Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecerdasan Buatan
TANPA kita sadari, teknologi sudah menemani manusia dalam beberapa dasawarsa. Perkembangannya pun secepat kilat hingga melebihi batas kemampuan pencipta teknologi tersebut. Batas moral dan kemanusiaan pun terlampaui. Undang-undang untuk mengatur batas dan rambu dalam hal perkembangan teknologi saja belum sempurna. Namun, pada akhirnya, celah kecil itu dimasuki oleh salah satu perusahaan laboratorium penelitian kecerdasan buatan asal California, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak perlu menengok jauh, pembahasan undang-undang mengenai pengembangan teknologi pun belum masuk ke Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pernyataan dewan di Senayan itu yang hanya mengandalkan data Badan Siber dan Sandi Negara. Memang pencegahan diperlukan, tapi adanya undang-undang dan pemanfaatannya itu adalah klimaks pencegahan perkembangan teknologi tersebut. Semoga saja undang-undang mengenai perkembangan teknologi segera dibahas atau bisa ditambahkan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik agar maknanya lebih komprehensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Rafli Rizqullah
Pelajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo, Jawa Timur
Toleransi
AKHIR-AKHIR ini ada satu kata yang sangat populer dan begitu sering diucapkan oleh banyak orang, dari yang tidak berpendidikan hingga yang mempunyai gelar berderet. Rakyat biasa sampai pemimpin dan para politikus ataupun nonpolitikus menggunakannya. Kata tersebut adalah “toleransi”, yang sangat indah dan merdu didengar.
Saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk melihat apa sebenarnya makna kata “toleransi”. Menurut KBBI, “toleransi” adalah “sifat atau sikap toleran”. Sementara itu, kata “toleran” menurut KBBI mempunyai makna “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya), yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.
Rupanya, kata “toleransi” di Indonesia hanya mudah diucapkan tapi sulit diterapkan. Barangkali saja orang yang mengucapkan sekadar ikut-ikutan tanpa memahami makna yang sebenarnya, atau hanya supaya terlihat kekinian? Atau bisa saja yang mengucapkan pura-pura tidak tahu artinya karena akan membuat tindakan yang mereka lakukan dipandang salah. Dengan kata lain, “toleransi” dimaknai sekehendak mereka sendiri. Apalagi oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kebiasaan memaksakan kehendak.
Sebagai bangsa yang bermartabat, kita harus betul-betul memaknai dan menjiwai arti “toleransi” dengan sepenuh hati. Tentunya ini harus tecermin juga dari sikap dan perilaku sehari-hari dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat.
Kita baru saja memperingati Hari Lahir Pancasila Ke-78 pada 1 Juni 2023. Namun sampai sekarang sebagian besar bangsa Indonesia tidak bisa memaknai dan menjiwai Pancasila dengan baik dan benar. Bukan hanya hafal setiap sila, seharusnya kita menerapkannya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh dan bukti paling nyata adalah sikap “intoleran” yang masih sering dipertontonkan oleh individu ataupun kelompok-kelompok tertentu terhadap agama, kepercayaan, dan kebudayaan pihak lain. Yang paling memprihatinkan, acap kali terjadi pembiaran atas sikap “intoleran” tersebut oleh pihak yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan. Akhirnya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Pemilihan Umum 2024 adalah momen yang tepat bagi para calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dewan perwakilan rakyat daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah untuk memasukkan “toleransi” sebagai salah satu bahan kampanye, sekaligus memberikan keteladanan dalam menerapkan "toleransi” setelah terpilih menjadi anggota di parlemen.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo