Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Vonis Bebas Pencuri Ikan  

Majelis hakim membebaskan nelayan Taiwan yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna dengan alasan tak cukup bukti. Pencurian ikan sudah marak sejak zaman Orde Baru.

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Majelis hakim membebaskan nelayan Taiwan yang ditangkap karena diduga mencuri ikan di Natuna

  • Majelis hakim membebaskan mereka karena tak terbukti mencuri meski kedapatan tak memiliki izin berlayar di perairan Indonesia

  • Namun bukti-bukti yang diperoleh ketika penangkapan membuktikan sebaliknya

TIM Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali menenggelamkan kapal pencuri ikan berbendera Vietnam di Laut Natuna, Kepulauan Riau, pada 17 Agustus 2021. Seminggu sebelumnya, Tentara Angkatan Laut menciduk kapal TG 9115 TS berbendera Vietnam yang mencuri ikan di Natuna. Pencurian ikan sudah marak sejak 1970-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laut Natuna menjadi tempat meraup ikan bagi para nelayan asing, tapi sejak dulu hukumannya selalu tak jelas. Majalah Tempo edisi 6 Maret 1976 berjudul ”Bak Menang Lotere” menulis artikel tentang pencuri ikan di Natuna yang tertangkap tapi dibebaskan oleh pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Pengadilan Negeri Tanjungpinang yang membebaskan dua kapal nelayan Taiwan baru-baru ini mengundang rasa heran. Apalagi soalnya di sini bukan hanya masalah pencurian ikan, tapi lebih jauh seperti kata tentara: jalur yang dilayari secara liar itu akan dapat digunakan pihak asing untuk kepentingan subversi dan infiltrasi.

Jaksa penuntut umum Hamidah Hamzah sebenarnya sudah cukup awas dengan mengajukan tuntutan hukuman 3 bulan 18 hari penjara buat ke-15 awak kapal Syatsu I, serta merampas kapal tersebut berikut peralatan penangkapan ikan. Tapi majelis hakim yang dipimpin Amrin De Bur berpendapat lain dengan membebaskan warga negara asing itu.

Diperintahkan juga pengembalian semua milik terdakwa berupa kapal serta uang Rp 200 ribu dari hasil penjualan ikan mereka sekitar 20 ton pada Agustus 1975. Ongkos perkara dibebankan kepada negara. “Jaksa betul-betul diplonco,” komentar seseorang seusai sidang, 9 Februari lalu.

Hakim De Bur dan kawan-kawannya tentu saja tidak sembarang memutus. Majelis yang dipimpinnya berpendapat bahwa untuk memenuhi tuntutan jaksa, harus dipenuhi tiga unsur. Pertama, para terdakwa berada di wilayah perairan Indonesia. Kedua, melakukan penangkapan ikan di kawasan itu. Ketiga, tidak memiliki izin yang sah dari pemerintah RI.

De Bur juga telah memanggil para saksi dan tenaga ahli yang jumlahnya tak kurang dari 10 orang. Dari semua hasil pemeriksaan yang dilakukan sejak November 1975, majelis tak ragu menyimpulkan bahwa unsur pertama dan ketiga memang terpenuhi. Baik berdasarkan bukti-bukti yang ada maupun menurut keterangan para saksi dan tertuduh.

Kapal Syatsu I dan Syatsu II memang jelas berada di perairan Indonesia, yakni 36 mil dari sebuah pulau di Kecamatan Siantan di Laut Natuna. Juga benar mereka tidak memiliki izin dan dokumen lain yang membenarkan mereka berada di perairan itu.

Tinggal unsur kedua. Para saksi dari KRI Pattimura sama mengakui bahwa mereka memang tidak melihat kedua kapal itu sedang menangkap ikan ketika ditangkap.

Berdasarkan penghitungan jarak antara Singapura dan tempat mereka ditangkap serta kecepatan kapal yang 8 mil sejam, majelis berkeyakinan para awak kedua kapal itu hanya punya sisa waktu setengah jam untuk bisa digunakan menangkap ikan. Menurut saksi ahli, untuk sekali melepas jaring saja diperlukan waktu paling sedikit dua jam.

Dengan begitu, menurut majelis, kehadiran nelayan asing di perairan Indonesia itu tak lebih dari sekadar numpang lewat. Karena itu dinilai pemenuhan unsur pertama dan kedua tersebut bukanlah sebagai suatu kesalahan. Begitulah, awak Syatsu I dan Syatsu II terbebas dari beban hukuman.

Para nelayan asing itu pun melonjak kegirangan bak menang lotere. Tentu saja unsur kedua inilah yang hingga sekarang mengundang pertanyaan, sekurang-kurangnya oleh warga daerah itu. Mereka heran kenapa jurnal kapal-kapal tersebut tidak bisa ditemukan untuk dijadikan barang bukti yang dipercaya.

Ke mana jurnal kapal itu sebenarnya? Dimusnahkan untuk menghapus jejak? Majelis pun dalam pertimbangan putusannya tidak menyinggung-nyinggung soal perlengkapan kapal yang satu ini. Juga soal ditemukannya sisa ikan di geladak dan keadaan jaring yang menjulur ke luar batas geladak tatkala kapal-kapal itu diciduk. Terakhir, didapati sebuah peta Laut Cina Selatan di kapal tersebut. Untuk apa mereka bawa?


https://majalah.tempo.co/edisi/1923/1976-03-06

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus