Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel pada 22 Desember 1984 mengulas ribuan ton racun berupa bahan kimia, seperti senyawa mercu (2 ton lebih per bulan), aluminium oxide (16 ton lebih), chromium hydroxide (16 ton), dan manganese oxide (2.000 ton lebih).
Data yang dihimpun Badan Pusat Statistik dua tahun sebelumnya belum mencakup bermacam jenis senyawa kimia lain yang sudah bisa ditambang di sini. Sejak racun itu mendarat di pelabuh-an, diproses di pabrik, sampai dikonsumsi penduduk, tentu timbul efek samping yang tampaknya sulit dihindari: lingkungan yang tercemar.
Menurut Mohamad Soerjani, Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia, kalau korban akibat pencemaran yang tertebar di banyak pelosok dan dalam waktu yang tidak bersamaan itu dikumpulkan, “Hasilnya bisa lebih menakjubkan ketimbang tragedi Bhopal.”
Soerjani pernah meneliti pencemaran belasan pabrik di Tangerang. Hasilnya? “Sebenarnya kita hidup di lingkungan yang punya potensi seperti Bhopal,” dia menjawab. Penelitian yang dilakukan kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup itu mengungkap bahwa 2.000-an pabrik di Jakarta dan sekitarnya setiap tahun menghasilkan 580 ribu ton ampas industri yang terdiri atas lumpur kimiawi, sampah padat, dan sisa oli.
Meski demikian, usaha mencegah pencemaran oleh pabrik sendiri bukan tak ada. Pabrik peleburan aluminium Asahan, di Sumatera Utara, yang dimodali Jepang, menghabiskan seperlima dari dana pembangunan proyek, yang sebesar US$ 1,6 miliar, untuk peralatan anti-pencemaran. Dengan itu, ampas pabrik berupa gas fluorida, yang dalam jumlah kecil saja (25 ppm) bisa merusakkan paru, mata, atau tulang secara permanen, kini bisa dinetralkan.
Sekalipun punya alat peredam pencemaran, tak selalu pabrik-pabrik akan aman. Kawasan Industri Pulogadung adalah salah satu contoh. Sekitar 200 pabrik yang berdiri di atas area seluas 800 hektare tersebut mengklaim telah memiliki sistem pengelolaan limbah. Tapi penelitian yang dilakukan JIEP akhir tahun lalu menemukan separuh lebih sampel masih punya potensi mencemarkan lingkungan. Sebanyak 12 di antaranya berupa logam berat.
PT Alcan, yang memproduksi 500 ton bahan aluminium per bulan, menjaring 135 meter kubikâŻlimbahnya setiap hari di dalam dua bak pengolahan. Saban bulan, perusahaan asal Kanada bermodal Rp 4 miliar ini harus mengeluarkan biaya Rp 3 juta untuk instalasi pengelolaan limbah. Nyatanya, ketika diteliti, sisa asam sulfat yang dibuang pabrik itu jauh di atas batas ambang yang ditentukan, 12 ppm. Artinya,âŻlimbah itu sudah berbahaya untuk kulit dan mata.
Manajer PT Alcan, Muntoro, mengatakan kewajiban mengelola limbah punya risiko tak kecil terhadap kas perusahaan. Untuk mengubah unit pengelolaan limbah yang sejalan dengan aturan ambang batas, perusahaan mesti mengeluarkan anggaran tambahan hingga ratusan juta rupiah. “Untuk merombak sistem pengolahanâŻlimbah itu, dibutuhkan dana Rp 400 juta. Di masa resesi ini, jumlah itu menyulitkan kami,” katanya.
Persoalan yang dialami PT Arun, pabrik penghasil gas alam cair (LNG) di Arun, 13 kilometer di luar Kota Lhokseumawe, Aceh, tak kalah pelik. Diam-diam, perusahaan yang dibangun dengan sistem bagi hasil antara Mobil Oil dan Pertamina itu terpaksa menimbun limbah mereka. Sejak produksi pada Mei 1981-Agustus tahun lalu, sebanyak 10,5 ton limbahnya tersimpan di dalam bungker berupa bak beton setebal 30 sentimeter berukuran 20 x 10 x 2 meter. Isinya senyawa merkuri, jenis logam berat yang pernah menghebohkan dunia ketika mencemari Minamata, Jepang.
Keracunan oleh polutan ini memang -teramat mengerikan: sistem saraf, otak, dan ginjal menjadi berantakan, mata buta, kulit melepuh. Bila yang terserang wanita hamil, janin yang dikandung pun akan binasa. Sebagai komoditas ekspor penting selain minyak bumi, LNG kiranya memberikan dampak petaka. Misalnya ketika terjadi ledakan di pabrik jenis itu di Meksiko yang menewaskan ratusan orang belum lama berselang.
Racun Bhopal Disekitar Kita?
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 22 Desember 1984. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo