Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Penindasan Kebebasan Beragama di Korea Utara

Penindasan terhadap kebebasan beragama terus berlanjut di Korea Utara, terutama terhadap penganut Kristen dan Shamanisme.

4 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penindasan terhadap kebebasan beragama terus berlanjut di Korea Utara.

  • Korea Utara memenjarakan satu keluarga penganut Kristen, termasuk anak dua tahun.

  • Afrika Selatan akan mengubah aturan mengenai penangkapan kepala negara.

Korea Utara

Penindasan Kebebasan Beragama Berlanjut

LAPORAN Kebebasan Beragama Internasional 2022 yang disusun Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa kebebasan beragama di Korea Utara tidak mengalami perubahan mendasar. Sejak laporan Komisi Penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (COI) pada 2014 hingga kini, pemerintah Korea Utara masih menolak hak atas kebebasan berpikir dan beragama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama (di Korea Utara) terus ditolak, tanpa ada sistem kepercayaan alternatif yang ditoleransi oleh pihak berwenang,” kata António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dalam laporan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan yang beredar sejak Ahad, 28 Mei lalu, itu mengutip laporan organisasi non-pemerintah Korea Future mengenai berbagai insiden penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi terhadap orang-orang karena keyakinan agama mereka. Pemerintah Korea Utara terutama menyasar pemeluk Kristen dan pengikut Shamanisme. Dari 244 korban yang terdokumentasikan, 150 orang menganut Shamanisme dan 91 orang Kristen. Open Doors USA memperkirakan 50-70 ribu orang Kristen kini berada di penjara dan mengalami berbagai penyiksaan.

Kementerian Keamanan Dalam Negeri Korea Utara terlibat dalam persekusi terhadap penganut Kristen, yang biasanya dihukum penjara selama 15 tahun hingga seumur hidup dan berlaku hingga tiga generasi keluarga dekat terdakwa. Pada 2009, pemerintah bahkan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada satu keluarga pemeluk Kristen, termasuk anak dua tahun, karena memiliki Alkitab. Pemerintah juga mengeksekusi penganut Kristen, seperti menembak mati seorang perempuan dan cucunya di Provinsi Hamgyong Utara pada 2011 dan enam orang Kristen di Provinsi Hwanghae Selatan pada 2015. Open Doors USA menyatakan penindasan terhadap penganut Kristen ini didorong oleh doktrin komunisme dan keluarga Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara, yang menganggap pemeluk Kristen sebagai “golongan politik paling berbahaya, dan persekusinya harus sangat keras dan intens”.

Dalam pidato mengenai laporan tersebut, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony J. Blinken menyatakan sejumlah negara masih menindas pemeluk agama minoritas dengan penyiksaan, pemukulan, pengawasan yang melanggar hukum, dan kamp reedukasi. Namun, Blinken menjelaskan, sejumlah kemajuan juga tampak belakangan ini di berbagai negara. Belgia, misalnya, secara resmi mengakui minoritas Buddha dan mengizinkan organisasi Buddha mengajarkan keyakinan mereka di sekolah negeri. Parlemen Brasil mengkodifikasi jaminan kebebasan beragama bagi masyarakat adat Afro-Brasil dan mengesahkan undang-undang yang mempidana tindakan diskriminatif terhadap praktik keagamaan apa pun. Kanada dan Uni Eropa juga mendirikan kantor baru untuk memerangi Islamofobia.


Afrika Selatan

Afrika Ubah Aturan Penangkapan Kepala Negara

PEMERINTAH Afrika Selatan berencana mengubah undang-undangnya sehingga punya kewenangan untuk menentukan sendiri apakah perlu menangkap atau tidak seorang kepala negara yang menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). “Kami akan ajukan ke parlemen pada Juni ini,” kata Obed Bapela, Wakil Menteri Urusan Tata Kelola Kerja Sama dan Tradisi, kepada BBC pada Rabu, 31 Mei lalu.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa di Sochi, Rusia, Oktober 2019. Reuters/Sergei Chirikov/Pool

Kebijakan ini dikeluarkan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi BRICS di Johannesburg, Agustus mendatang. BRICS adalah akronim dari lima negara anggotanya, yakni Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Para kepala negara BRICS, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, direncanakan datang ke acara tersebut.

Afrika Selatan menghadapi dilema mengenai posisi Putin karena ICC telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Putin atas dakwaan kejahatan perang di Ukraina. Sebagai negara anggota ICC, Afrika Selatan diharapkan menjalankan perintah ICC tersebut. Namun Rusia adalah salah mitra dagang penting negeri itu.

Wakil Presiden Paul Mashatile menyatakan akan menggelar rapat dengan komisi lintas kementerian untuk membahas kedatangan Putin. Menteri Luar Negeri Naledi Pandor juga telah menandatangani regulasi yang memberi kekebalan diplomatik kepada semua peserta KTT BRICS.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus