Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lifter nasional Deni merintis akademi angkat besi bagi anak-anak di kampungnya di Parung Panjang, Kabupaten Bogor.
Ada 12 anak usia 8-16 tahun yang berlatih angkat besi di 6221 Weightlifting Academy.
Ingin mengulang sukses Imron Rosadi mendirikan Padepokan Gajah Lampung di Pringsewu yang telah mencetak atlet seperti Triyanto dan Eko Yuli Irawan.
SUARA teriakan Deni bersaing dengan dentuman empat set barbel yang diangkat bergantian oleh 12 anak Kampung Pabuaran, Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lifter nasional yang meraih medali emas SEA Games 2019 di Filipina itu memberikan pengarahan kepada anak asuhnya di akademi angkat besi yang didirikannya enam bulan lalu. “Ayo, pemanasan dulu. Setelah itu, mulai lakukan angkatan snatch,” kata Deni pada Rabu, 16 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deni memberi nama 6221 Weightlifting Academy untuk akademi angkat besinya itu. Dia bercerita mulai melatih anak-anak itu setelah ia tampil di Olimpiade Tokyo 2020. “Kalau tidak salah sekitar Agustus 2021. Waktu itu lagi latihan sendiri, malah anak-anak ini mau ikut,” ujarnya. Deni adalah satu dari lima atlet angkat besi Indonesia yang berlaga di Olimpiade Tokyo 2020. Turun di kelas 67 kilogram, ia gagal menyumbangkan medali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, kata Deni, lokasi latihan hanya di teras rumahnya. Animo dan semangat anak-anak yang ingin terus berlatih membuatnya tertantang memberikan fasilitas yang lebih layak. Ia pun menyulap lahan kosong berukuran 6 x 12 meter di samping rumahnya menjadi tempat latihan. Pengerjaan konstruksi lantai, dinding, dan atap klub angkat besinya itu rampung pada akhir Oktober 2021. “Syukurlah sudah ada tempat ini, jadi biar hujan tetap bisa latihan,” tutur Deni.
Pria kelahiran Parung Panjang, Bogor, 26 Juli 1989, ini bercerita, dana pembangunan tempat latihan ataupun peralatan berasal dari para donatur. Ia sempat membuka permintaan donasi melalui Kitabisa.com. Selain itu, Deni mendapat bantuan dari tempatnya bekerja, yakni pusat kebugaran CrossFit 6221. “Banyak orang baik sih yang bantu sehingga bisa beli peralatan, kostum, bahkan sepatu anak-anak,” ujarnya.
Meski telah memiliki tempat latihan yang layak, Deni punya tantangan lain untuk membina para calon lifter muda tersebut. Peraih medali emas Universiade 2011 di Shenzhen, Cina, ini harus meyakinkan para orang tua untuk merelakan anak mereka berlatih keras sehingga bisa menjadi atlet yang berprestasi. “Tantangannya itu menjelaskan ke orang tua. Apalagi orang masih percaya bahwa mitos angkat besi membuat (tubuh) pendek,” ucapnya.
Kendala itu, kata dia, mulai terlihat dengan naik-turunnya jumlah anak yang berlatih. Pada awal Deni membuka akademi, ada 20 anak usia 8-16 tahun yang ikut berlatih. Saat ini yang rutin berlatih hanya 12 orang. Deni pun makin tertantang untuk membuktikan bahwa pilihan membangun klub angkat besi di kampungnya merupakan pilihan tepat. “Nanti, sekitar Oktober, bakal mencoba mengikutkan dua anak di kejuaraan angkat besi di Banten,” ujarnya.
Selain menerapkan latihan fisik, Deni tidak lupa mengajak anak didiknya berekreasi agar menjaga kekompakan. Pada awal Januari lalu, ia membawa anggota akademi angkat besinya berwisata ke Pantai Anyer, Banten. “Rencana mau nonton bioskop lagi nanti. Tapi tunggu Omicron mereda dulu,” tuturnya.
Atlet Angkat Besi Deni di 6221 Weighliftingg Academy, Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat, 16 Februari 2022/TEMPO/M Taufan Rengganis
Salah satu murid 6221 Weightlifting Academy, Salsabilla, 13 tahun, bercerita, dia ingin mengikuti jejak Deni yang bisa berprestasi di kancah internasional. Ia bertekad berlatih keras agar bisa mewakili akademi di kejuaraan angkat besi. “Pengen kayak Kak Deni bisa jadi juara SEA Games dan tampil di Olimpiade,” ujar siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parung Panjang ini, Rabu, 16 Februari lalu.
Tekad yang sama disampaikan oleh Ferdiansyah, 14 tahun. Ia mengaku terinspirasi pada capaian Deni yang telah mengharumkan nama kampung halamannya. Tekad Ferdiansyah makin bulat ketika ia melihat warga Desa Jagabita yang menyambut sang guru dengan arak-arakan setelah mempersembahkan medali emas di SEA Games 2019. “Sama juga pengen kayak Kak Deni. Malah kalau bisa prestasinya lebih baik,” kata Ferdiansyah menimpali Salsabilla.
Akademi angkat besi yang didirikan Deni seperti ingin mengulang sukses Padepokan Gajah Lampung di Jalan Ahmad Yani, Pringsewu Utara, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Tempat yang dikenal sebagai candradimuka para lifter muda itu dibangun oleh Imron Rosadi, 76 tahun, mantan atlet nasional angkat besi. Padepokan binaan Imron sudah berusia 55 tahun. “Sudah berjalan dari 1967,” ucap Imron saat dihubungi, Kamis, 17 Februari lalu.
Sejumlah atlet lulusan Padepokan Gajah Lampung telah mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional, di antaranya Winarni, Sri Indriyani, Eko Yuli Irawan, dan Triyatno. Winarni dan Sri meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000. Triyatno meraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008 dan medali perak Olimpiade London 2012. Sedangkan Eko adalah atlet Indonesia peraih medali terbanyak di Olimpiade: dua medali perak dan dua medali perunggu.
Imron bercerita, ia masih turut mengawasi calon-calon atlet yang berlatih. Dalam sehari para atlet biasanya menjalani latihan dua kali, pagi pada pukul 08.00-10.00 dan sore pukul 16.00-18.00. Pelatih di padepokan ini adalah anak Imron, Eddy Santoso. “Kadang masih ikut mengawasi anak-anak (berlatih),” ujar Imron. Di Padepokan Gajah Lampung, para lifter terbagi menjadi empat kategori: pra-pemuda (usia kurang dari 13 tahun), pemuda (13-17 tahun), junior (17-20 tahun), dan senior (di atas 20 tahun).
Imron mengatakan biaya operasional untuk padepokan Pringsewu sedang bermasalah dalam enam bulan terakhir. Menurut dia, bantuan rutin dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Lampung belum cair, sehingga mereka harus mencari dana talangan untuk membiayai keberlangsungan padepokan. “Tidak tahu juga masalahnya apa. Kejadian ini baru terjadi sejak 1989 ketika kami mulai mendapat bantuan dari KONI,” katanya.
Walaupun menghadapi kendala pendanaan, Imron tetap bertekad membina 40 murid padepokan untuk bisa berprestasi di kancah internasional. Menurut dia, ketika latihan terhenti sekali saja, ke depan mereka bakal sulit membentuk mental dan stamina atlet. “Jadi jalan saja dulu dengan kondisi apa adanya,” ucap peraih medali emas Kejuaraan Angkat Besi Asia Pasifik di Australia 1972 itu.
Kegigihan Imron dalam membangun Padepokan Gajah Lampung juga dicoba diikuti mantan anak didiknya, Eko Yuli Irawan. Peraih medali perak Olimpiade Tokyo 2020 itu mulai merintis klub angkat besi binaannya. “Belum seserius pengelolaan padepokan Pringsewu, masih klub kecil aja,” tutur Eko Yuli Irawan, Jumat, 18 Februari lalu.
Lifter 34 tahun ini menjelaskan klub angkat besinya di daerah Bekasi, Jawa Barat. Ia kini melatih tiga anak yang diharapkan menjadi atlet berprestasi. “Anggota klub baru tiga orang, itu pun masih kerabat dekat,” ujar Eko. “Karena masih aktif (menjadi atlet), jadi belum bisa berfokus melatih banyak orang,” katanya. “Mungkin nanti kalau pensiun baru bisa fokus jadi pelatih.”
Eko Yuli Irawan belum berniat menerjunkan atlet binaannya di kejuaraan angkat besi kategori junior. Ia merasa perlu dua tahun lagi untuk bisa membentuk mental dan stamina para atletnya. “Biarkan mereka kerja keras dulu dalam latihan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo