari konten yang melanggar kebijakan. VVR terbaru sebesar 0,16-0,18 persen. Artinya, dari setiap 10 ribu penayangan, 16-18 penayangan berasal dari konten yang melanggar kebijakan. VVR ini turun lebih dari 70 persen dibandingkan pada kuartal yang sama pada 2017, saat YouTube memulai penghitungan VVR.
- Akhir Maret 2021 lalu, YouTube mengumumkan bahwa mereka sedang bereksperimen dengan menyembunyikan angka ketidaksukaan atau dislike. Hal ini dilakukan untuk mencegah bom dislike dari mereka yang sengaja ingin menurunkan rating sebuah video. Menurut YouTube, angka dislike juga dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan kreator. Nantinya, angka like dan dislike tetap bisa dilihat di halaman YouTube Studio masing-masing kreator, tapi hanya angka like yang akan ditampilkan di video.
- Media India harus mematuhi undang-undang baru yang akan memaksa mereka untuk mengubah atau menghapus sebuah konten. Menurut laporan The New York Times, ini adalah bagian dari skema besar Perdana Menteri India Narendra Modi untuk melemahkan media, terutama media-media baru, yang lebih berani dan tidak berada di bawah cengkeraman konglomerat besar ataupun tidak bergantung pada uang iklan dari pemerintah untuk bertahan hidup.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Awal pekan kemarin, viral di Facebook sebuah video yang diklaim menunjukkan tumpukan jenazah pasien Covid-19, namun ternyata salah satunya sedang merokok. Di antara tumpukan kantong plastik hitam yang disebut berisi jenazah pasien Covid-19 itu, memang menyembul kepala seorang pria yang tampak tengah merokok. Klaim yang beredar pun menyatakan bahwa itu adalah jenazah pasien Covid-19 palsu yang telah disiapkan untuk pemberitaan.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya.
Berdasarkan verifikasi Tempo, klaim bahwa video itu adalah video tumpukan jenazah Covid-19 palsu yang telah disiapkan, karena salah satunya sedang merokok, keliru. Video ini direkam dari lokasi syuting video klip lagu “Never-Ever” karya rapper asal Rusia, Dmitry Nikolayevich alias Husky. Kantong-kantong plastik hitam yang terlihat dalam video tersebut hanyalah properti. Video ini pernah diunggah oleh direktur fotografi video klip itu, Kirill Groshev, di akun Instagram-nya pada akhir September 2020, saat video klip lagu “Never-Ever” dirilis.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Sesat, klaim Rizieq Shihab dapat penghargaan di Malaysia saat ditahan di Indonesia
- Sesat, klaim ini video saat Densus 88 geledah pesantren lalu amankan Alquran dan tabungan santri
- Sesat, klaim vaksinasi Covid-19 hanya percobaan karena cuma kantongi izin darurat
- Sesat, klaim bahwa BMKG peringatkan tsunami di NTT pada 7 April 2021
- Tidak terbukti, istri Shinzo Abe pura-pura tak bisa bahasa Inggris saat bertemu Donald Trump
- Sesat, artikel yang sebut Cina bohong soal asal-usul virus Corona
- Keliru, klaim bom Gereja Katedral Makassar diledakkan dengan remote jarak jauh
- Keliru, klaim Polri sebut pelaku bom Gereja Katedral Makassar eks intel yang dipecat
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: