Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kembalinya Taliban menguasai Afganistan tak lepas dari peta geopolitik.
Bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi kemenangan Taliban?
Kemungkinan menguatnya kelompok intoleran patut diwaspadai.
APA yang patut kita cemaskan dari jatuhnya Afganistan ke tangan Taliban? Satu yang terpenting adalah bangkitnya euforia kelompok Islam radikal di Tanah Air. Mereka yang mengaitkan kemenangan Taliban dengan kebangkitan “Islam” dalam pengertian yang paling banal: Islam sebagai teologi konservatif yang ditegakkan dengan pedang dan pertumpahan darah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Tak lama setelah Taliban menaklukkan Ibu Kota Kabul pada 14 Agustus lalu, polisi mendeteksi munculnya ucapan selamat dan ajakan berjihad di media sosial. Detasemen Khusus Antiteror 88 Kepolisian RI sebelumnya telah menangkap aktivis Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang ditengarai menghimpun dana dan merencanakan teror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JI dan JAT selama ini saling melengkapi dalam melakukan teror: kedua kelompok ini pernah mendalangi pelbagai aksi bom di Bali dan sejumlah tempat di Tanah Air. Memiliki perbedaan strategi politik dan dakwah, keduanya mula-mula menginduk pada Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Belakangan, mereka bergeser mendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang didirikan Abu Bakar al-Baghdadi.
Kembali menguatnya Taliban dikhawatirkan membangkitkan spirit kelompok teror di Indonesia. Apalagi Afganistan bukan tanah yang asing bagi kelompok Islam garis keras dan pelaku teror di Indonesia. Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, tiga pemuda dari Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, misalnya, pernah ikut berperang di Afganistan. Ketiganya adalah dalang pengebom Bali pertama pada 12 Oktober 2002. Umumnya pelaku teror asal Indonesia mendapat pelatihan militer di sana pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an.
Didirikan pada 1994 atas dukungan Pakistan dan Amerika Serikat untuk melawan Uni Soviet, Taliban membesar dan menguasai Afganistan pada 1996-2001. Tak seperti ISIS yang bercita-cita membangun kekhalifahan tanpa batas negara, Taliban adalah gerakan nasionalisme. Keduanya berbeda afiliasi dan strategi. Ledakan di Bandar Udara Hamid Karzai, Afganistan, 26 Agustus lalu kuat diduga dilakukan ISIS untuk mengganggu kekuasaan Taliban.
Secara ideologis, ISIS dan Taliban sama-sama memiliki pemahaman agama yang dangkal. Islam, misalnya, mereka letakkan dalam konteks Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi, masa ketika agama itu diturunkan. Aturan hukum seperti potong tangan kepada pencuri dan rajam kepada perempuan berzina dipraktikkan mentah-mentah. Keduanya bermimpi tentang sistem kekhalifahan: sirkulasi kekuasaan beredar di kalangan tertentu berdasarkan garis keturunan. Penggantian bani terjadi lewat perang dan konflik horizontal. Prinsip Islam sebagai rahmat bagi alam semesta diabaikan lewat praktik beragama yang eksklusif dan tidak toleran.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah konteks geopolitik Afganistan dan negara tetangga. Telah menjadi rahasia umum: Taliban didukung Pakistan yang berseteru dengan pemerintah militer sebelum kelompok itu berkuasa. Di bawah kepemimpinan Presiden Ashraf Ghani, Afganistan cenderung membela India, musuh bebuyutan Pakistan. Kemenangan Taliban juga menguntungkan Cina, yang bersiap dengan pelbagai proyek ekonomi di negara itu.
Dengan kata lain, kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan merupakan hasil dari tarik-menarik politik yang tak sederhana. Memotretkan kemenangan Taliban hanya sebagai “kemenangan Islam” adalah pandangan yang naif, simplistis, dan ahistoris. Mengidolakan Afganistan di era Taliban sebagai bentuk masyarakat Islam yang ideal merupakan salah kaprah yang nyata.
Polisi selayaknya bertindak tegas terhadap mereka yang menjadikan kemenangan Taliban sebagai momentum untuk kembali melancarkan teror. Sikap antisipatif itu perlu dilakukan dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Sudah lama dikritik: Undang-Undang Anti-Teror yang baru memberikan ruang gerak lebih besar kepada polisi untuk bertindak. Dengan wewenang yang baru, aparat hendaknya tidak hantam kromo.
Para pegiat pluralisme agama selayaknya tak berhenti mengkampanyekan Islam sebagai agama toleran. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Taliban selama ini hendaknya dijadikan contoh tentang praktik beragama yang keliru dan, karena itu, tidak perlu ditiru. Selain melupakan inti ajaran Islam, inklusivisme beragama merupakan prinsip penting yang dapat menjaga Islam selalu relevan dan tidak terkucil dalam pergaulan dunia modern.
Catatan 31 Agustus 2021: koreksi kesalahan penulisan judul artikel dari "toleransi" menjadi "intoleransi". Kami mohon maaf.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo