Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

newsletter

CekFakta #105 Sensor Kritik Iringi Tsunami Covid India

Sensor Kritik Iringi Tsunami Covid India-Potensi Gelombang II Pandemi di Indonesia-Hoaks dalam Tragedi Nanggala

3 Mei 2021 | 15.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo! Selama dua pekan terakhir, India diterjang “tsunami Covid-19”. Jumlah kasus positif Covid-19 di sana melonjak begitu tinggi hingga mencapai lebih dari 300 kasus dalam sehari. Banyak pihak pun mengkritik penanganan pandemi oleh Perdana Menteri India Narendra Modi yang dianggap buruk. Tapi para pengkritik justru ditekan.

  • Di tengah kepungan gelombang kedua pandemi Covid-19, pemerintah India meminta raksasa media sosial menghapus unggahan berisi kritik atas penanganan pandemi. Langkah ini memperdalam konflik antara platform media sosial dengan pemerintahan Modi. Perintah pun dikecam karena dinilai telah melakukan penyensoran untuk membungkam suara kritis.
  • Sejumlah ahli kesehatan memperkirakan Indonesia juga berpotensi mengalami situasi serupa dengan India, yang mengalami “tsunami Covid-19” beberapa waktu terakhir. Beberapa faktor dianggap sebagai pendorong hal tersebut, mulai dari lambatnya vaksinasi Covid-19, libur Lebaran, hingga rencana penyelenggaraan kembali sekolah tatap muka.

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENSOR KRITIK IRINGI TSUNAMI COVID INDIA

India diterjang “tsunami Covid-19”. Belakangan ini, jumlah kasus positif Covid-19 di negara yang terletak di Asia Selatan itu meroket. Pada 28 April 2021, total kasus infeksi Covid-19 harian di India mencapai 362.567 kasus dengan lebih dari 200 ribu kematian. Saking banyaknya penderita, rumah-rumah sakit baik di New Delhi, ibukota India, hingga yang berada di pelosok daerah, menolak pasien karena kehabisan tempat tidur dan oksigen.

Gelombang kedua pandemi Covid-19 tersebut memicu suara-suara kritis terhadap pemerintah. Beberapa unggahan yang viral di media sosial menyoroti kontradiksi antara pernyataan terbaru Perdana Menteri India Narendra dengan tindakan Modi sebelumnya. Pada 25 April lalu, misalnya, Modi berkata, “Saat ini, untuk memenangkan pertarungan ini, kita harus mengutamakan para ahli dan nasihat ilmiah.” Tapi menurut para pengeritiknya, baru-baru ini, Modi justru mengabaikan nasihat ahli tentang risiko melonggarkan pembatasan ketika dia menggelar kampanye politik besar-besaran tanpa memperhatikan jarak sosial.

Sayangnya, kritikan-kritikan terhadap pemerintah India ini justru menjadi sasaran sensor. Per 25 April, pemerintah India meminta Facebook, Instagram, dan Twitter menghapus ratusan unggahan di platformnya yang mengkritik penanganan pandemi, termasuk dari kelompok oposisi. Perintah ini juga ditujukan pada unggahan yang menyerukan agar Modi mengundurkan diri. Pemerintah India beralasan unggahan-unggahan tersebut “menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan dan menciptakan kepanikan tentang situasi Covid-19 di India dengan menggunakan gambar yang tidak terkait”.

Salah satu konten yang diblokir adalah unggahan Moloy Ghatak, menteri tenaga kerja negara bagian Benggala Barat, India, yang dikuasai oposisi. Ghatak menuding Modi meremehkan situasi di negaranya dan membiarkan begitu banyak orang meninggal karena “salah urus”. Cuitan Ghatak di Twitter itu memuat foto Modi dan kampanyenya, bersama foto kremasi, serta membandingkan Modi dengan Nero, kaisar Romawi, karena memilih mengadakan pertemuan politik dan mengekspor vaksin selama “krisis kesehatan”.

Konten lain yang diblokir berasal dari Pawan Khera, juru bicara partai oposisi utama pemerintah India, Indian National Congress (INC). Dalam cuitannya, dia menyebut partai nasionalis Hindu yang berkuasa, Bharatiya Janata Party (BJP), gagal mengakui bahwa festival keagamaan besar-besaran yang menarik jutaan peziarah Hindu ke tepi Sungai Gangga, beserta kampanye politiknya, berkontribusi terhadap penyebaran Covid-19.

Kepada The Verge, juru bicara Twitter mengatakan bahwa perusahaan membuat cuitan tertentu tidak dapat dilihat oleh pengguna yang berlokasi di India jika cuitan tersebut melanggar hukum setempat. “Saat menerima permintaan hukum yang valid, kami meninjaunya. Jika melanggar Peraturan Twitter, konten tersebut akan dihapus dari platform. Jika konten itu dianggap ilegal di yurisdiksi tertentu, tapi tidak melanggar Peraturan Twitter, kami dapat menahan akses ke konten tersebut hanya di India,” kata juru bicara itu.

Petugas menggunakan pakaian pelindung hazmat membawa jenazah korban Covid-19 yang akan dikremasi pada kremasi massal di New Delhi, India, 26 April 2021. REUTERS/Adnan Abidi

Ini bukan pertama kalinya Twitter mengabulkan permintaan pemerintah India. Pada Februari lalu, di tengah gelaran demonstrasi oleh para petani di India, Twitter memblokir lebih dari 500 akun secara permanen dan membuat sejumlah akun lainnya tidak terlihat oleh pengguna yang berlokasi di India. Menurut The New York Times, ketika itu, pemerintah India mengeluarkan pemberitahuan ketidakpatuhan ke perusahaan, yang bisa berarti hukuman penjara bagi karyawan Twitter di India jika perusahaan menolak permintaan tersebut.

The New York Times berpandangan, langkah-langkah memberangus ujaran online ini memperdalam konflik antara platform media sosial dengan pemerintahan Modi. Beberapa bulan terakhir, kedua pihak berselisih akibat dorongan pemerintah India untuk lebih ketat mengawasi ujaran online. Direktur Eksekutif Internet Freedom Foundation, Apar Gupta, berkata perintah itu digunakan untuk melakukan “penyensoran” dengan dalih membuat media sosial lebih “bertanggung jawab”. Sementara profesor dari University of Delhi, Aftab Alam, berkata, “Karena Anda tahu lebih mudah menghapus tweet daripada memastikan pasokan oksigen.”

Pamela Philipose, komentator media dan ombudsman untuk media The Wire, meyakini bahwa BJP, yang telah berkuasa di India sejak 2014, tidak dapat mentolerir kritik dan ingin mengontrol narasi publik. “Insting pertama pemerintah adalah mengontrol informasi,” katanya. “Tentu saja, pandemi memunculkan misinformasi. Tapi alat sensor yang tumpul seperti penghapusan secara luas paling tidak membantu, karena menekan informasi penting.”

Anggota parlemen India dan aktivis hak asasi manusia juga mengatakan penghapusan ratusan tweet kritis terhadap cara pemerintah India menangani pandemi Covid-19 membahayakan kesehatan masyarakat dan membungkam perbedaan pendapat. “Penindasan informasi dan kritik tidak hanya berbahaya bagi India, tapi juga menempatkan orang-orang di seluruh dunia dalam risiko,” kata Mirza Saaib Beg, seorang pengacara yang cuitannya ikut diblokir.

Dalam sebuah pernyataan, kementerian teknologi informasi India mengatakan bahwa pemerintah menyambut baik kritik terhadap langkahnya dalam memblokir konten seputar Covid-19. “Tapi perlu diambil tindakan terhadap pengguna yang menyalahgunakan media sosial selama krisis kemanusiaan yang parah ini untuk tujuan yang tidak etis.” Gupta menduga konten-konten ini diblokir berdasarkan Pasal 69A Undang-Undang Teknologi Informasi India, yang memungkinkan pemerintah memblokir konten yang mengancam keamanan nasional.

Menurut Wall Street Journal, tahun lalu, pemerintah India mengutip aturan itu ketika melarang TikTok, platform berbagi video milik, ByteDance, serta puluhan aplikasi asal Cina lainnya setelah terjadi bentrokan di perbatasan antara pasukan kedua negara. Pada Februari lalu, pemerintah India menetapkan aturan baru yang mengatur perusahaan internet, seperti Twitter, Facebook, dan WhatsApp, secara lebih luas. Regulasi ini diklaim diperlukan untuk melawan peningkatan jumlah berita palsu dan konten kekerasan di dunia maya.

POTENSI GELOMBANG II PANDEMI DI INDONESIA

Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.

Melonjaknya kasus Covid-19 di India tengah menjadi sorotan dunia. Pada 27 April 2021, dalam tempo 24 jam, tercatat 346.786 kasus baru positif Covid-19 dengan 2.624 kematian. Berkaca pada “tsunami Covid-19” yang menerjang India ini, beberapa ahli kesehatan memprediksi Indonesia berpotensi menghadapi kondisi serupa. Beberapa faktor, seperti lambatnya vaksinasi Covid-19, libur Hari Raya Idul Fitri, hingga rencana dimulainya sekolah tatap muka pada Juli mendatang, memperkuat kekhawatiran tersebut.

Sejumlah penumpang KM Lawit asal Tanjung Pandan, Belitung berjalan usai tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat 23 April 2021. Pemerintah memperpanjang masa larangan mudik dari yang semula 6-17 Mei menjadi 22 April - 24 Mei 2021 untuk mencegah penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

  • Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kombinasi antara pertemuan massal, tingkat vaksinasi yang rendah, dan varian baru virus Corona yang lebih menular menyebabkan gelombang kedua pandemi Covid-19 di India. Juru bicara WHO, Tarik Jasarevic, pada 27 April 2021, memperingatkan bahwa mutasi virus Corona bukan satu-satunya penyebab “tsunami Covid-19” di India. Menurut dia, perilaku berpuas diri juga berperan mendorong ambruknya sistem perawatan kesehatan di negara itu.
  • Gagandeep Kang, ahli virologi dari Christian Medical College, India, berkata, “Virus mungkin masuk ke populasi yang sebelumnya dapat melindungi diri mereka.” Ini bisa mencakup komunitas perkotaan yang lebih kaya, di mana mereka mengisolasi diri selama gelombang I, tapi mulai berbaur pada gelombang II. Srinath Reddy, Kepala Yayasan Kesehatan Masyarakat India, berpendapat bahwa kelengahan masyarakat merupakan pendorong besar penularan Covid. “Pandemi muncul kembali dalam masyarakat yang sepenuhnya terbuka, di mana orang-orang berbaur,” katanya.
  • Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, memprediksi DKI Jakarta dan wilayah lainnya berpotensi mengalami situasi seperti di India, ditunjukkan dengan peningkatan kasus Covid-19 yang cukup tajam. “Karena sekarang mobilitas warga tinggi selama Ramadan, apalagi juga menghadapi mudik Lebaran,” katanya. Menurut Pandu, risiko penularan Covid-19 semakin tinggi karena tingkat vaksinasi di Indonesia masih rendah. Belum lagi kepatuhan warga yang semakin berkurang untuk menerapkan protokol kesehatan.
  • Hal serupa diutarakan pendiri Kawal Covid-19, Elina Ciptadi. Lonjakan kasus, kata dia, selalu didahului dengan masa tenang semu, di mana terjadi penurunan kasus. Kini, masa itu sedang terjadi di Indonesia. Akan tetapi beberapa kegiatan dalam waktu dekat berpotensi menjadi sumber ledakan Covid-19. Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya: Lebaran, libur kenaikan kelas, dan rencana pembukaan sekolah. “Ini semuanya sangat mengkhawatirkan jika berkaca dari pengalaman sebelumnya,” kata Elina.
  • Pemerintah bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda) berkomitmen membatasi pergerakan orang untuk mencegah penularan antar negara dan antar daerah. Pada skala nasional pemerintah telah melarang mudik melalui Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 berikut adendumnya. Menyusul krisis Covid-19 di India, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan khusus untuk menolak masuknya Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki riwayat perjalanan 14 hari terakhir dari India dan penangguhan sementara pemberian visa bagi WNA asal India.
  • Terkait rencana pembukaan sekolah pada Juli 2021, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 27 April 2021 menyatakan mereka telah mengkaji perkembangan pandemi Covid-19 dan belum merekomendasikan sekolah tatap muka. Kasus Covid-19 yang kembali meningkat, penemuan varian baru virus Corona sejak Maret 2021, serta cakupan vaksinasi Covid-19 yang belum mencapai target merupakan beberapa indikator yang dikaji oleh IDAI.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

Gambar tangkapan layar video deepfake mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang dibuat oleh aktor AS, Jordan Peele (kanan). Sumber: Kanal YouTube BuzzFeedVideo

  • Sejumlah anggota parlemen senior Eropa menjadi sasaran orang-orang yang diduga menggunakan filter deepfake, konten manipulasi yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan. Orang-orang itu meniru wajah tokoh oposisi Rusia dalam panggilan video dengan para politisi senior Eropa itu. Mereka yang ditipu termasuk Rihards Kols, ketua komite urusan luar negeri parlemen Latvia, serta anggota parlemen dari Estonia dan Lithuania. Tom Tugendhat, ketua komite pemilihan urusan luar negeri Inggris, juga menjadi sasaran penipuan.
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meminta keterangan dari Facebook terkait banyaknya kasus penandaan (tagging) dengan tautan konten pornografi yang dialami oleh para pengguna di Indonesia. Menurut hasil investigasi Facebook, penandaan merupakan modus phising, yang mengarahkan pengguna untuk mengakses tautan yang di-tag ke mereka. Saat ini, Facebook telah menghapus halaman yang terlibat dalam upaya phising itu dan memblokir tautan yang mencurigakan.
  • Halaman milik mantan anggota parlemen Australia, Craig Kelly, diblokir oleh Facebook karena dianggap melanggar kebijakan tentang misinformasi. Sebelumnya, Kelly kerap menerima reaksi keras dari Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan ahli kesehatan atas unggahannya tentang  vaksin Covid-19 di halaman Facebook-nya. Meski kehilangan akses ke halaman utamanya, kepada ABC, Kelly mengatakan ia masih mempertahankan akses ke halaman keduanya di Facebook.
  • Twitter menambahkan fitur baru di linimasa pengguna untuk membantu mempromosikan upaya vaksinasi Covid-19. Fitur itu berupa notifikasi dalam sebuah kotak besar di bagian atas linimasa dengan teks tebal berbunyi “Vaksin Covid-19: Ketahui Faktanya”. Di bawah tulisan ini, terdapat teks yang lebih kecil yang mendorong pengguna untuk “memastikan memiliki informasi paling baru tentang vaksinasi virus Corona (Covid-19)” serta tautan yang membawa pengguna ke halaman berisi informasi tentang vaksin.
  • Sutradara “Nomad land”, Chloe Zhao, membuat sejarah pada 25 April 2021 lalu dengan menjadi perempuan kulit berwarna pertama dan perempuan Cina pertama yang memenangkan Oscar kategori sutradara terbaik. Namun, media resmi, mesin pencari utama, dan sensor internet di Cina membuat seolah-olah hal ini tidak terjadi. Hampir semua unggahan di media sosial Cina yang berisi ucapan selamat untuk Zhao dihapus. Artikel tentang penghargaan yang diterima Zhao itu juga tak tampak di mesin-mesin pencari Cina.
  • Seorang reporter New York Post, yang menulis berita palsu bahwa anak-anak migran diberi salinan buku anak-anak karya Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, mengundurkan diri pada 27 April 2021. Reporter itu, Laura Italiano, menyatakan bahwa ia telah “diperintahkan” untuk menulis berita yang “salah”. Berita tersebut beredar di media-media konservatif dan dikecam oleh para pemimpin Partai Republik yang merupakan oposisi dari partai Harris, Partai Demokrat.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Di tengah kabar duka tenggelamnya kapal selam milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), KRI Nanggala 402, di perairan Bali setelah hilang kontak pada 21 April 2021, beredar klaim yang mengaitkan kejadian itu dengan ranjau bawah laut milik militer Cina. Menurut sebuah cuitan di Twitter pada 26 April 2021, ditemukan banyak ranjau bawah laut di sekitar lokasi tenggelamnya KRI Nanggala. “Pesawat intai Poseidon P-8 milik Amerika menyimpulkan ranjau tersebut ditanam Angkatan Laut komunis Cina,” demikian narasi dalam cuitan tersebut.

Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait tenggelamnya KRI Nanggala 402, kapal selam milik TNI Angkatan Laut, di perairan Bali pada 21 April 2021.

Berdasarkan verifikasi Tempo, klaim bahwa KRI Nanggala tenggelam akibat ranjau bawah laut militer Cina, keliru. Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono telah membantah isu bahwa KRI Nanggala tenggelam akibat bom, termasuk ranjau bawah laut. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto pun telah memastikan KRI Nanggala tidak meledak. Hingga kini, penyebab tenggelamnya KRI Nanggala masih diselidiki.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus