Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reva Octaviani diganjar gelar pemain terbaik Liga 1 Putri.
Kompetisi profesional untuk putri dinilai tak memiliki fondasi yang kuat.
Potensi sepak bola putri lebih besar untuk dikembangkan.
SUDAH lama Reva Octaviani mengidolakan Persib Bandung. Pujian yang dilontarkan ayahnya untuk Persib kala mengajak Reva kecil menonton pertandingan atau bermain sepak bola membuatnya kian kesengsem pada klub berjulukan Maung Bandung itu. Ia bermimpi menjadi pemain Persib. “Saya ternyata benar-benar sampai ke situ, mimpi yang jadi kenyataan,” kata gadis 16 tahun itu pada Sabtu, 25 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reva adalah bagian dari sejarah tim Persib Bandung yang berhasil menjuarai Liga 1 Putri pada Desember tahun lalu. Pada partai final yang digelar di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, Persib menaklukkan PS Tira Persikabo dengan skor 3-1 berkat gol Siti Latipah, Febriana Kusumaningrum, dan Reva. Gol tunggal Persikabo dicetak Risda Yulianti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhelatan itu merupakan kompetisi klub sepak bola perempuan profesional perdana yang digelar Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Peserta kompetisi didominasi klub dari Jawa, yakni sebanyak tujuh tim. Tim lain berasal dari Sulawesi, Bali, dan Papua, yang masing-masing diwakili satu klub.
Selain bisa menimang piala pemenang Liga 1, Reva diganjar penghargaan sebagai pemain terbaik. Pemain asal Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, itu sempat tak percaya atas semua prestasi yang ia raih dalam kompetisi perdananya. “Alhamdulillah, kemenangan ini untuk almarhum Ayah, bobotoh, pelatih, dan semua yang sudah mendukung saya hingga saat ini,” ucap gelandang tengah yang mengenakan kostum bernomor punggung 8 kala membela Persib tersebut.
Begitu kompetisi selesai, sejumlah tawaran dari tim lain menghampiri Reva. Di antaranya klub dari Jawa Tengah dan Bali. Reva tak lantas menerimanya karena mempertimbangkan lokasi klub yang jauh dari rumahnya. Duduk di kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cisarua, Reva juga ingin mengejar pelajaran yang tertinggal setelah ia sibuk bermain bola. “Sementara fokus ke pendidikan dulu, belum terpikir gabung ke klub mana pun,” ucap Reva, yang mengincar studi hingga jenjang pascasarjana.
Toh, Reva tak meninggalkan dunia yang sudah membesarkan namanya itu. Sepak bola adalah dunianya sejak kecil. Kegemaran pada sepak bola ditularkan mendiang ayahnya, Royan Gunawan, yang dulu menjadi pelatih di kampungnya. Reva juga mengasah kemampuannya menggiring dan menendang bola di lapangan tidak terurus yang berbagi tempat dengan kandang kambing di belakang rumahnya. Lawannya anak-anak lelaki. “Bahkan ada yang lebih dewasa,” ujarnya.
Reva Octaviani/facebook.com/ Team Reva Octaviani
Ibunya, Ida Farida, sempat khawatir terhadap hobi Reva yang berbeda dengan anak-anak perempuan lain di kampung itu. Apalagi beberapa kali Reva pulang dengan kondisi kelelahan, baju kotor, atau cedera. Meski ditentang orang tuanya, Reva cuek saja menjalani turnamen antarkampung. Permainannya membaik dan prestasi mulai mengalir. Ia antara lain menjuarai turnamen di Jawa Barat serta Piala Menteri Pemuda dan Olahraga.
Kemampuan Reva masuk radar para pelatih. Dia bergabung dengan tim nasional usia di bawah 16 tahun yang bertanding dalam Piala AFF dan AFC pada 2018. Reva juga lolos seleksi tim Provinsi Jawa Barat yang disiapkan untuk Pekan Olahraga Nasional di Papua tahun ini. Persib Bandung, yang tengah mengumpulkan pemain untuk Liga 1 Putri, pun menghubungi Reva yang tengah menjalani pemusatan latihan nasional di Kalimantan. “Katanya saya sudah ditunggu di Bandung,” tuturnya.
Setelah berdiskusi dengan orang tuanya, Reva setuju masuk tim Persib Bandung Putri. Mengendarai sepeda motor bersama ayahnya, Ibnu Fajar, Reva berangkat ke Bandung. Dia memperkuat tim berjulukan Maung Geulis itu dalam Liga 1 yang berlangsung selama tiga bulan. Honornya Rp 2,5 juta per bulan. “Saya butuh pengalaman bermain di sana, jadi senang saja meski honornya segitu,” ucapnya.
Persib adalah satu dari sepuluh tim yang setuju kala PSSI menghubungi 18 klub Liga 1 untuk memintanya membentuk tim putri guna menjalani kompetisi profesional. Cuma punya waktu dua bulan untuk menyiapkan tim, Persib diuntungkan dalam perekrutan pemain karena ada tim Pra-PON Provinsi Jawa Barat. Ada delapan anggota Persib Putri yang berasal dari tim itu. “Kami kerja sama dengan mereka, yang juga perlu wadah buat persiapan dan latihan” kata Direktur PT Persib Bandung Bermartabat Teddy Tjahjono pada Ahad, 19 Januari lalu.
Meski sudah mengantongi gelar juara Liga 1, Persib ternyata belum memiliki program pengembangan sepak bola putri junior seperti yang sudah berjalan di tim putra. Alasannya, menurut Teddy, belum ada kepastian soal kompetisi sepak bola putri. Mereka masih menunggu jadwal kompetisi untuk melakukan persiapan. “Semua tergantung kebutuhan kompetisi di Indonesia seperti apa, pembinaan kami siapkan,” tuturnya.
Bali United juga membangun tim putri dari nol dengan waktu persiapan singkat, cuma sebulan. Untuk Liga 1, pengelola tim mendaftarkan 25 pemain. Sebelas di antaranya berasal dari Bali, sisanya direkrut dari Lombok dan Jawa. Manajemen klub itu menggelontorkan dana hampir Rp 1 miliar untuk membentuk tim putri.
Mepetnya waktu persiapan dan minimnya pemain putri di Bali membuat Bali United tak punya banyak pilihan untuk membentuk tim dengan pengalaman sepak bola. Kiper Bali United, Suwarni, bahkan merupakan atlet voli. “Kalau seleksi pemain putra, pesertanya bisa 700 orang. Untuk putri hanya 23,” kata perwakilan manajemen Bali United, Richie Kurniawan.
Menurut Richie, Bali United belum memiliki ukuran nilai kontrak pemain putri. Selama mengikuti Liga 1, para pemain putri Bali United mendapat bayaran bulanan setara dengan upah minimum Kota Denpasar. Tahun lalu, upah minimum Denpasar mencapai Rp 2,5 juta. Namun anggota tim yang berstatus pemain nasional aktif mendapat gaji lebih besar. “Jika ada pertandingan tandang, kami berikan uang saku tambahan,” ujar Richie.
Untuk urusan kontak dan gaji, pemain putri masih tertinggal jauh dari tim putra. Nilai kontrak pemain putra di Liga 1 bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Mereka juga bisa memperoleh kontrak jangka panjang. Berdasarkan data Transfermarkt, gelandang Bali United, Stefano Lilipaly, menjadi pemain Indonesia dengan harga pasar tertinggi sebesar 405 ribu pound sterling atau sekitar Rp 8,1 miliar. Kiper Persija Jakarta, Andritany Ardhiyasa, dihargai 270 ribu pound sterling atau sekitar Rp 4,9 miliar.
Koordinator Save Our Soccer—lembaga sipil yang memantau perkembangan sepak bola nasional—Akmal Marhali, mengatakan penyelenggaraan Liga 1 Putri tak disiapkan dengan matang. Klub-klub peserta harus membentuk tim dalam waktu singkat, jadwal kompetisi pendek, dan lokasi pertandingan sempat berpindah-pindah.
Durasi kompetisi yang singkat membuat tim bisa bermain hampir setiap hari pada setiap seri. Bahkan ada pertandingan yang digelar pada pukul satu siang. Kondisi jadwal seperti ini tak ada dalam kompetisi profesional putra. Hasilnya, menurut Akmal, kompetisi Liga 1 Putri digelar tanpa fondasi yang kuat. “Sepak bola putri ini kayak partai tambahan saja. Jadwal kompetisi selanjutnya pun tak jelas,” katanya.
Menurut Akmal, ketidaksiapan itu membuat Liga 1 bak turnamen tim antarkampung yang dipaksa dilabeli profesional. Pembinaan atau akademi pemain sejak usia muda, yang menjadi standar klub-klub profesional, tak dibuat. Klub baru heboh mencari pemain ke mana-mana demi memenuhi ambisi tampil di Liga 1. Begitu kompetisi selesai, tim langsung dibubarkan. “Ini kebiasaan jelek sepak bola di Indonesia. Banyak klub tidak melakukan pembinaan jangka panjang.”
PSSI memastikan kompetisi Liga 1 Putri akan kembali digelar tahun ini. Dalam keterangan di situs PSSI pada Jumat, 31 Januari lalu, Liga 1 Putri akan diikuti setidaknya enam klub. Meski demikian, PSSI belum memastikan jadwal kompetisi tersebut. PSSI juga akan menggelar turnamen sepak bola putri Piala Pertiwi tahun ini. Program ini bakal digelar dari tingkat provinsi hingga nasional dan diikuti minimal 20 klub anggota PSSI.
Akmal mengatakan sepak bola putri Indonesia sebenarnya lebih potensial meraih prestasi dibanding putra. Pembinaan sepak bola putri Indonesia bisa disiapkan dengan matang. Apalagi di tingkat dunia pun kompetisi dan turnamen sepak bola putri sedang berkembang. “Tinggal sejauh mana PSSI mau serius,” tutur Akmal. “Kalau digarap seperti liga putra, hasilnya tidak akan maksimal.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, M. A. MURTADHO (BOGOR), AMINUDDIN A. S. (BANDUNG), MADE ARGAWA (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo