Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku yang merupakan tafsir baru tentang kisah Panji karya arkeolog Agus Aris Munandar.
Banyak hal baru tentang Panji yang berbeda dengan interpretasi para peneliti sebelumnya.
Kumpulan artikel Agus Aris Munandar seputar Panji yang ia tulis antara 2005 dan 2020.
IA mengenakan semacam penutup kepala sederhana yang disebut tekes. Tak ada hiasan berlebihan yang melekat pada tubuhnya. Hanya gelang tangan, kalung, dan anting yang prasaja. Jauh dari kemewahan hiasan tubuh yang dipakai kesatria-kesatria kisah Mahabarata atau Ramayana. Kain yang membelit pinggangnya sampai bawah pun polos tanpa motif, tanpa ornamen apa pun. Agar tidak melorot, kain yang dikenakannya cuma diikat dengan selendang—bukan sabuk penuh permata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok demikian banyak muncul pada relief candi Majapahit di Jawa Timur, dari Candi Miri Gambar (Tulungagung), Candi Penataran (Blitar), Candi Surawana (Kediri), sampai situs-situs kepurbakalaan di Gunung Penanggungan. Sosok itu tak pernah muncul pada candi-candi periode zaman Singosari atau Mpu Sindok. Apalagi pada periode Jawa Tengah, di candi seperti Plaosan, Prambanan, dan Sewu. Sosok bertekes pada candi-candi Majapahit itu selalu terlihat didampingi sosok-sosok lain, seperti para pengiring yang setia mengikutinya ke mana saja. Sosok bertekes itu Panji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah banyak peneliti yang meriset Panji, baik dari sudut filologi dan arkeologi maupun kajian seni pertunjukan, karena sampai sekarang seni rakyat topeng Panji masih hidup di Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, sampai Malang, Jawa Timur. W.H. Rassers, Poerbatjaraka, C.C. Berg, Romo Zoetmulder, dan Satyawati Suleiman bisa disebut sebagai pelopor kajian Panji. Adapun yang paling mengemuka akhir-akhir ini antara lain peneliti asal Jerman, Lydia Kieven. Semua sepakat bahwa kisah Panji yang banyak tertuang dalam manuskrip dan relief adalah kisah hero asli Jawa.
Tafsir Baru Panji
Panji bukan kesatria India yang bergerak di alam Jawa sebagaimana dalam cerita wayang purwa atau wayang orang. Kisah Panji betul-betul kisah kesatria Jawa yang bergerak di seputar keraton-keraton Jawa Timur. Kisah Panji bertema pengembaraan Pangeran Panji dari Janggala (Kahuripan) yang dibantu teman-teman setianya mencari Dewi Sekartaji dari Panjalu atau Daha (Kadiri) yang dijodohkan dengan dia semenjak kecil tapi belum pernah ia temui. Kisah asmara asli Jawa ini menyebar luas ke Asia Tenggara. Thailand, Kamboja, dan Laos, misalnya, memiliki variasi kisah Panji sendiri. Singkatnya, sementara Mahabarata dan Ramayana adalah epos yang kita impor, cerita Panji adalah kisah yang kita ekspor.
Sebagai arkeolog, Agus Aris Munandar menjelajahi semua relief Panji yang masih in situ di candi-candi dan fragmen/potongan relief Panji yang sudah disimpan di beberapa museum. Dia cermat mengamati ikonografi, busana, sampai adegan, juga gestur Panji serta pengiringnya dalam relief. Dia membandingkan data relief dan prasasti dengan data berbagai kisah Panji yang terkonservasi dalam legenda, cerita wayang beber, sampai manuskrip tertulis. Hasilnya, ia menemukan beberapa pendapat orisinal.
Agus sepakat Panji adalah kisah fiksi yang tidak ujug-ujug muncul dari ruang vakum. Ada bingkai sejarah yang menjadi dasar acuan Panji. Agus melihat konten kisah Panji diolah dari peristiwa-peristiwa seputar jatuhnya Singosari pada 1292 Masehi sampai masa kejayaan pemerintahan Hayam Wuruk pada 1389 Masehi. Seperti disebutkan sebelumnya, tema pokok Panji adalah pengelanaan Panji diiringi para sahabat setianya (istilahnya para kadeyan) mencari Sekartaji. Menurut Agus, inspirasi pengembaraan yang penuh tantangan dan halangan ini sesungguhnya adalah peristiwa sejarah pelarian Raden Wijaya saat bersama sahabat-sahabatnya menghindari kejaran Jayakatwang yang telah menghancurkan Singosari. Raden Wijaya keluar-masuk hutan, bersembunyi dengan berpindah-pindah tempat. Kisah yang tertera dalam Prasasti Kudadu bertarikh 1294 Masehi ini, menurut Agus, menjadi bahan dasar bagi kisah Panji dan diramu dengan kisah percintaan Hayam Wuruk.
Beberapa peneliti menganggap sumber inspirasi penciptaan kadeyan adalah punakawan dalam Mahabarata. Namun hal ini ditolak Agus. Sebab, bagi dia, tingkah laku para kadeyan lebih manusiawi daripada punakawan. Dalam kisah-kisah Panji tidak pernah ada kadeyan yang ingin menjadi raja seperti Petruk atau kadeyan yang berderajat dewata seperti Semar. Adegan para kadeyan betul-betul “empiris” dan realistis. Mereka ikut berperang, menjadi utusan Panji, belajar menari bersama Panji, dan sebagainya. Dari berbagai kisah Panji, Agus mencatat nama kadeyan yang sering muncul antara lain Jurudeh, Punta, Prasanta, Kertolo, Wambang, Widasaka, Kebo Gerah, Lempung-Karas, dan Carang Waspa. Berdasarkan karakter sosok kadeyan yang dideskripsikan dalam manuskrip, Agus mengamati sosok kadeyan pada relief. Dia menemukan sosok Brajanata/Kertolo yang perawakannya disebut dalam manuskrip tinggi-kekar dan Prasanta yang pendek-gemuk dengan rambut dikucir banyak diekspresikan pada relief.
Menurut Agus, masih banyak toponimi yang disebut dalam kisah-kisah Panji yang bisa dilacak di kawasan Jawa Timur sampai sekarang. Empat kerajaan utama dalam kisah Panji adalah Janggala, Panjalu, Gegelang, dan Singosari. Banyak kerajaan kecil yang menjadi pelengkap cerita, seperti Belambangan, Pasuruan, dan Matahun. Menurut Agus, semua pergerakan Panji dan Sekartaji—ketika mereka menyamar, menjadi begal, dan ikut berperang—ada di area Jawa Timur. Agus sepakat dengan Poerbatjaraka bahwa Gegelang atau Glang-Glang, yang sering diperdebatkan lokasinya, berada di kawasan Madiun.
Agus dikenal sebagai arkeolog yang selalu berusaha membaca data arkeologi sebagai cermin sistem keagamaan. Di balik semua artefak (juga manuskrip kuno), menurut dia, secara implisit atau eksplisit selalu terdapat suatu “ontologi” dan “epistemologi” keagamaan tertentu. Salah satu pendapat penting Agus atas kajian Panji ini adalah kisah Panji sama sekali tak menampilkan napas Buddhisme. Menurut Agus, sama sekali tidak ada penyebutan panteon Buddha seperti dhyani Buddha atau Bodhisatwa dalam teks-teks Panji.
Dalam buku ini, Agus mendemonstrasikan bagaimana berbagai variasi kisah Panji, dari Panji Anggraini Palembang, Panji Semirang, Panji Wasengsari, sampai Panji Betawi Ken Tambuhan, akan memunculkan konsep Hindu bila dibedah. Nama Sekartaji, kata Agus, berasal dari kata taji yang mengandung makna sesuatu yang berdiri tegak dan merupakan lambang Syiwa. Candrakirana—sebutan untuk Sekartaji dalam Panji Semirang—berasal dari kata candra yang berarti Dewa Candra, yang identik dengan soma. Adapun soma adalah minuman Brahma. Karena itu, menurut Agus, Candrakirana menyimbolkan Brahma. Dalam kisah Panji Wasengsari dikisahkan Raden Inu Kertapati (Panji) mengawini dua putri. Agus berpendapat hal itu adalah lambang Wisnu yang memiliki dua sakti: Sri dan Laksmi.
Bahkan Agus menganggap nama-nama kadeyan Raden Wijaya yang ikut dalam pelarian adalah metafora nama-nama dewa dalam sistem Astadikpalaka yang merupakan sistem dewa penguasa arah mata angin dalam Hindu. Ada delapan nama sahabat Raden Wijaya yang selalu menemaninya saat mengembara, yaitu Rangga Lawe, Pedang, Lembu Sora, Dangdi, Gajah Pagon, Nambi, Peteng, dan Wirot. Menurut Agus, kata Lembu dalam Lembu Sora adalah sinonim Nandi, wahana tunggangan Syiwa. Posisi Syiwa di timur laut. Agus melihat sesungguhnya Lembu Sora adalah simbol dewa yang menjaga Raden Wijaya dari arah timur taut. Adapun Nambi berasal dari kata na dan ambu. Nambu berarti air. Bagi Agus, hal itu menjadi kunci bahwa nambu adalah lambang Waruna, dewa laut penguasa arah barat. Karena itu, Agus berpendapat bahwa Nambi adalah metafora penjaga Raden Wijaya dari arah barat. Agus mengupas satu per satu sahabat Raden Wijaya untuk membuktikan bahwa mereka bisa ditelusuri secara semantik ke dewa-dewa Astadikpalaka.
Bisalah dimengerti, dengan keyakinan bahwa landasan kisah Panji adalah Hindu, Agus tidak mengaitkan Panji dengan Tantrayana seperti, misalnya, Lydia Kieven. Dalam disertasinya tentang Panji, Kieven berpendapat bahwa relief Panji di candi-candi Jawa Timur sesungguhnya adalah pintu masuk ajaran Tantrayana. Tantrayana berkembang pesat di Jawa Timur saat itu. Tantrayana adalah fase esoteris dan mistik dari Buddhisme Mahayana. Menurut Kieven, simbol-simbol Panji pada relief dapat diasosiasikan sebagai lambang Tantrayana. Sepanjang telaahnya dalam buku ini, Agus lebih melihat semua simbol Panji sebagai kombinasi kepercayaan Hindu dan lokal. Masa munculnya kisah Panji, menurut Agus, adalah masa ketika bahasa Sanskerta mulai meredup di Jawa Timur sehingga tak banyak lagi saduran kisah klasik India. Semua kisah Panji ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan—bahasa umum yang dikenal saat itu—bukan Sanskerta ataupun Jawa Kuno.
Agus adalah arkeolog yang cukup produktif menulis. Buku tentang Panji keluaran penerbit Indramayu, Jawa Barat, ini salah satu buku kuat Agus. Betapapun demikian, gagasan-gagasannya tetap bisa diperdebatkan. Misalnya spekulasi bahwa nama sahabat Raden Wijaya adalah cerminan sistem Astadikpalaka Hindu.
Juga ihwal tidak adanya napas Buddhisme dalam Panji. Padahal kita tahu pada zaman keemasan Hayam Wuruk terdapat kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang sangat bernapaskan Mahayana. Bahkan, menurut Kate O’Brien dalam bukunya, Sutasoma: The Ancient Tale of a Buddha-Prince from 14th Century Java, naskah Sutasoma disebut juga mengandung aspek Tantrayana yang kuat.
Sedangkan dalam buku ini Agus terlihat enggan menanggapi secara vis-à-vis pandangan bahwa kisah Panji erat berkaitan dengan Tantrayana sebagaimana diuraikan Lydia Kieven. Menarik bila peneliti selanjutnya bisa mengeksplorasi perbedaan dua pandangan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo