Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Efektivitas Call Center Covid-19
SAUDARA saya sekeluarga, terdiri atas ayah, ibu, dan seorang anak, dinyatakan terinfeksi virus corona setelah dua kali menjalani uji swab. Dokter mengatakan mereka sekeluarga bisa melakukan karantina mandiri. Dengan berbagai alasan kesehatan dan keamanan, saudara saya berencana melakukan karantina mandiri di hotel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari sebelumnya, pemerintah menyatakan akan menyediakan hotel di DKI Jakarta untuk isolasi mandiri. Ditambah adanya Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 979 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 22 September 2020 mengenai tiga lokasi isolasi terpadu yang ditunjuk pemerintah daerah. Berbekal informasi ini, saya membantu saudara saya mencarikan lokasi isolasi terpadu yang dipusatkan di tiga lokasi. Salah satunya di Graha Wisata Ragunan, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya berinisiatif menghubungi Graha Wisata Ragunan, tapi petugas yang mengangkat panggilan telepon kebingungan. Dia mengatakan tak tahu-menahu bahwa lokasi itu dijadikan lokasi isolasi terpadu, malah sedang direnovasi. Saya lalu menghubungi 119, call center Covid-19. Oleh petugas 119, saya hanya disuruh menunggu karena dia hendak mencari informasi lebih lanjut. Namun, setelah dua menit menunggu, panggilan telepon terputus. Saya mencoba menghubungi kembali, tapi sulit tersambung.
Saya lalu menghubungi 112, call center yang lain, setelah upaya menyambungkan berkali-kali gagal. Sayangnya, petugas 112 seperti tak tahu apa-apa. Tak ada jawaban pasti, mbulet tak keruan. Hingga akhirnya petugas tersebut memberi saya sebuah kontak, nomor telepon seluler pribadi seorang yang dikatakan bisa memberi pencerahan. Namun nomor tersebut tak aktif, tidak terdaftar.
Saya kecewa terhadap pelayanan petugas call center yang rasanya kurang bisa menyampaikan informasi dengan baik dan terkesan memberi informasi yang sangat normatif. Saya membayangkan jika ini terjadi pada keluarga lain dengan kasus lebih urgen. Semoga bisa segera berbenah.
Decky Paryadi
Tangerang Selatan, Banten
Penanganan Pesan Hoaks
SEMENJAK pandemi, hampir setiap hari saya harus memberi tahu orang-orang di lingkaran terdekat bahwa apa yang mereka bagikan di grup adalah hoaks, disinformasi, atau misinformasi. Setelah saya amati, latar belakang pendidikan dan usia tak lagi relevan dikaitkan dengan imunitas orang terhadap kabar palsu. Banyak di antara mereka berlatar pendidikan mentereng, berusia muda, fasih dalam menggunakan teknologi canggih untuk memudahkan hidup sehari-hari.
Saya banyak membaca analisis yang menjelaskan adanya bias konfirmasi sehingga pesan berantai tertentu mudah mendapat tempat di kalangan orang berusia lanjut, apa pun pendidikannya. Kondisi ini juga yang menyebabkan orang dewasa muda bisa terpengaruh, sehingga menyebabkan mereka enggan mencari sumber lain, ditambah rasa skeptisisme yang rendah. Mereka cenderung menerima bulat-bulat pesan berantai yang terkesan mendidik dan informatif itu sebagai kebenaran. Sampai di sini, saya menganggap hal ini sebagai kegagapan menggunakan media sosial belaka, kurang-lebih seperti kondisi gegar teknologi.
Sampai satu ketika, pesan berantai yang meresahkan karena belum tentu isinya benar itu ikut hinggap di grup pertemanan anak saya yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Isinya memikat, tentang manfaat ajaib air hangat. Diembel-embeli cuplikan video berbahasa Inggris yang menampilkan seorang bergelar dokter, yang kemudian diberi subtitle bahasa Indonesia, seolah-olah menerangkan air hangat adalah obat mangkus mandraguna untuk segala penyakit. Untungnya, anak saya yang tidak gampang percaya pada pesan berantai di media sosial, alih-alih ikut menyebarkan pesan kurang kerjaan itu, justru mendiskusikannya dengan saya dan ayahnya.
Saya tidak habis pikir bagaimana anak-anak SMP mulai terpapar pesan palsu dan ikut menyebarkannya. Di usia yang cenderung punya curiosity yang tinggi, dengan tingkat melek teknologi yang umumnya lebih baik, anak-anak itu seharusnya lebih kritis. Apakah jangan-jangan ini adalah cerminan mayoritas orang tua di Indonesia? Jika benar begitu, sudah sebaiknya para orang tua berkaca dan bersikap benar dalam mengelola informasi. Demikian pula para guru yang sebaiknya memberi teladan: berhenti membagi pesan yang tak jelas kebenarannya.
Dewi Purwanti
Jakarta Selatan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo