Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Yudisial atau KY menyoroti pentingnya sinergi lembaganya dengan publik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, mengingat peran publik dalam pesta demokrasi merupakan isu strategis untuk mewujudkan peradilan bersih.
Anggota KY Joko Sasmito mengatakan pemantauan pilkada termasuk dalam prioritas nasional di KY, sehingga pihaknya pasti akan memantau persidangan.
“Dengan adanya pemantauan ini, majelis hakim akan berhati-hati dalam menerapkan hukum acara ataupun perilakunya. Pemantauan punya peran penting agar persidangan dapat berjalan sesuai harapan para pencari keadilan,” ujar dia di Kota Bogor, Jawa Barat pada Rabu, 11 September 2024.
Anggota KY Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim Sukma Violetta menambahkan isu pilkada yang paling mudah diawasi adalah tindak pidana pemilu, seperti politik uang dan dan kampanye di tempat yang tidak semestinya.
“Yang paling enak adalah masyarakat melihat, masyarakat kita libatkan untuk menjadi pemantau di persidangan,” kata dia.
Sukma menyebutkan, selama ini, KY sering bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memantau persidangan perkara pilkada.
Karena itu, kata dia, KY menggelar Training of Trainee terhadap sejumlah pemangku kepentingan untuk bersama-sama memantau persidangan pilkada di daerah masing-masing.
“Dan KY sendiri untuk pemantauannya mau seperti apa itu sudah ada panduannya. Yang penting adalah kita semua sepakat untuk melakukan ini secara bersama-sama,” ujarnya.
Beda Aturan Soal Politik Uang di Pemilu dan Pilkada
Sebelumnya, Koordinator Tenaga Ahli Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi, Bachtiar Baetal, mengatakan pihaknya menggencarkan sosialisasi perihal sanksi bagi pelaku politik uang, terutama menjelang Pemilu dan Pilkada 2024.
“Penanganan kasus politik uang dalam pemilu dan pilkada memiliki perbedaan signifikan dalam hal subjek yang dapat dijerat hukum," kata Bachtiar saat melakukan kunjungan kerja di Pontianak pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Dia menuturkan, pada pemilu, hukum hanya menjerat pemberi uang, sementara pada pilkada, baik pemberi maupun penerima uang dapat dikenakan sanksi.
“Siapa pun yang menjanjikan atau memberikan uang akan dijerat. Begitu juga dengan siapa pun yang menerima uang dalam politik uang," tuturnya.
Dalam upaya memperluas cakupan hukum, Bawaslu juga menyoroti perbedaan subjek hukum yang dapat dijerat antara pemilu dan pilkada. Pada pemilu, subjek hukum terbatas pada tim pelaksana dan tim kampanye, sedangkan pada pilkada, subjek hukum meliputi pasangan calon, anggota partai politik, relawan, dan tim kampanye.
“Tim kampanye dan relawan yang terdaftar di KPU dapat dijerat. Untuk mereka yang tidak terdaftar, akan dikenakan sebagai pihak lainnya,” katanya.
Bawaslu mengingatkan masyarakat untuk tidak terlibat dalam praktik politik uang, baik sebagai pemberi maupun penerima. Meski demikian, Bachtiar mengakui fenomena politik uang masih marak terjadi, baik dalam pilkada maupun pemilu.
Dia mencatat, pada 2020 saja, ada sekitar 30 putusan hukum tetap terkait pelanggaran politik uang dalam konteks pemilu.
“Kami terus mengingatkan seluruh warga negara agar tidak menerima uang yang diberikan dalam konteks politik, baik dalam pilkada maupun pemilu, karena konsekuensinya berat,” kata Bachtiar.
Melalui sosialisasi ini, Bawaslu berharap masyarakat semakin sadar akan risiko dan sanksi hukum yang dapat menjerat mereka jika terlibat dalam politik uang, sekaligus mengurangi praktik-praktik tidak sehat yang dapat merusak integritas pemilu dan pilkada di Indonesia.
Pilihan editor: Sederet Pernyataan Gus Ipul setelah Dilantik Jadi Mensos oleh Jokowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini