Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PDI memutuskan mencalonkan Soeharto sebagai calon presiden yang akan dibawa ke sidang umum MPR Maret 1993
Pencalonan itu menuai protes dari beberapa kader serta eksponen mahasiswa yang mengusung calon selain Soeharto
Nama Guruh Sukarno Putra diusung sebagai calon presiden, tapi dijegal di rapat pimpinan partai
BURSA calon presiden menghangat seiring dengan keluarnya hasil sigi beberapa lembaga survei dua pekan belakangan. Tak ada kandidat baru dari hasil survei itu. Nama seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, serta Anies Baswedan bergantian bercokol di peringkat atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi kekurangan kandidat lain seperti saat ini mirip dengan zaman Orde Baru, saat semua partai politik mendukung Soeharto sebagai calon presiden. Beberapa kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sempat mengusung kandidat lain, tapi rapat pimpinan memutuskan mencalonkan Soeharto. Pencalonan itu pun, dalam artikel majalah Tempo edisi 23 Januari 1993 berjudul “Ada Janji Ada Demonstrasi”, menuai protes dari kalangan kader dan mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panas di luar, adem di dalam. Itulah suasana rapat pimpinan khusus Partai Banteng di Wisma DPR Kopo, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang berakhir pada Rabu pekan lalu. Di dalam ruang sidang, tak ada debat ataupun adu tarik urat. Semua mulus dan lancar. “Santai saja. Cuma kalau keluar ruangan kami pasang muka serius,” Alex Asmasoebrata, Ketua PDI Jakarta, berseloroh.
Bersidang dua hari di tengah udara sejuk, seperti diramalkan sebelumnya, PDI akhirnya mengusung Soeharto sebagai calon presiden dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Try Sutrisno sebagai wakilnya. Usul paket ini akan dibawa ke Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Maret nanti.
Di luar pagar tempat rapat berlangsung, suasana lebih panas. Sekitar 300 mahasiswa, pelajar, dan pemuda dari Jakarta, Bogor, Bandung, dan Garut berunjuk rasa di depan pintu, Senin pagi. Puluhan poster yang isinya menuntut PDI menyiapkan calon presiden selain Soeharto dibentangkan. Bunyi sebuah poster: “Dicari Presiden Baru”.
Anak-anak muda yang tergabung dalam gerakan Aliansi Demokrasi Rakyat ini mengaku sebagai pendukung PDI yang kecewa karena partai menjagokan Soeharto sebagai calon presiden. “Terus terang saya dibohongi. Tega-teganya rakyat dieksploitasi untuk kepentingan penambahan kursi,” kata Pius Lustrilanang, 24 tahun, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan, Bandung, yang memimpin aksi itu.
Maka, “PDI sebaiknya dibubarkan saja. Saya mengimbau elemen-elemen PDI yang kecewa keluar dan bergabung dengan kami membentuk kekuatan lain,” ujar mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional ini. Pius dan gerakannya mencoba masuk ke tempat sidang untuk menemui pengurus PDI, tapi aparat keamanan mencegah mereka. Aksi ini pun tertambat di pintu pagar.
Yang juga nyangkut di pintu masuk tempat Wisma DPR Kopo itu adalah Sophan Sophiaan, artis, sutradara film, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI. Putra tokoh Partai Nasional Indonesia, Manai Sophiaan, ini akhirnya hanya menyerahkan tanda tangan 19 anggota Fraksi PDI—dari 85 anggota—yang mendukung Soerjadi sebagai calon presiden. Ketika PDI tetap muncul dengan nama Soeharto, Sophan memprotes.
Dia menyematkan pita hitam di lengan kemejanya. Hal itu pertama kali dilakukan suami artis Widyawati ini pada hari ulang tahun ke-40 Guruh Sukarno Putra, Rabu pekan lalu, beberapa jam setelah rapat pimpinan usai. Pita hitam itu akan dipakainya sampai Sidang Umum MPR usai. “Ini tanda berkabung, demokrasi sudah mati,” ucapnya.
Barangkali yang dimaksud Sophan adalah demokrasi di PDI. Sebab, praktis suara orang muda di PDI yang menghendaki calon selain Soeharto tak terwakili dalam rapat pimpinan itu. Guruh sendiri tak diundang karena tidak masuk jajaran pimpinan pusat atau daerah. Di dalam ruang sidang, 26 daerah mendukung Soeharto. Hanya Kalimantan Selatan, Bali, Lampung, dan Sumatera Selatan yang mencalonkan Guruh.
Yang menarik, 11 daerah menginginkan Soerjadi maju sebagai calon presiden. Namun Wakil Ketua DPR/MPR yang pada 1986 ditunjuk pemerintah memimpin PDI ini sudah berhitung cermat. Kalau dia maju menandingi Pak Harto, bisa jadi itu bukan langkah yang menguntungkan buat kongres PDI tahun ini untuk memilih ketua umum.
Guruh, yang gagal menjadi calon presiden dari PDI, mengaku tak kecewa. “Ini kelemahan demokrasi. Saya pikir ada sesuatu di balik rapim ini yang mengatur agar aspirasi tak muncul. Tapi saya selalu siap jika diberi kesempatan jadi presiden,” ujar Guruh.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 23 Januari 1993. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo