Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Pada halaman 27, dalam Opini berjudul “Keputusan Keliru Blok Masela” tertulis “Revisi POD menunjukkan biaya investasi pengembangan Masela dengan kilang LNG di darat mencapai US$ 20,3 miliar atau senilai Rp 287,3 triliun—lebih mahal US$ 5,5 miliar dibanding POD awal dengan kilang terapung di laut (offshore)”. Pengembangan Blok Masela dengan kilang onshore tidak keliru dan lebih efisien secara biaya. Pendapatan dari pengembangan Blok Masela dengan kilang LNG di darat (onshore) meningkat 48 persen dibanding kilang lepas pantai (offshore). Biaya per unit juta ton per tahun (MTPA) juga turun minimal 10 persen dan gas untuk industri lokal tersedia sebesar 150 MMSCFD serta menciptakan efek berganda yang lebih besar. Kilang offshore hanya memiliki kapasitas produksi sebesar 7,5 MTPA LNG. Sedangkan kapasitas produksi kilang onshore, sesuai dengan pre-FEED akhir 2018, mencapai 9,5 MTPA dan 150 MMSCFD gas pipa, atau 33 persen lebih besar.
2. Pada halaman 72 tertulis “Sebelumnya pemerintah berkeras bahwa produksi LNG cukup sebesar 7,5 MTPA dan gas pipa sebanyak 474 MMSCFD”. Dalam pembahasan selanjutnya, diperoleh pemutakhiran cadangan gas bumi yang signifikan sehingga skenario pengembangan dinaikkan menjadi 9,5 MTPA LNG dan 150 MMSCFD gas pipa untuk industri lokal.
3. Pada halaman 78 tertulis “Cadangan terbukti: 10,7 triliun kaki kubik” dan pada halaman 82 “...pengembangan blok yang menyimpan cadangan gas 10,7 triliun kaki kubik ini...”. Mengacu pada hitungan mutakhir, yang telah disertifikasi Lemigas pada 2018, cadangan Blok Masela yang semula 10,7 triliun kaki kubik (TCF) naik menjadi 18,5 TCF.
Wisnu Prabawa Taher
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas
Terima kasih. Penjelasan Anda melengkapi artikel tersebut.
Penjelasan PLTA Batang Toru
BERKAITAN dengan berita mengenai pembangkit listrik tenaga air Batang Toru pada Tempo edisi 18-24 Maret 2019, kami hendak mengajukan beberapa koreksi dan pelurusan agar pembaca dan semua pihak tidak salah memahami serta mendapat informasi yang benar.
Berita di Tempo memberikan kesan kuat bahwa PLTA Batang Toru adalah proyek yang merusak hutan. Fakta terpenting yang perlu diperhatikan adalah proyek PLTA Batang Toru berada di area penggunaan lain (APL). Artinya, tidak ada pembabatan hutan karena PLTA bukan di area hutan. Kami membeli lahan untuk proyek PLTA seluas 669 hektare dari masyarakat, yang secara hukum telah diizinkan negara untuk kepentingan nonhutan. Seluruh proses pembelian lahan dari masyarakat tersebut telah selesai.
Akibat isu bahwa lokasi proyek PLTA Batang Toru berada di kawasan hutan, timbul isu lanjutan mengenai habitat orang utan akan terancam. Padahal proyek kami sepenuhnya berada di APL, sementara habitat utama orang utan di dalam hutan lindung. Di lokasi APL kami sudah ada aktivitas berkebun dan bertani oleh manusia sejak puluhan tahun silam.
Perlu kami tegaskan bahwa proyek PLTA Batang Toru menggunakan konsep run-off hydro system, mirip micro-hydro. Sistem operasinya disesuaikan dengan debit air yang mengalir di sungai. PLTA tipe run-off hydro system tidak membendung air seperti halnya tipe reservoir, tapi memanfaatkan air yang mengalir secara alami.
Berbeda dengan PLTA lain, yang harus membangun waduk raksasa (reservoir) dengan luas area genangan ribuan hektare, PLTA Batang Toru hanya memerlukan kolam harian (daily pond) dengan penambahan area genangan 66 hektare saja. Area tersebut sebelumnya merupakan daerah perkebunan dan pertanian sehingga dalam proyek ini tidak ada warga yang harus mengungsi.
Artikel di Tempo juga memberikan kesan kuat bahwa PLTA Batang Toru menimbulkan banjir yang merugikan masyarakat. Sekali lagi, tipe run-off hydro system tidak membendung air seperti halnya tipe reservoir, tapi memanfaatkan air yang mengalir secara alami. Jadi tidak akan ada dampak terhadap aliran sungai di bagian hilir. Adapun banjir di hilir sudah sering terjadi sejak puluhan tahun silam sebelum ada proyek PLTA saat debit air Sungai Batang Toru meningkat. Jadi tidak benar PLTA telah menyebabkan masyarakat yang bermukim di hilir sungai kebanjiran.
Pembangunan PLTA Batang Toru mengadopsi praktik terbaik dari ketentuan nasional dan internasional serta telah memiliki kajian-kajian yang diprasyaratkan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Mengenai amdal, perlu kami jelaskan bahwa amdal 2016 tidak menggantikan amdal 2014, tapi menjadi adendum sehubungan dengan pemindahan quarry dan efisiensi kapasitas dari 500 megawatt menjadi 510 megawatt.
Firman Taufick
Vice President Communications and Social Affairs PT North Sumatera Hydro Energy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo