Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum lama ini sejumlah kasus kawin siri menimbulkan kehebohan. Misalnya Bupati Garut Aceng Fikri yang menikahi dan menceraikan Fani Oktora, 18 tahun. Dianggap melanggar karena menikah dengan perempuan di bawah umur, sang Bupati digugat. Buntutnya, keluar mosi tak percaya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan Bupati pun dilucuti oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nah, majalah Tempo pernah mencatat kehebohan mengenai perkawinan. Persisnya dalam rubrik Hukum edisi 4 Agustus 1984. Ini menyangkut perkawinan resmi yang tercatat di kantor urusan agama dan dilakukan orang dewasa. Para janda di Karawang, 29 tahun lalu, terusik ketenangannya karena surat cerai yang mereka pegang ternyata aspal alias asli tapi palsu.
Keraguan terhadap keaslian surat keterangan tentang terjadinya talak yang dipegang para janda itu muncul setelah Pengadilan Negeri Karawang menghukum seorang pegawai KUA Kecamatan Cikampek dan seorang pesuruh di sana. Menurut hakim, keduanya terbukti memalsukan ratusan surat cerai yang dimiliki di daerah itu.
Kedua pemalsu tersebut, Obay Subarna dan Taufik Dinata, akhirnya dihukum masing-masing 1 tahun 8 bulan dan 1 tahun 6 bulan penjara. Tapi ada yang tidak tuntas dari putusan ini dan mengundang kegelisahan: sah atau tidak surat cerai yang mereka palsukan?
Hakim Adi Lubis, yang mengadili perkara itu, menolak tuntutan jaksa agar membatalkan surat cerai yang sudah telanjur beredar. "Sah-tidaknya perceraian merupakan wewenang pengadilan agama," ujarnya beralasan.
Ketua Pengadilan Agama Karawang Khalilulrrachman tegas mengatakan surat perceraian itu tidak sah. "Perceraian itu harus diulangi," katanya. Ia meminta semua kepala KUA dan kepala desa di daerah itu mendaftar kembali janda-janda yang memegang surat cerai palsu. Pendapatnya dikuatkan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat Achmad Sudjono.
Pendapat para pejabat peradilan agama itu tentu saja sangat sulit dilaksanakan. Banyak janda tak peduli dengan sah atau tidaknya surat ini. Bahkan beberapa orang sudah telanjur kawin lagi. "Yang penting saya sudah cerai. Palsu-tidaknya surat cerai itu tanggung jawab amil," kata Nyi Uten Suntika, 20 tahun, di Desa Kamojing, Cikampek. Janda muda bertubuh aduhai dan beralis tebal ini berencana menikah pada Idul Adha tahun itu.
Rekannya, Nyi Atarsih, 23 tahun, yang sudah kawin lagi, bahkan tidak pernah memegang surat cerai setelah perceraiannya dengan suaminya di rumah amil—pejabat urusan agama—Desa Plumbonsari. "Selama menjanda, saya tidak pernah memegang surat cerai. Baru ketika menikah lagi, saya melihat surat itu pada amil," tutur Atarsih.
Apa boleh buat, jalan yang tepat bagi para pejabat peradilan agama, seperti pendapat M. Nurdin Singadimedja, pembela para terhukum, adalah menganggap perceraian para janda itu sah. "Menurut hukum Islam, talak itu bahkan bisa jatuh secara lisan dan tanpa saksi," ujar Nurdin. Apalagi, menurut Nurdin, undang-undang perkawinan tidak menyebutkan perceraian dengan cara Islam itu batal hukumnya.
Ketua Majelis Ulama Jawa Barat KH E.Z. Muttaqien membenarkan pendapat Nurdin. "Menurut hukum Islam, jika suami mengucapkan ikrar talak di depan istrinya, maka sah perceraian itu," katanya. Bahwa kemudian terbukti surat cerai itu palsu, "Itu soal lain." Ulama ini menolak jika akibat pemalsuan dibebankan kepada pasangan yang bercerai. Pengadilan agama seharusnya melegalkan perceraian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo