Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menjatuhkan vonis ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri. Ia dinyatakan melanggar kode etik karena menggunakan helikopter saat pulang ke kampungnya di Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, pada 20 Juni lalu. ”Menyatakan terperiksa bersalah melanggar kode etik,” ujar Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatorangan Panggabean saat membacakan putusan di gedung KPK, Kamis, 24 September lalu.
Firli dianggap mengabaikan ketentuan tentang sikap dan tindakan yang melekat serta keteladanan dalam tindakan dan perilaku. Dewan Pengawas menganggap perilaku Firli bisa meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pimpinan dan lembaga KPK. Tumpak mengatakan Dewan Pengawas tidak masuk ke dugaan gratifikasi, yaitu helikopter yang digunakan Firli milik pihak yang tengah beperkara di KPK.
Vonis ringan itu menuai kritik dari para pegiat antikorupsi. Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai Dewan Pengawas terlalu lembek karena hanya memberikan sanksi teguran tertulis. “Padahal dampak perbuatannya sangat besar,” kata Zaenur. Mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, juga mengkritik putusan Dewan Pengawas yang tak mempertimbangkan pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli saat menjadi Deputi Penindakan KPK, yakni bertemu dengan pihak yang beperkara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai pelanggaran Firli saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK itu semestinya tak dipisahkan dari pertimbangan Dewan Pengawas. Kurnia menilai sudah cukup alasan Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat dan meminta Firli mundur sebagai pemimpin KPK.
Adapun Firli menyatakan menerima putusan Dewan Pengawas. “Saya memohon maaf kepada masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman. Saya pastikan bahwa saya tidak pernah mengulangi lagi,” ujarnya.
Hanya Teguran Tertulis
DEWAN Pengawas hanya memberikan teguran tertulis untuk Firli. Mengabaikan kesalahan masa lalu.
Putusan:
Firli terbukti melakukan pelanggaran etik ringan karena menggunakan moda transportasi helikopter.
Pasal yang dilanggar:
Pasal 4 ayat 1 huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf f tentang penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Pasal ini mengatur kewajiban untuk menyadari bahwa sikap dan tindakan melekat dalam kapasitas sebagai insan KPK serta menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku.
Pertimbangan majelis:
Perbuatan Firli menimbulkan tanggapan negatif dan berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadapnya sebagai Ketua KPK dan pemimpin KPK lainnya.
Hal yang memberatkan:
Tidak menyadari bahwa perbuatannya tergolong pelanggaran.
Hal yang meringankan:
Firli dinilai kooperatif dan belum pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.
Vonis:
Sanksi ringan berupa teguran tertulis II yang berlaku enam bulan.
Pelanggaran sebelumnya:
Firli saat menjabat Deputi Penindakan KPK bertemu dua kali dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang, pada 2018. Padahal saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan PT Newmont. Sebelum vonis pelanggaran kode etik berat dijatuhkan, Firli ditarik ke Markas Besar Kepolisian RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua Pendeta di Papua Tewas
PENDETA Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Hitadipa di Intan Jaya, Papua, tewas ditembak pada Sabtu sore, 19 September lalu. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat GKII Daniel Ronda menyatakan Yeremia, saat sedang berjalan menuju kandang babi di dekat rumahnya, diduga ditembak tentara. “Kami mengkonfirmasi berdasarkan laporan di lapangan,” ujar Daniel, Senin, 21 September lalu.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III Kolonel Czi I G.N. Suriastawa menyatakan Yeremia tewas ditembak kelompok kriminal bersenjata. “Mereka mencari momen menarik perhatian di Sidang Umum PBB akhir bulan ini,” katanya.
Tiga hari berselang, Alfred Gedei, 55 tahun, pendeta di Gereja Kemah Injil Klasis Wanggar Siloam SP 2, Nabire, ditemukan meninggal dengan tiga luka di kepala. Belum jelas betul siapa pelaku penyerangan terhadap Alfred.
Terdakwa Jaksa, Pinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang perdana d di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 23 September 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Dakwaan Pinangki tanpa Nama Jaksa Agung
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta mulai menyidangkan kasus suap pengurusan fatwa bebas terpidana hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, yang menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari pada Rabu, 23 September lalu. Dalam surat dakwaan, tak ada detail tentang peran Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali.
Dua nama itu muncul dalam proposal pengurusan fatwa seharga US$ 10 juta yang diajukan Pinangki kepada Joko. Burhanuddin disebut BR, sedangkan Hatta ditulis dengan inisial HA. “Inisial BR adalah Pak Burhanuddin,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Ali Mukartono, Kamis, 24 September lalu.
Burhanuddin menyatakan tak peduli namanya masuk proposal itu. Sedangkan Hatta Ali menyatakan namanya dicatut. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai dakwaan Pinangki masih banyak bolongnya.
Menhan Prabowo Subianto sebelum mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, J9 September 2020. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Eks Anggota Tim Mawar Jadi Pejabat Kementerian Pertahanan
PRESIDEN Joko Widodo menunjuk dua bekas anggota Tim Mawar—kelompok di Komando Pasukan Khusus yang terlibat penculikan aktivis pada 1998—Brigadir Jenderal Yulius Selvanus dan Brigadir Jenderal Dadang Hendrayudha, sebagai pejabat di Kementerian Pertahanan pada Rabu, 23 September lalu. Yulius didapuk sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan dan Dadang menjadi Direktur Jenderal Potensi Pertahanan.
Penunjukan ini berdasarkan usul Menteri Pertahanan Prabowo Soebianto pada 7 September lalu. Prabowo adalah bekas Komandan Kopassus. “Proses selanjutnya surat keputusan dari Panglima TNI,” kata juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik keputusan tersebut. Dia menilai Presiden Jokowi makin menjauh dari janjinya mengusut pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Dua terpidana Irman (belakang), dan Sugiharto (tenmgah), di gedung KPK, Jakarta, anuari 2018. Irman dan Sugiharto diperiksa untuk pengembanga. TEMPO/Imam Sukamto
MA Korting Hukuman Terpidana KTP Elektronik
MAHKAMAH Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menjadi terpidana kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik, Irman dan Sugiharto. Irman bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sedangkan Sugiharto adalah Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi.
“Dikabulkan oleh MA dalam tingkat pemeriksaan peninjauan kembali,” ujar juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, Kamis, 24 September lalu. Hukuman Irman berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun. Sedangkan hukuman Sugiharto berkurang dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Ali Fikri, menyayangkan putusan itu. “Kami mencatat sekitar 20 perkara yang ditangani KPK sepanjang 2019-2020 yang hukumannya dipotong,” kata Ali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo