Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perempuan memiliki daya pikir dan jiwa yang merdeka. Kami memiliki ambisi, bukan hanya kecantikan. Aku lelah bahwa orang selalu menganggap urusan perempuan hanyalah cinta.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIALOG ini tidak tercantum dalam novel klasik karya Louisa May Alcott. Saat itu, sutradara Greta Gerwig tengah menampilkan suara Louisa May Alcott—penulis Little Women—sastrawan Amerika Serikat yang selama hidupnya memilih tidak menikah. Dan ucapan Alcott disampaikan melalui tokoh Jo, alter ego dan pemeran utama film ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerwig adalah sutradara ketujuh yang mengadaptasi novel yang menjadi pegangan banyak anak di dunia itu. Di Indonesia, pada 1960-an, novel ini pernah diterjemahkan dengan luar biasa oleh Gadis Rasid menjadi dua jilid dan diterbitkan penerbit Indira. Novel yang pertama kali terbit pada 1868 ini bercerita tentang empat bersaudara March, sebuah keluarga bersahaja dari Concord, Massachusetts, yakni Meg (Emma Watson), si sulung yang cantik dan selalu bermimpi menikah dan hidup bergelimang kekayaan; Josephine atau Jo (Saoirse Ronan), si tomboi yang sangat berbakat menulis, ingin menjadi sastrawan, membenci segala hal yang berbau feminin, dan penuh tanggung jawab terhadap keluarganya; Beth (Eliza Scanlen), pianis dalam keluarga yang pemalu dan berfisik lemah; serta si bungsu Amy (Florence Pugh) yang cerdas, manja, dan mementingkan diri sendiri.
Semua generasi segala bangsa lazimnya sudah membaca novel ini dan selalu saja jatuh cinta dan merasa diwakili tokoh kesukaan masing-masing. Tapi tak dapat disangkal bahwa Jo March adalah kesayangan semua pembaca. Betapa dia sejak kecil—si bandel ini yang paling mandiri—selalu berusaha menekan temperamen (dan sering gagal), tapi sesungguhnya paling penuh kasih terhadap adik-kakaknya. Tak kurang dari Margaret Atwood hingga J.K. Rowling mengaku sangat dipengaruhi spirit Jo March sebagai perempuan yang percaya pada kekuatan kata-kata.
March bersaudara dalam film Little Women. imdb
Keenam film sebelumnya—yang paling dikenal adalah versi sutradara Gillian Armstrong (1994), yang dibintangi Winona Ryder sebagai Jo March—mengangkat novel ini dengan narasi yang kronologis. Seperti dalam novel, rata-rata film sebelumnya dimulai dengan kisah keempat bersaudara sejak kecil di bawah naungan Marmee sang ibunda hingga remaja yang penuh perseteruan sampai dewasa dan menemukan nasib masing-masing. Dalam film versi terbaru ini, Greta Gerwig justru menjungkirbalikkannya.
Dia membuka film lewat adegan Jo March dewasa berbincang dengan editor sebuah penerbitan, Dashwood (Tracy Letts), yang memuat cerita pendeknya. Cerita pendek tersebut ditulis Jo untuk kebutuhan finansial sehingga dia menggunakan nama samaran karena “saya tak ingin ibu saya membaca cerita saya yang ini”.
Dan, selanjutnya, kita sudah langsung berkenalan dengan Profesor Friedrich Bhaer, yang dalam novel dicantumkan sebagai lelaki paruh baya bangsa Jerman yang menjadi pengajar di New York dan dalam film diperankan Louis Garrel, aktor Prancis beraksen Prancis kental.
Baiklah, kita kesampingkan dulu persoalan casting karena pada dasarnya Gerwig telah membuat cerita Little Women menjadi lebih modern dan relevan pada abad ini. Bahkan novel ini sudah dianggap progresif pada masanya, abad ke-19, karena tokoh Jo yang sangat mandiri sejak kecil dan dengan sigap menolak cinta Laurie yang kaya raya—pada masa itu, perkawinan adalah jaminan masa depan. Jo lebih mementingkan cita-citanya menjadi penulis. Louisa May Alcott dalam kehidupan pribadinya juga tidak menikah hingga akhir hayatnya, dan draf asli novel semi-otobiografi ini konon berakhir dengan Jo hidup mandiri.
Dalam film, Gerwig memasukkan kehidupan pribadi Alcott yang bercampur dengan alter egonya Jo March. Karena itulah awal dan akhir film ini ditandai dengan pertemuan Jo March dan penerbitnya; Jo sebagai perempuan berbakat yang ingin menjadi penulis; dan Jo yang akhirnya berhasil menulis sebuah novel tentang kehidupan gadis-gadis March. Gerwig dengan cerdas juga menunjukkan campur tangan si penerbit yang mengatakan “sebaiknya pemeran utamanya berakhirnya dengan perkawinan. Atau kematian”.
Maka kita melihat bagaimana Jo March menggambarkan novelnya sesuai dengan permintaan penerbit. Penekanan inilah yang absen dalam versi film-film sebelumnya karena para sutradaranya, termasuk Gillian Armstrong, cukup patuh pada format akhir novel versi penerbit.
Inilah keberhasilan Gerwig dibanding para sutradara sebelumnya. Dia melakukan riset tentang sejauh apa kehidupan pribadi Alcott terpancar dalam hidup Jo March. Dan dia memilih mengabadikan sebagian kisah penulis dalam filmnya.
Selain itu, keberhasilan film Gerwig adalah casting para pemain bagus dan nama besar seperti Meryl Streep, Laura Dern, Saoirse Ronan, dan Timothée Chalamet memerankan tokoh yang menjadi kesayangan pembaca. Tentu saja dalam versi Gillian Armstrong kita juga tetap mencintai Susan Sarandon sebagai Marmee yang mesra dan Winona Ryder sebagai Jo March yang ambisius dan penuh cinta kepada kakak-adiknya.
imdb
Gerwig juga memberikan porsi yang lebih akomodatif kepada Amy, yang diperankan dengan bagus sekali oleh Florence Pugh (Midsomar). Dalam novel ataupun adaptasi sebelumnya, Amy adalah tokoh yang paling tidak disukai karena sangat materialistis dan memikirkan diri sendiri. Kini Gerwig mencoba menafsirkan Amy yang rasional. “Perkawinan adalah sebuah keputusan ekonomi,” katanya kepada Laurie dengan tegas. “Kalau saya punya anak dan saya bercerai, anak saya dan seluruh harta saya akan menjadi milik bekas suami saya. Saya tak akan memiliki apa-apa,” ujar Amy sekaligus menggugat hukum di Amerika Serikat yang saat ini masih sangat diskriminatif.
Ada beberapa problem dalam film versi terbaru ini menurut saya. Di antaranya, mungkin jika Gerwig ingin memilih aktor Prancis dengan aksen Prancis kental, nama Profesor Friedrich Bhaer sebaiknya diganti dengan nama Prancis. Hal kecil yang mengganggu. Hal yang lebih penting adalah karena Gerwig memilih “menghapus” tradisi coming of age yang kronologis, ada risiko. Gerwig memulai cerita ketika Meg sudah menikah dan merasa merana dengan kemiskinan suaminya; Jo dewasa sudah mengejar ambisi sebagai penulis sekaligus resah terhadap penyakit yang menggerogoti tubuh adik kesayangannya, Beth; dan Amy dewasa tengah menunggu calon suami di Paris sekaligus menyadari bakatnya yang medioker tak akan membuatnya menggapai cita-cita menjadi pelukis terkemuka. Penonton yang belum membaca tak akan sempat menumbuhkan rasa keterikatan pada setiap karakter itu. Beth sudah sekarat sehingga jika dia akhirnya pergi tak ada yang merasa kehilangan karena Gerwig memperkenalkannya saat dewasa.
Masa pertumbuhan tokoh-tokoh Little Women arahan Gerwig ini muncul beberapa kali sebagai adegan kilas balik. Cara membedakannya agak memusingkan: warna serba kuning pada masa kecil dan warna dominasi biru pada masa dewasa. Para pemerannya tetap sama sehingga penonton harus menebak apakah mereka sedang menyaksikan sebuah kilas balik atau adegan masa kini.
Akhir film ini adalah serangkaian gambar dahsyat dan sangat modern. Ketika Jo March membuka sekolah untuk anak-anak lelaki, kita tak tahu apakah dia memang menikah dengan Profesor Bhaer atau tidak (meski sesungguhnya dia menerima lamarannya). Untuk saya, dan untuk para pembaca setia novel ini, sudah tak penting apakah dia jadi menikah dengan Bhaer atau tidak. Gerwig sengaja mengaburkan adegan ini. Itu keputusan brilian. Yang lebih penting adalah adegan akhir: Jo memandang dari balik kaca proses penjilidan naskahnya menjadi buku.
LEILA S. CHUDORI
imdb
LITTLE WOMEN
Sutradara: Greta Gerwig
Skenario: Greta Gerwig. Diangkat dari novel karya Louisa May Alcott
Pemain: Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Meryl Streep, Laura Dern, Eliza Scanlen, Timothée Chalamet
Produksi: Columbia Pictures, Regency Enterprises, Pascal Pictures
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo