Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPU menyelidiki dugaan pelanggaran aturan pemilu oleh kandidat Perdana Menteri Thailand.
ILO mengungkap terjadinya kerja paksa di kalangan pekerja domestik migran di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Jepang memperkuat undang-undang mengenai kejahatan seksual.
KOMISI Pemilihan Umum Thailand menyelidiki dugaan pelanggaran aturan pemilihan umum oleh Pita Limjaroenrat, kandidat perdana menteri dari Partai Gerakan Maju. “Ada informasi dan bukti awal yang cukup untuk menyelidiki lebih lanjut apakah Pita memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu,” kata Ittiporn Boonpracong, Ketua KPU, kepada AFP pada Senin, 12 Mei lalu. “Komisi telah membentuk komite penyelidik untuk memeriksa lebih jauh.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pita Limjaroenrat adalah pemimpin Gerakan Maju, partai reformis yang menang dalam pemilu legislatif pada Mei lalu. Gerakan Maju telah berkoalisi dengan sejumlah partai dan menguasai 313 kursi Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah yang cukup untuk membentuk pemerintahan baru, dengan Pita sebagai calon perdana menterinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palang Pracharat, partai promiliter, melaporkan ke KPU bahwa Pita memiliki saham iTV, kanal televisi yang sudah lama berhenti bersiaran. Pita tak mengungkapkan soal saham itu dalam laporan harta kekayaannya saat mendaftar sebagai calon anggota DPR. Ini suatu pelanggaran yang dapat mendiskualifikasi Pita sebagai kandidat perdana menteri. Kasus inilah yang kini sedang diselidiki KPU.
Gerakan Maju tak khawatir ihwal kasus ini. “Kami tidak khawatir karena kami tahu bahwa mereka hanya mencoba mendiskreditkan Pita dan membuat orang berpikir bahwa Pita tak bisa menjadi perdana menteri. Tapi kami tetap siap menghadapi proses pengadilan dan memastikan semuanya siap,” ujar Rangsiman Rome, anggota DPR dari Gerakan Maju, kepada Tempo pada akhir Mei lalu.
Thailand
Kerja Paksa di Kalangan Pekerja Migran
Pekerja migran di provinsi Samut Sakhon, Thailand, Maret 2018. Reuters
ORGANISASI Buruh Internasional (ILO) mengungkap terjadinya kerja paksa di kalangan pekerja domestik migran, seperti pembantu rumah tangga, di Asia Tenggara melalui survei yang baru mereka rilis. “Kerja domestik adalah salah satu tugas terpenting di masyarakat, tapi belum mendapat perlindungan minimal. Ini tak lagi bisa diterima,” tutur Anna Engblom, Kepala Penasihat Teknis TRIANGLE in ASEAN, program ILO yang bertujuan memaksimalkan kontribusi pekerja migran untuk pertumbuhan yang adil, inklusif, dan stabil di ASEAN, pada Jumat, 16 Juni lalu, sebagaimana dilansir ILO.
TRIANGLE mewawancarai 1.201 pekerja domestik selama Juli-September 2022 di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Temuan mereka mengindikasikan 29 persen responden di Malaysia, 7 persen di Singapura, dan 4 persen di Thailand mengalami kerja paksa. Indikatornya antara lain pekerja tak bisa berhenti bekerja, harus bekerja lebih lama dari kesepakatan, dan tidak mendapat uang lembur.
Hasil penelitian ini juga menentang pandangan bahwa pekerja domestik tidak memiliki keterampilan atau punya keterampilan rendah. Pada kenyataannya mereka melakukan kerja-kerja rutin yang membutuhkan keterampilan tingkat menengah. Studi ini juga menyoroti gaji rendah dalam skema pelindungan sosial di kalangan pekerja migran.
Jepang
Perubahan Definisi Pemerkosaan
MAJELIS tinggi parlemen Jepang menyetujui undang-undang baru yang mendefinisikan kembali pemerkosaan pada Jumat, 16 Juni lalu. Definisi pemerkosaan diperluas, dari “persetubuhan yang dipaksa” menjadi “persetubuhan tanpa persetujuan (consent)”. Undang-undang baru itu juga secara eksplisit menyebut delapan skenario yang membuat korban sulit menolak untuk menyetujui persetubuhan. Keadaan itu antara lain ketika korban dicekoki minuman beralkohol atau narkotik, diancam dengan kekerasan, merasa ketakutan, dan takut akan konsekuensinya bila menolak. Regulasi itu juga melarang voyeurisme foto, seperti memotret dari bawah rok perempuan dan merekam aktivitas seksual secara diam-diam.
Para aktivis menilai undang-undang ini baru mengatasi separuh masalah. Korban kekerasan seksual yang angkat bicara, misalnya, sering kali menerima ancaman dan komentar keji di media sosial. Korban juga merasa tak berdaya untuk melaporkan kasusnya. “Pendidikan dan pengajaran secara nasional penting dilakukan agar norma ini terserap di masyarakat. Hanya ini satu-satunya jalan untuk mencegah kekerasan seksual dan mengakhiri budaya impunitas,” kata Kazuko Ito, Wakil Presiden Human Rights Now yang berbasis di Tokyo, kepada BBC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo