Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Angan-angan Swasembada Bawang

Para importir gagal menanam bawang putih tapi tetap mendapatkan kuota impor. Mereka juga mendapatkan kuota kembali kendati masuk daftar hitam dengan cara berganti nama.

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Pertanian menetapkan importir bawang putih menanam komoditas ini untuk mencapai swasembada.

  • Sebanyak 39 importir gagal memenuhi syarat mendapatkan kuota impor itu.

  • Kendati masuk daftar hitam, mereka tetap mendapatkan kuota dengan berganti nama perusahaan.

DI bawah rintik hujan pada siang akhir Desember 2019, Agus tekun memanen terung ungu di kebunnya yang menclok di kaki barat Gunung Ciremai, Jawa Barat. Hingga siang, laki-laki 50 tahun ini mengangkut terung satu mobil pikap menembus kabut di ketinggian 1.200 meter menuju Pasar Majalengka. “Lumayan, lebih menguntungkan,” kata penduduk Desa Argamukti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus membandingkannya dengan hasil panen bawang putih tahun sebelumnya. Terung satu mobil itu hasil panennya dari kebun 2 hektare. Setahun lalu, kebunnya tak menghasilkan apa pun karena bawang putih yang ia tanam tak tumbuh dengan sempurna. Ia menanam bawang putih karena tergiur iming-iming PT Lintas Buana Unggul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Lintas adalah perusahaan yang mendapatkan kuota impor bawang putih. Berdasarkan aturan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, kuota itu ditukar dengan kewajiban menanam bawang 5 persen dari jumlah kuota impor yang mereka dapatkan. Karena tak punya lahan, PT Lintas memodali petani seperti Agus untuk menanamnya dengan imbalan hasil. Para petani di Majalengka ikut serta dalam program ini. “Semuanya gagal panen,” ujar Agus.

Endang Hermawan, 50 tahun, petani lain, mengkonfirmasi pernyataan Agus. Pada Agustus 2018, ia menanam bawang putih di lahan seluas 1 hektare untuk PT Lintas Buana. Tapi bawang Endang hanyut terbawa air hujan besar. “Saya tidak mendapat 1 kilogram pun,” kata warga Desa Argalingga itu.

Di Majalengka, PT Lintas Buana wajib menanam bawang putih di lahan seluas 250 hektare. Angka ini didapatkan dari kuota impor 30 ribu ton x 5 persen dibagi produktivitas bawang per hektare. Kementerian Pertanian menetapkan produktivitas kebun bawang 6 ton per hektare. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, yang merupakan ide Menteri Pertanian di bawah Amran Sulaiman. Tujuannya mencapai swasembada bawang putih pada 2021.

Giyanto Wijaya, politikus Partai NasDem, mengaku turut membidani ide wajib tanam 5 persen pada 2016. Ia mengklaim ikut menyusun peraturan awal wajib tanam ini. “Idenya bagus agar kita swasembada bawang putih,” kata relawan Bara JP, pendukung Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019, itu.

Ada 241 perusahaan yang mengimpor bawang putih sebanyak 2.707.137 ton pada 2017-2019. Jika memakai patokan 5 persen, para importir seharusnya menanam bawang putih di lahan seluas 22.559 hektare dengan produksi 135.356 ton pada 2017-2019. Target itu meleset. Pada 2018, dari 7.645 hektare yang diwajibkan Kementerian Pertanian, hanya 3.312 hektare lahan yang ditanami bawang putih oleh para importir. Produksinya pun hanya 13.506 ton dari seharusnya 46.059 ton.

Demi mencapai swasembada bawang putih itu, pemerintah menganggarkannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Pada 2018, Kementerian Pertanian menanam bawang putih di lahan luas 5.949 hektare di 79 kabupaten. Pemerintah Majalengka kecipratan Rp 2,5 miliar untuk menanam bawang putih di lahan luas 20 hektare. Menurut Veni Victoruddien, pejabat pembuat komitmen program bawang putih Kabupaten Majalengka, hanya 1 hektare yang bisa dipanen. “Karena gagal, kami tolak ketika pemerintah pusat mau memberi dana lagi,” ucapnya.

Penyebab kegagalan rupanya bukan karena bawang putih tak cocok di tanah tropis, tapi lantaran ketidakpatuhan para importir. Dalam dokumen catatan evaluasi Kementerian Pertanian, PT Lintas Buana Unggul menanam bawang hanya di lahan seluas 8 hektare di Majalengka dari kewajiban 250 hektare. Realisasi produksinya pun cuma 24 ton dari seharusnya 1.500 ton. Data dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka malah mencatat Lintas Buana menanam hanya di lahan seluas 3 hektare.

Kementerian Pertanian memasukkan PT Lintas Buana ke kategori importir yang “belum lunas wajib tanam”. Dua perusahaan lain dengan pemilik sama, PT Buana Tugas Segara Subur dan PT Prima Nusa Lentera Agung, juga mendapat rapor merah karena tidak menyelesaikan wajib tanam 5 persen. Tiga perusahaan itu milik Ifan Effendi, pengusaha asal Cirebon, Jawa Barat.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto mengatakan ada 39 importir yang belum melunasi wajib tanam pada 2018, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 38 perusahaan. “Mereka tidak boleh mengajukan kuota impor tahun berikutnya,” kata Prihasto.

Tiga perusahaan Ifan Effendi itu pun raib dari daftar importir bawang putih pada 2019. Namun, tralala, ia tetap bisa mengimpor karena memakai nama perusahaan baru ketika mengajukan kuota. Namanya PT Karya Tani Semesta. Dalam daftar importir di Kementerian Pertanian, perusahaan ini punya hak mengimpor 15 ribu ton bawang putih. Jika menilik keuntungan Rp 19 ribu per kilogram pada 2018, PT Karya mengantongi margin Rp 285 miliar.

Dalam akta perusahaan PT Karya Tani, saham perusahaan ini dimiliki Ifan Effendi sebanyak 2.500 lembar. Pemilik saham 2.500 lembar lain adalah PT Buana Tunas Segara Makmur--perusahaan Ifan yang gagal memenuhi wajib tanam bawang putih pada 2018! “Ganti baju perusahaan ini memang tak mudah dideteksi,” ujar Prihasto.

Agaknya bukan hanya Ifan yang mengganti nama perusahaan ketika gagal memenuhi syarat mendapatkan kuota impor. Tempo menemukan 53 perusahaan yang mendapatkan kuota impor bawang putih adalah nama baru. Tahun lalu jumlah perusahaan baru yang terpilih menjadi importir naik menjadi 75. “Kami tak mengecek pemilik saham perusahaan yang mengajukan kuota,” kata Prihasto.

Ifan Effendi menolak menjawab konfirmasi Tempo. Ia mengeblok nomor telepon ketika kami mengajukan pertanyaan soal bawang putih. Rumahnya di Jalan Rajawali, Jakarta Pusat, juga selalu sepi. Surat permintaan wawancara yang diterima penjaga rumahnya, Ana, tak berbalas hingga kini.

Sanggahan datang dari Direktur Utama PT Lintas Buana Unggul Farid Helingo. Dia menyangkal jika disebut tak memenuhi kewajiban menanam bawang putih 5 persen dari kuota impor yang ia dapatkan. Menurut Farid, semua bawang yang ia tanam di Majalengka; Tawangmangu, Jawa Tengah; dan Sembalun, Nusa Tenggara Barat, menghasilkan. “Mana mungkin kami bisa mengajukan impor 2019 kalau tidak clean and clear?” ujarnya.

Perusahaan lain tercatat lunas memenuhi wajib tanam 5 persen, seperti PT Lumbung Mineral Internasional. Dalam dokumen Kementerian Pertanian, perusahaan milik Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia ini tercatat menanam bawang putih di lahan seluas 89,36 hektare di empat lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kendati kewajibannya hanya 83 hektare. Produksinya surplus 17 ton dari kewajiban 500 ton. “Tak ada laporan petani gagal menanam bawang,” kata Afan Nugroho, Direktur Lumbung Mineral.

Lain di kertas lain di lapangan. Robikan, petani Desa Banaran, Temanggung, Jawa Tengah, yang menanam bawang untuk PT Lumbung Mineral, mengatakan hasil bawang putih dari kebunnya kurang memuaskan. Dari bibit 18 kilogram untuk lahan 1.000 meter persegi, ia hanya panen 50 kilogram. Padahal hitungan PT Lumbung minimal 108 kilogram. Berbeda dengan Endang di Majalengka, menurut Robikan, waktu menanam di Temanggung tidak tepat karena musim kemarau. “Jadi bawang kurang air,” ujarnya.

Di pengujung jabatannya, Amran Sulaiman mengubah peraturan wajib tanam kepada importir dari sebelum mendapatkan kuota menjadi setelah mendapatkan kuota. Mulyadi, Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang, menolak dua aturan ini. “Kami tidak punya kemampuan membudidayakan bawang putih,” katanya dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Januari 2020.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus