Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Intimidasi Ahmadiyah sampai Kapan

Serangan terhadap pengikut Ahmadiyah masih terus terjadi. Apa motifnya?

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masjid Al-Furqon di Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat, disegel

  • Kasus di Sukabumi itu menambah panjang daftar kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Indonesia.

  • Pada 1988, dua masjid Ahmadiyah pernah dirusak massa.

INTIMIDASI dan larangan terhadap aktivitas ibadah jemaah Ahmadiyah masih terjadi. Pada Senin, 2 Maret lalu, perwakilan jemaah ini melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang penyegelan Masjid Al-Furqon di Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus itu menambah panjang daftar kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Sebelumnya, pada 5 Januari lalu, sekelompok orang yang mengaku dari Paguyuban Pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia menghalangi peluncuran buku berjudul Haqiqatul Wahy yang akan diadakan di Masjid Mubarak, Bandung Timur, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2017, Masjid Al-Hidayah di Depok milik jemaah Ahmadiyah juga sempat disegel Pemerintah Kota Depok. Bahkan, pada 2011, tiga anggota jemaah Ahmadiyah tewas di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, akibat penyerangan sekelompok orang.

Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Majalah Tempo edisi 17 September 1988 menurunkan liputan “Dan Masjid itu pun Dirusakkan” yang berkisah tentang perusakan masjid milik jemaah Ahmadiyah di Garut, Jawa Barat.

Perusakan masjid tersebut terjadi pada Senin malam, akhir Agustus 1988. Pada malam itu, lima lelaki bersenjata kapak dan pentungan menyerang masjid yang berada di Kampung Ciparay, Sukarya, Kecamatan Samarang, Garut. Mereka menghancurkan jendela dan pintu, membobol langit-langit, bahkan meremukkan genting masjid milik pengikut Ahmadiyah Qadian.

Malam yang semula sepi berubah menjadi gaduh saat pentungan dan kapak mencabik-cabik masjid yang dibangun pada 1973 itu. Tidak ada perlawanan dari jemaah Ahmadiyah Qadian. Menurut Didin, seorang pengikut Ahmadiyah, mereka mengetahui rencana penyerangan tersebut dua hari sebelumnya.

Serangan pada malam itu, menurut sumber Tempo, dimulai dengan beredarnya fotokopi selebaran 20 September 1984 dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Dalam selebaran itu disebutkan bahwa Ahmadiyah Qadian bertentangan dengan Islam. Padahal Dirjen Bimas Islam pada 1986 telah mencabut pernyataannya dan membolehkan aktivitas Ahmadiyah Qadian asalkan “tidak meresahkan masyarakat”.

Di Kecamatan Samarang, anggota jemaah Ahmadiyah Qadian hanya 80 orang. Selama ini, mereka tak diganggu. Namun situasi berubah total ketika berembus isu yang mengatakan bahwa kelompok mereka kafir dan sesat. “Ada beberapa tokoh merasa disisihkan. Mereka menghasut dari rumah ke rumah, menyebut pengikut Ahmadiyah kafir, dajal, PKI,” kata Ilman Fajar, 29 tahun, mubalig Ahmadiyah yang masih lajang. Kemudian jemaah Ahmadiyah, dia melanjutkan, “Dimusuhi orang sekampung.”

Ini bukan serangan pertama terhadap kelompok Ahmadiyah Qadian. Pada Maret 1988, rumah anggota jemaah Ahmadiyah Qadian di Buniasih, Cianjur, Jawa Barat, juga dihancurkan dan dibakar. 

Selain Qadian, berkembang Ahmadiyah aliran Lahore di Indonesia. Kegiatan jemaahnya berjalan terpisah. Ada yang di Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia, ada pula yang di Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Semula mereka berakar dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad, yang mendirikan Ahmadiyah pada 1889. Setelah ia meninggal pada 1908, penggantinya adalah Hazrat Hakim Nuruddin, yang menjadi Khalifah I. Sepeninggal Hakim Nuruddin, pada 1914, penganut Ahmadiyah pecah. Jemaah Qadian menganut kekhalifahan Basyiruddin Mahmud Ahmad. Yang bertahan di Lahore mengangkat Maulvi Muhammad Ali.

Pengikut Qadian memberikan pangkat “nabi’ kepada Ghulam Ahmad, yang bertugas menyampaikan pesan Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad. Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui Ghulam Ahmad sebagai pembaru, bukan nabi.

Ahmadiyah aliran Lahore mengkritik cara saling mengafirkan sesama muslim. Kaum Lahore tegas menyatakan “tak diperlukan lagi jabatan kenabian” karena Nabi Muhammad sudah sempurna. Yang masih diperlukan, kata mereka, adalah turunnya nikmat Tuhan berupa wahyu. Menurut Islam, Allah menurunkan wahyu kepada orang pilihan-Nya saja.

 


 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus