Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

newsletter

CekFakta #111 Algoritma Facebook di Pusaran Konflik Dunia

Algoritma Facebook di Pusaran Konflik Dunia, Ampuhkah Ivermectin Lawan Covid-19?

28 Juni 2021 | 12.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

  • Sebuah investigasi oleh sebuah kelompok hak asasi menemukan bahwa algoritma rekomendasi Facebook terus mengundang pengguna untuk melihat konten yang melanggar kebijakan platform. Facebook pun dianggap mempromosikan konten yang menghasut kekerasan terhadap demonstran yang memprotes kudeta Myanmar beberapa waktu lalu.
  • Dalam sepekan terakhir, obat Ivermectin ramai diperbincangkan publik. Pasalnya, obat cacing tersebut diklaim bisa menyembuhkan sekaligus mencegah Covid-19. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun meluncurkan obat Ivermectin yang bakal digunakan dalam terapi penyembuhan pasien Covid-19. Apakah obat ini ampuh melawan Covid-19?

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALGORITMA FACEBOOK DI PUSARAN KONFLIK DUNIA

Facebook lagi-lagi terseret dalam konflik yang terjadi di Myanmar. Setelah pada 2018 silam Facebook dinilai gagal mengatasi ujaran kebencian yang memicu genosida terhadap etnis Rohingya, kali ini Facebook dianggap mempromosikan konten yang menghasut kekerasan terhadap demonstran yang memprotes kudeta Myanmar. Facebook juga disebut memperkuat misinformasi yang disebarkan oleh junta, meskipun telah berjanji untuk menekan penyalahgunaan platformnya.

Menurut investigasi kelompok hak asasi Global Witness, algoritma rekomendasi Facebook terus mengundang pengguna untuk melihat konten yang melanggar kebijakan platform. Usai menyukai sebuah halaman penggemar militer Myanmar, yang tidak berisi unggahan terbaru yang melanggar kebijakan Facebook, Global Witness menemukan bahwa raksasa media sosial ini menyarankan beberapa halaman pro-militer yang berisi konten kekerasan.

Salah satu unggahan menampilkan poster “dicari” yang menawarkan hadiah 10 juta dolar untuk penangkapan “hidup atau mati” seorang wanita muda. Unggahan itu mengklaim bahwa wanita ini adalah salah satu pengunjuk rasa yang membakar sebuah pabrik setelah adanya tindakan keras militer. Foto wajah wanita itu, dan gambar tangkapan layar profil Facebook-nya, dicantumkan di samping tulisan yang berbunyi: “Gadis ini adalah orang yang melakukan pembakaran di Hlaing Tharyar. Akunnya telah dinonaktifkan. Tapi dia tidak bisa lari.”

Unggahan lain yang teridentifikasi oleh Global Witness antara lain berisi ancaman pembunuhan, dukungan terhadap kekerasan militer, dan misinformasi, seperti bahwa Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS telah masuk ke Myanmar dan bahwa militer merebut kekuasaan karena terjadinya “penipuan pemilu”. Militer menuduh partai pemimpin terpilih Myanmar, Aung San Suu Kyi, bertindak curang dalam pemilu pada 2020 untuk membenarkan kudeta pada Februari 2021 lalu.

Ketika itu, Facebook menyatakan bakal menghapus klaim palsu tentang penipuan atau campur tangan asing dalam pemilu Myanmar dari platformnya. Perusahaan milik Mark Zuckerberg ini juga mengatakan telah melarang entitas negara dan media yang dikendalikan militer, serta memperkenalkan kebijakan khusus bagi Myanmar, yakni “menghapus pujian, dukungan, dan advokasi terhadap kekerasan oleh pasukan keamanan dan pengunjuk rasa Myanmar”.

Berdasarkan kebijakan itu, konten yang mendukung penangkapan warga oleh militer atau pasukan keamanan akan dihapus. Seorang juru bicara Facebook mengatakan tim mereka “memantau dengan cermat” situasi di Myanmar secara real time dan telah mengambil tindakan pada unggahan, halaman, atau grup yang melanggar kebijakannya. Namun, menurut Global Witness, konten yang mereka identifikasi masih tetap ada selama berbulan-bulan.

Para pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan petugas keamanan di tengah aksi protes anti-kudeta di Hlaing Township di Yangon, Myanmar, 17 Maret 2021. REUTERS/Stringer

Hal yang sama ditemukan oleh Avaaz, kelompok advokasi nirlaba yang fokus pada misinformasi, di tengah gelaran Pemilu Amerika Serikat 2020. Mereka menemukan bahwa Facebook telah mengizinkan grup-grup, banyak yang terkait dengan QAnon, boogaloo, dan gerakan-gerakan milisi anti-pemerintah, untuk mengagungkan kekerasan selama Pemilu AS dan pekan-pekan menjelang kerusuhan yang mematikan di US Capitol, Washington DC, pada Januari 2021.

Avaaz mengidentifikasi 267 halaman dan grup di Facebook yang menyebarkan konten yang mendukung kekerasan kepada 32 juta pengguna di tengah panasnya Pemilu AS. Lebih dari dua pertiga halaman dan grup itu memiliki nama yang selaras dengan QAnon, boogaloo, dan gerakan-gerakan lainnya. Mereka telah dilarang dari Facebook sejak 2020. Tapi sebanyak 119 halaman dan grup tersebut masih aktif pada 24 Februari 2021 dengan sekitar 27 juta pengikut. Menurut Facebook, dari 119 halaman dan grup tersebut, hanya 18 di antaranya yang “benar-benar melanggar” kebijakan platform.

Saat itu, Facebook mengakui bahwa penegakan kebijakannya “tidak sempurna”. Namun, Facebook juga menyebut laporan Avaaz itu mendistorsi apa yang selama ini telah mereka lakukan untuk melawan ekstremisme kekerasan dan misinformasi. Menurut Facebook, mereka telah melakukan upaya yang melampaui perusahaan teknologi lainnya dalam menghentikan aliran konten berbahaya, di mana beberapa di antaranya melarang “hampir 900 gerakan sosial militer” dan menghapus puluhan ribu halaman, grup, dan akun QAnon.

Meski demikian, grup Facebook bernama “Stop The Steal”, yang mempromosikan teori konspirasi bahwa Pemilu AS dicurangi, telah memperoleh ratusan ribu pengikut sebelum ditutup. Selain itu, Facebook hanya melarang sepenuhnya konten yang mengandung frasa “stop the steal setelah terjadinya penyerbuan US Capitol. Beberapa kelompok dan individu yang menyebarkan teori konspirasi pun berusaha menghindari sistem moderasi konten Facebook, baik dengan mengubah nama grup mereka atau menggunakan fungsi platform Facebook yang lain.

Misalnya, seorang penjaja teori konspirasi menggunakan Instagram Stories, fitur milik Instagram, anak perusahaan Facebook, untuk berbagi klaim palsu. Seperti diketahui, Instagram Stories diprogram untuk menghilang secara otomatis dalam 24 jam. Hal tersebut memungkinkan para penyebar hoaks mengedarkan pesan mereka ke ribuan pengguna lainnya sebelum konten mereka dapat diidentifikasi oleh tim moderasi konten.

Seorang aktivis di Myanmar, Thet Swe Win, memiliki pandangan berbeda. Di AS, Facebook, dan raksasa media sosial lain seperti Twitter dan YouTube, memang dengan cepat memblokir mantan Presiden AS Donald Trump dari platform mereka karena menghasut serangan US Capitol. Tapi menurut dia, di negara-negara lain, perusahaan-perusahaan media sosial itu jauh lebih lambat dalam menangani misinformasi dan ujaran kebencian.

Win melihat tindakan para raksasa teknologi terhadap Trump dan konspirasi sayap kanan di AS bukan sebagai tanda komitmen yang lebih kuat untuk memblokir konten berbahaya. Baginya itu merupakan bukti standar ganda yang mengakar dalam cara perusahaan internet menegakkan aturan di pasar terkaya mereka, di mana mereka menghadapi pengawasan ketat dari regulator dan publik, dibandingkan di negara lain. Analis media asal Sri Lanka, Nalaka Gunawardene, sepakat. “Kami menyadari bahwa Facebook sebagai perusahaan teknologi global tidak menegakkan aturan platformnya sendiri secara merata atau konsisten di seluruh dunia.”

AMPUHKAH IVERMECTIN LAWAN COVID-19?

Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.

Di tengah lonjakan kasus Covid-19 pasca libur Lebaran 2021, obat Ivermectin ramai diperbincangkan publik. Sempat beredar klaim yang belum terbukti kebenarannya bahwa obat cacing tersebut dapat menyembuhkan sekaligus mencegah Covid-19. Belum kelar perdebatan tentang itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meluncurkan obat Ivermectin yang bakal digunakan dalam terapi penyembuhan pasien Covid-19. Apa itu sebenarnya obat Ivermectin, dan apakah ampuh melawan Covid-19?

Belasan pasien terbaring di lorong IGD RSUD dr Soekardjo Kota Tasikmalaya, karena masuk dalam daftar tunggu untuk dipindahkan ke ruang isolasi, Selasa 22 Juni 2021. Tempo/ROMMY ROOSYANA

  • Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah studi menemukan Ivermectin memiliki fungsi antivirus terhadap berbagai jenis virus secara in vitro. Pada April 2020, peneliti Australia menerbitkan laporan percobaan laboratorium untuk menguji aktivitas antivirus Ivermectin terhadap SARS-CoV-2. Menurut riset ini, treatment tunggal Ivermectin mampu mempengaruhi ~5.000 kali lipat pengurangan RNA virus dalam 48 jam pada kultur sel. Karena itu, Ivermectin memerlukan penyelidikan lebih lanjut terkait kemungkinan manfaatnya pada manusia.
  • Pemerintah Australia memantau dengan cermat penelitian di seluruh dunia tentang pengobatan Covid-19. Saat ini, tidak ada cukup bukti untuk mendukung penggunaan Ivermectin, Doksisiklin, atau zinc yang aman dan efektif (baik secara terpisah atau kombinasi) dalam pencegahan atau pengobatan Covid-19. Diperlukan uji klinis yang lebih kuat dan dirancang dengan baik terhadap obat tersebut sebelum dapat dianggap sebagai pilihan pengobatan yang tepat.
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga menyatakan, meski disetujui penggunaannya pada manusia dan hewan, Ivermectin tidak disetujui untuk pencegahan atau pengobatan Covid-19. Hasil penelitian yang baru saja dirilis menggambarkan efek Ivermectin pada SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, di lingkungan laboratorium. Jenis penelitian laboratorium ini umumnya digunakan pada tahap awal pengembangan obat. Pengujian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah Ivermectin tepat untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
  • Institut Kesehatan Nasional AS (NIH) menjelaskan bahwa Ivermectin tidak disetujui oleh FDA untuk pengobatan infeksi virus apa pun. Belum ada data yang cukup yang bisa digunakan oleh Panel Pedoman Perawatan Covid-19 untuk merekomendasikan maupun menentang penggunaan Ivermectin untuk pengobatan Covid-19. Hasil dari uji klinis yang kuat dan dirancang dengan baik diperlukan untuk memberikan panduan berbasis bukti yang lebih spesifik tentang peran Ivermectin dalam pengobatan Covid-19.
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan Ivermectin merupakan obat untuk infeksi kecacingan. Hingga kini, khasiat Ivermectin untuk mencegah dan mengobati Covid-19 belum dibuktikan oleh data uji klinis yang memadai, sehingga belum disetujui untuk pengobatanCovid-19. Kalau pun Ivermectin digunakan untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19, harus di bawah pengawasan dokter, karena tergolong sebagai obat keras.
  • Paul Auwaerter, ahli penyakit menular, berkata, “Dua obat yang memiliki peran dalam mengobati infeksi Covid-19 yang parah adalah Remdesivir, yang baru-baru ini mendapat persetujuan FDA untuk pengobatan pasien Covid-19 rawat inap, dan Kortikosteroid Deksametason.” Pada Mei 2020, FDA menyediakan Remdesivir bagi pasien uji coba penelitian dan pasien rawat inap melalui otorisasi penggunaan darurat. Pada 22 Oktober 2020, FDA menyetujui obat tersebut bagi pasien dewasa dan anak-anak dengan Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

Kantor pusat Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) di Washington DC, AS. Kredit: Xinhua/Liu Jie

  • Pihak berwenang Amerika Serikat menghapus berbagai domain situs berita terkait Iran, yang menurut mereka menyebarkan disinformasi. Langkah ini diambil di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara itu. Menurut Departemen Kehakiman, 33 situs yang yang dihapus tersebut digunakan oleh Iranian Islamic Radio dan Television Union, yang oleh pemerintah AS, pada Oktober 2020 lalu, dianggap menyebarkan disinformasi dan menabur perselisihan di tengah Pemilu AS.
  • The New York Times merilis laporan yang menjabarkan bagaimana Cina menyebarkan propaganda tentang kaum Uighur di Xinjiang. Analisis terhadap video yang diunggah ke media sosial menemukan bahwa orang-orang Uighur menyatakan kebebasan dan kebahagiaan mereka dalam bahasa yang sangat mirip. Hal ini menunjukkan bahwa mereka diduga kuat berada di bawah paksaan.
  • Perdana Menteri India Narendra Modi baru-baru ini berpidato tentang Covid-19 dan yoga saat Hari Yoga Internasional 2021. Namun, Modi lagi-lagi membuat klaim yang menyesatkan, bahwa yoga memiliki kualitas “pelindung” terhadap virus Corona. Pernyataan Modi itu dilontarkan saat India meluncurkan program vaksinasi Covid-19 gratis untuk seluruh orang dewasa di negaranya, di tengah melambatnya vaksinasi di sana secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
  • Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS atau CDC meluncurkan chatbot WhatsApp terkait vaksin Covid-19 dalam bahasa Spanyol. Langkah ini diambil untuk meningkatkan jumlah orang Latin di AS yang divaksinasi. Chatbot tersebut bernama “Mi Chat Sobre Vacunas Covid”. Dalam chatbot ini, terdapat berbagai menu, mulai dari lokasi vaksinasi terdekat hingga informasi tentang transportasi ke dan dari lokasi vaksinasi.
  • Facebook akan memperbaharui standar komunitasnya untuk menangani konten satire. Facebook bakal menganggap satire sebagai bagian dari penilaian atas keputusan terkait konteks sebuah konten. “Perubahan ini memungkinkan tim mempertimbangkan satire saat menilai potensi pelanggaran terkait ujaran kebencian.” Pembaharuan itu datang setelah Dewan Pengawas memutuskan Facebook salah menghapus komentar pengguna dengan referensi ke pemerintah Turki berdasarkan meme. 
  • Mahkamah Agung AS memberikan kesempatan kepada LinkedIn untuk menghentikan perusahaan saingan mengambil informasi pribadi dari profil publik pengguna, praktik yang menurut LinkedIn ilegal. Sebelumnya, kasus LinkedIn melawan Hiq Labs pada 2019 dihentikan setelah Pengadilan Banding Sirkuit ke-9 AS memutuskan bahwa undang-undang tidak melarang perusahaan mengumpulkan data yang dapat diakses publik di internet.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Baru-baru ini, bintang sepak bola Portugal, Cristiano Ronaldo, bikin heboh. Dalam konferensi pers menjelang laga Hungaria melawan Portugal dalam perhelatan Euro 2020, Ronaldo menyingkirkan botol minuman berkarbonasi, Coca-cola, yang ada di hadapannya. Berbagai spekulasi liar pun mengemuka, termasuk klaim bahwa Ronaldo menyingkirkan botol Coca-cola tersebut karena merupakan produk Yahudi.

Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait alasan Cristiano Ronaldo menyingkirkan botol Coca-cola dalam konferensi pers Euro 2020 pada 14 Juni 2021.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu keliru. Ronaldo menyingkirkan botol Coca-cola tersebut karena alasan kesehatan. Ketika itu, setelah memindahkan botol Coca-cola, Ronaldo mengangkat sebotol air mineral dan berujar, “Minum air.” Kapten Timnas Portugal ini memang dikenal sebagai orang yang fanatik dengan kesehatan, dan mencoba menjelaskan apa yang dia pikirkan tentang minuman berkarbonasi seperti Coca-cola. Sebelumnya, Ronaldo sempat menyatakan ketidaksukaannya terhadap minuman ringan dan makanan siap saji. Hal itu pun ia ajarkan kepada anaknya, Cristiano Ronaldo Jr.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus