Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peredaran dan penyalahgunaan narkotik adalah masalah utama di Indonesia.
Pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan perang terhadap narkotik pada 1971.
Jumlah pencandu di Indonesia pada 2019 mencapai 3,6 juta orang.
PEREDARAN dan penyalahgunaan narkotik menjadi salah satu persoalan besar yang belum teratasi. Meski Indonesia menerapkan hukuman mati bagi bandar dan pengedar narkotik, jumlah pencandu di negeri ini masih tetap tinggi. Badan Narkotika Nasional menyatakan jumlah pengguna narkotik pada 2019 mencapai 3,6 juta, yang didominasi kalangan usia remaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia telah lama berupaya memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkotik. Majalah Tempo edisi 25 Desember 1971 menerbitkan ulasan panjang bertajuk “Narkotik”, yang berisi cerita upaya Indonesia melawan candu, termasuk awal dibentuknya Badan Koordinasi Penanggulangan Masalah Narkotik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal 1970, banyak negara di dunia kelimpungan menghadapi serbuan pedagang narkotik. Jenis narkotik yang beredar juga beragam. Selain opium, ada Cannabis sativa L., yang dulu ditemukan orang di Siberia, Tiongkok Utara, dan di pegunungan Himalaya, India.
Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda. Wakil Direktur Laboratorium Kriminologi Markas Besar Kepolisian RI Ajun Komisaris Besar E. Sibarani mengatakan jumlah pengguna candu di Jakarta naik. “Perkembangannya paralel dengan perkembangan kota,” ujarnya ketika itu. Bukan hanya Jakarta, berdasarkan hasil survei kepolisian, sejumlah kota besar lain juga telah dikepung narkotik.
Di Sumatera Utara, misalnya, polisi menemukan peredaran 3.600 kilogram ganja, yang kemudian dimusnahkan. Di Kota Medan saja, dari 50 kios yang disurvei polisi, 47 kios menjual ganja. Tempat-tempat perjudian, hotel, dan tempat pelesir kota itu seperti dikepung ganja.
Perang Melawan Narkotik
Polisi juga menemukan peredaran morphine di Surabaya. Di Bali, para turis bahkan menjadi target pasar pengedar narkotik. Di Jakarta tentu lebih parah. Pada Oktober 1971, Jaksa Agung Muda Bidang Intelligence Ali Said mengumumkan hasil penyelidikannya. “Sebanyak 35 persen abu dan puntung dari Ramayana Room Hotel Indonesia mengandung ganja, heroin, dan morphine,” katanya.
Temuan Ali Said itu seperti membangunkan Presiden Soeharto dari mimpi. Presiden segera memanggil Jaksa Agung Sugih Arto untuk membicarakan persoalan narkotik. “Kita harus selamatkan generasi muda,” ujar Presiden di Istana Merdeka. Selanjutnya, dalam pidato upacara serah-terima jabatan Kepala Kepolisian RI, Presiden Soeharto kembali menegaskan bahaya peredaran narkotik. “Masuknya ganja dan bahan-bahan narkotik lain jelas mengganggu kondisi pertahanan dan keamanan kita.”
Presiden Soeharto menginstruksikan kepada semua alat negara untuk mempertinggi kewaspadaan terhadap penyebaran narkotik. Untuk itu, segera dibentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Masalah Narkotik, diketuai Kepala Daerah Kepolisian Metro Jaya Inspektur Jenderal Widodo. Hampir semua unsur yang terkait dengan masalah peredaran narkotik, dari polisi, kejaksaan, pengadilan, hingga bea-cukai, ikut serta di dalamnya. Herman Soesilo mengabarkan bahwa Juni 1972 segera akan selesai dibangun Drugs Addiction Unit di Cilandak, Jakarta, untuk menampung korban narkotik.
Kewaspadaan semua aparat cukup membuahkan hasil. Berkali-kali upaya penyelundupan narkotik digagalkan. Tapi yang lolos juga banyak. Kepala Bagian Operasi Pemberantasan Obat Bius Komdak Metro Jaya mengakuinya. Beberapa remaja yang ditangkap di Jalan Cikini Raya dan di depan Discotique Tanamur, Tanah Abang, Jakarta, didapati mengedarkan morphine dalam dosis mini.
Lantas, langkah apa lagi yang perlu dilakukan? Pusat Laboratorium Kriminal Markas Besar Kepolisian mencoba menyusun konsep “cara-cara penanggulangan narkotika”. Salah satu isinya adalah usul perlunya memperkeras hukuman bagi bandar dan pengedar menggunakan undang-undang baru. Persiapan melawan sindikat candu di Indonesia sesungguhnya baru dimulai. Pemerintah juga mesti bekerja keras karena musuh yang bernama narkotik itu telah menyerbu lebih jauh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo