Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILU 2024 tinggal menghitung hari. Aksi saling serang menggunakan hoaks memenuhi laman-laman media sosial setiap hari. Kita semua tentu masih ingat, pada Pemilu 2019, berita hoaks menguasai masyarakat, dengan akibat yang tidak akan pernah bisa dilupakan, dan menjadi sejarah hitam perpolitikan di Indonesia. Tapi, yang menjadi pertanyaan, sedemikian mudahkah orang-orang tersebut “merendahkan diri” dengan mengabaikan “intelektualitas”?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tidak bisa terlalu berharap pemerintah turun tangan menghilangkan atau paling tidak meminimalkan berita hoaks, karena mungkin ada keterbatasan kemampuan. Apalagi berharap kepada penyedia-penyedia layanan media sosial, yang lebih mementingkan keuntungan komersial dari setiap unggahan yang bisa menimbulkan kehebohan dan hiruk-pikuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara mandiri kita bisa mengurangi berita hoaks dari lingkungan terdekat, dari keluarga, teman, dan orang-orang lain yang kita kenal dengan baik. Kita berharap bisa mendapatkan “multiplier effect”. Berikan pemahaman tentang cara membedakan berita yang baik dan benar dengan yang hoaks. Anjurkan untuk banyak membaca berita dari kanal daring yang kredibel. Dalam setiap kegiatan keagamaan juga bisa diselipkan pemahaman tentang betapa berbahayanya berita hoaks. Biasanya pemuka agama yang baik akan didengarkan dan dipatuhi pengikutnya.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Belajar dari Samurai Jepang
PADA 1645, dua tahun sebelum wafat, Musashi menulis otobiografi yang membuat jutaan rakyat Jepang takjub dan terpukau. Ia menuangkan pengalaman hidupnya hingga puncak-puncak spiritualitas yang dialaminya. Suatu ketika, goresan penanya sampai pada kesimpulan yang luhur: “Tak ada kekuatan di luar diri kita yang membuat kita lebih baik, lebih kuat dan cepat, bahkan lebih kaya dan pintar. Semua kekuatan itu berada dalam diri kita sendiri, maka tak perlu sibuk mencari-cari di luar sana.”
Bagi Musashi, kebaikan dan kehormatan diri tidak terletak pada seberapa besar pengaruh kita dalam kekuasaan yang kita miliki, melainkan bagaimana kita memanfaatkan kekuasaan itu demi kemaslahatan umat yang kita pimpin. Harta dan pangkat bisa menjadi malapetaka jika diselubungi sifat kemaruk dan keserakahan. Secara religius Musashi menyimpulkan bahwa hampir semua perang yang memusnahkan peradaban manusia dari zaman ke zaman bermula dari kerakusan dan ketamakan akan harta dan kekuasaan.
Namun, di tangan orang-orang baik dan bijak yang telah menemukan diri mereka, harta dan kekuasaan akan bermanfaat sebagai sarana mencapai kebaikan dan kemuliaan.
Semua yang ada di luar diri kita tak mungkin mencapai hasil yang paripurna. Sebanyak apa pun kita menumpuk hasrat keinginan yang tercapai, pada akhirnya itu tetap akan bermuara pada keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Sementara itu, seluruh pencarian sejati adalah perwujudan kodrat manusia pada kesempurnaan, yang tak lain adalah pendakian demi pendakian menuju Sang Maha Sempurna.
Muakhor Zakaria
Rangkasbitung, Banten
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo