Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat AirAsia QZ-8501 hilang kontak pada Ahad dua pekan lalu. Operasi pencarian besar-besaran oleh Badan Search and Rescue Nasional akhirnya membuahkan hasil dengan ditemukannya jenazah korban pesawat di Teluk Karimata, sekitar wilayah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Tragedi ini mengingatkan pada hilangnya pesawat Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Adam Air pada 1 Januari 2007. Namun sebenarnya peristiwa hilang kontak pesawat pernah terjadi pada 4 Desember 1974. Kala itu pesawat DC-8 Martinair, yang membawa ratusan anggota jemaah haji asal Surabaya, Jawa Timur, hilang kontak di kawasan perbukitan Tajuh Perawan, Sri Lanka. Pesawat kemudian ditemukan hancur karena menabrak Puncak Adam di kawasan itu. Majalah Tempo edisi 14 Desember 1974 mengungkap peran menara kontrol udara (ATC) dalam peristiwa itu.
Lima belas menit lagi DC-8 Martinair, yang dikemudikan kapten penerbang Lamme, 58 tahun, mendarat di lapangan terbang Bandaranaike. Terbang malam di atas perbukitan Tajuh Perawan, di jantung negeri Sri Lanka, pesawat itu menerima clearance turun dari ketinggian 8.000 menjadi 2.000 kaki.
Di bawah pesawat itu menganga medan yang ganas dengan bukit dan jurang yang curam. Sesungguhnya Lamme kenal betul daerah itu karena sudah berkali-kali dia lalui. Malah, setelah Perang Dunia II, dia bekerja sebagai penerbang untuk pemerintah Sri Lanka.
Dalam kegelapan malam itu, pesawat Lamme menabrak sebuah bukit dan hancur terbakar di situ pada ketinggian 4.300 kaki. Bukit itu kurang-lebih 60 mil di tenggara Kolombo. Sebanyak 182 anggota jemaah haji yang dia terbangkan dari Surabaya dan 9 awak mati secara tragis pada Rabu tengah malam, 4 Desember 1974.
Besoknya, reruntuhan pesawat itu baru ditemukan. Kemudian, pada sore hari, ditemukan potongan-potongan tubuh manusia, yang langsung dikuburkan dengan upacara agama Islam di negara yang didominasi penganut Buddha itu. Upacara penguburan itu dipimpin seorang tokoh agama Islam setempat dan dihadiri enam-tujuh organisasi Islam di Kolombo. Penguburan massal di tujuh lubang itu sengaja dilakukan di tepi jalan untuk memudahkan kalau ada sanak saudara korban yang ingin berziarah.
Medan tempat pesawat jatuh begitu sulit dicapai manusia. Kotak pencatat penerbangan yang lazim disebut black box, yang akan membantu memecahkan teka-teki kecelakaan tersebut, belum ditemukan kala itu. "Kecelakaan itu terjadi di daerah perbukitan, 15 mil di utara Puncak Adam, yang memiliki ketinggian 8.000 kaki. Sedangkan puing pesawat berserakan dalam daerah seluas 2 mil persegi," demikian menurut veteran angkatan udara Sri Lanka, Wijasurya, dalam siaran radio amatirnya yang tertangkap di Jakarta pada Kamis, 5 Desember 1974. Tapi, dalam siaran keesokan harinya, Wijasurya mengatakan bahwa puing-puing yang lain ditemukan pula kira-kira 8 mil dari daerah kecelakaan utama itu.
Apa yang menjadi sebab dari kecelakaan ini masih belum diketahui. Tapi "ahli partikelir" memang banyak muncul setelah kejadian itu, sebagaimana yang diungkapkan Menteri Perhubungan Emil Salim. Koran-koran Kolombo, yang kemudian dikutip mentah-mentah oleh sebuah koran di Jakarta, mengatakan kecelakaan itu terjadi karena salah tangkap menara pengawas Bandaranaike. Pemberitahuan dari penerbang tentang jaraknya dari landasan forty miles salah tangkap menjadi fourteen sehingga dia memperbolehkan pesawat mendarat. Tapi, seperti kata beberapa penerbang, laporan penerbang kepada pengawas menara biasanya akan lebih hati-hati kalau dipandang bisa meragukan. Maka fourteen biasanya diperjelas dengan one four dan forty dengan four zero.
Tapi sebuah keterangan yang agak mengejutkan datang dari Jakarta Control, yang bertempat di Halim Perdanakusuma. Kabarnya Halim meminta pesawat berikutnya—yang akan mengisi bahan bakar di Bahrain—menanyakan nasib DC-8 Martinair yang dikemudikan Lamme tersebut. Pesawat yang belakangan ini memperoleh keterangan bahwa pesawat yang bakal mendarat di Bandaranaike itu telah jatuh di daerah perbukitan. "Melalui penunjuk radar, kami sudah berteriak 'hill' kepada pilot ketika kelihatan dia sedang menuju tebing sebuah bukit," ujar pihak dari menara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo