Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK awal Ramadan 2016, harga daging sapi di atas Rp 100 ribu per kilogram. Presiden Joko Widodo ingin harganya sekitar Rp 80 ribu. Padahal, akhir Mei 2016, Kementerian Perdagangan memberikan izin kepada beberapa pengusaha swasta untuk mengimpor puluhan ribu ton daging sapi.
Kisruh daging sapi impor muncul sejak 1970-an. Tempo edisi 28 Mei 1977 menurunkan tulisan dengan judul "Daging Kita atau Mereka?". Saat itu restoran terkenal di Jakarta yang menjual hidangan steak selalu memilih daging impor. "Habis, tamu selalu menanyakan lokal atau impor. Kalau dijawab lokal, mereka terus pulang," kata Sukarno, petugas di restoran Oasis, kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Memang, untuk steak, biasanya disukai daging yang empuk dan lembut. Nah, daging sapi lokal umumnya keras sehingga kurang cocok dijadikan steak. Karena itu, muncul teknik membuat daging sapi lokal empuk dan lembut. Perbaikan mutu hewan umpamanya kelihatan dari penyilangan bibit dan inseminasi. Usaha peternakan besar-ranch-sudah muncul pula di Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, bahkan di Pulau Buru, Maluku.
PT Tarakan Jaya Utama sedang membangun industri makanan ternak di Pandaan, Jawa Timur. Dari ranch, sapi itu digemukkan sebelum dibawa ke rumah potong. Sampai sekarang, baru ada tiga perusahaan-PT Surya di Surabaya, PT Bali Raya di Denpasar, dan PT Sampi Co Adhi di Tambun (Bekasi, Jawa Barat)-yang membuka rumah potong yang dilengkapi alat pendingin.
Ketiganya memenuhi persyaratan sanitasi, bisa "melayukan" daging supaya empuk. "Pelayuan" daging sesungguhnya sudah ada di zaman Belanda. Umpamanya ini dijumpai di rumah pemotongan hewan di Jembatan Merah, Jakarta. Sesudah sapi dipotong, dagingnya digantung selama 24 jam pada suhu 10-15 derajat Celsius, kemudian barulah boleh dibawa ke pasar.
Ketika rumah pemotongan Jembatan Merah pada 1973 dipindahkan ke Pulo Gadung, praktek pendinginan itu terhenti. Sebagai pengganti, orang memakai es untuk menyimpan daging. Akibatnya, daging tak empuk dan tak pula tahan lama.
Perusahaan seperti PT Surya Jaya (usaha patungan pemerintah Surabaya dan DKI Jakarta) dan PT Sampi Co Adhi (milik Bulog) tak hanya mencoba memperbaiki pemotongan hewan, tapi juga cara pemasaran dagingnya. Fasilitas pendinginan dan seleksi hewannya demikian rupa hingga daging bekunya pun bisa cocok untuk steak.
Secara berangsur, daging dari PT Sampi Co Adhi kini memasuki hotel-hotel besar dan restoran. Sirloin atau T-bone steak yang dihidangkan Oasis sudah ada yang berasal dari Tambun. Kalau restoran kini menyebut dagingnya berasal dari impor meskipun beku, agaknya boleh disangsikan.
PT Surya Jaya pernah mengeluarkan kualitas daging yang bisa diterima perusahaan asing INCO di Soroako, pusat pertambangan nikel. Namun pemerintah daerah Sulawesi Selatan berkeberatan karena mereka memiliki banyak hewan.
Memang Sulawesi Selatan berpotensi besar mengembangkan ternak potong, apalagi sudah ada ranch besar seperti di Maiwa (PT Bina Mulya Ternak), di Enrekang (PT United Livestock Services), dan di Sidrap, tapi masih belum memiliki abattoir yang modern. Kini PT Sampi Co Adhi mempunyai rencana membangun abattoir di Parepare, yang bertujuan melayani permintaan INCO (sekitar 50 ribu kilogram daging sebulan) dan pusat pertambangan lain yang berdekatan.
Setidaknya ia akan bisa meningkatkan derajat daging lokal, meniadakan anggapan bahwa daging impor itu selalu lebih baik. Biro Pusat Statistik mencatat Indonesia mengimpor daging beku 1.163,6 ton pada 1976, dibanding 614,4 ton pada tahun sebelumnya. Diperkirakan ada 1.000 ton lagi masuk tiap tahun lewat fasilitas penanaman modal asing yang tidak diketahui BPS, terutama untuk pusat-pusat pertambangan yang terpencil letaknya.
Tapi, kalau restoran sudah terbiasa pula dengan daging beku dari pejagalan lokal, mungkin sebagian konsumen akan kecewa. Manajer Yohan dari Gandy Steak House, umpamanya, berkata: "Cukup banyak tamu Eropa menyukai daging lokal karena lebih gurih rasanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo