Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan direksi kala itu sesumbar mampu meraup keuntungan di atas Rp 100 miliar. Klaim itu cukup mengherankan lantaran Garuda merugi delapan tahun berturut-turut. Artikel majalah Tempo berjudul “Laba dengan Segelembung Fasilitas” mengungkap skenario Garuda merevaluasi aset dan memisahkan neraca keuangan akibat devaluasi.
Ternyata, dalam persaingan yang seru di bisnis penerbangan internasional, Garuda berhasil menambah jumlah penumpang sehingga mutlak diperlukan lebih banyak pesawat. Perusahaan ini bahkan menyediakan dana sebesar US$ 2 miliar untuk membeli 6 pesawat MD-11, 6 Boeing 747, dan Airbus A-340. Garuda konon meraup Rp 127 miliar. Tapi bagaimana posisi keuangannya masih dipertanyakan banyak orang.
Benarkah Garuda untung? Sebab, ini berarti lompatan besar karena tahun sebelumnya laba Garuda hanya Rp 299 juta. Bahkan, selama delapan tahun, sebelum 1987, Garuda merugi. Jika kerugian dalam waktu sewindu itu dijumlahkan, nilainya mencapai Rp 866 miliar. Nah, bagaimana bisa tiba-tiba untung di atas Rp 100 miliar? Dan, kalau memang untung, mengapa Garuda masih meminta banyak fasilitas dari pemerintah?
Misalnya penurunan harga avtur untuk penerbangan luar negeri. Selain itu, Garuda masih dibebaskan dari segala pajak. Padahal, pada akhir 1987, pemerintah telah menghibahkan berbagai aset yang sebelumnya bukan milik Garuda, seperti pusat perawatan pesawat di Bandar Udara Soekarno-Hatta. “Memang, fasilitas-fasilitas itu sengaja saya minta kepada pemerintah,” kata Direktur Utama Garuda Mochamad Soeparno.
Untuk memperbaiki neraca keuangan, Soeparno meminta kerugian akibat dua kali devaluasi pada 1983 dan 1986 dibebankan pada tahun yang bersangkutan. Padahal kerugian biasanya ditutup secara bertahap, tahun per tahun. Hal lain yang tak kalah penting adalah revaluasi terhadap semua kekayaan. Bagaimana tidak, pesawat-pesawat yang dimiliki sekarang dibeli beberapa tahun lampau ketika kurs dolar masih rendah.
Contohnya pesawat DC-9, yang dibeli pada 1968—waktu nilai US$ 1 masih sekitar Rp 400. Kalau dihitung penyusutannya, nilai pesawat-pesawat yang dibeli dulu sudah nol sekarang. Dan, setelah dinilai kembali dengan dolar yang berlaku sekarang, kekayaan Garuda (termasuk harta lainnya) hampir Rp 2 triliun. Lain halnya kalau tidak ada revaluasi, “Aset Garuda tidak akan sampai setengahnya dari Rp 2 triliun,” kata Soeparno.
Konon, lantaran bertambahnya fasilitas-fasilitas itu, plus adanya revaluasi, akhirnya Garuda bisa memperoleh laba Rp 177 miliar. Paling tidak, seperti dikatakan seorang pengamat ekonomi di Jakarta, perusahaan yang merugi sekalipun, kalau mengalami perubahan aset seperti itu, akan berbalik menjadi untung. Hanya, tampaknya, Soeparno berusaha memisahkan antara hasil revaluasi dan keuntungan.
Menurut dia, dua tahun terakhir ini, 1987 dan 1988, Garuda benar-benar melaba. Itu kalau dilihat dari total pendapatan tahun lalu (Rp 1,762 triliun) yang kemudian dikurangi dengan total biaya (Rp 1,519 triliun). Sisa hasil usaha kotor sebesar Rp 243 miliar. Kemudian angka itu dikurangi lagi dengan biaya di luar usaha (seperti beban bunga) Rp 115,167 miliar sehingga laba Rp 127 miliar.
Soeparno juga tidak membantah kenyataan bahwa angka itu bisa lain kalau akumulasi rugi selama delapan tahun tersebut dimasukkan ke neraca. “Ya, jatuhnya masih rugi,” ujarnya. Tapi itu tidak berarti kerugiannya dilupakan atau dihapuskan. “Tetap dihitung, walaupun di luar neraca.” Memang, dalam catatan keuangan Garuda, setelah dikurangi laba, masih terhitung akumulasi rugi sebesar Rp 738 miliar.
Itulah sebabnya Garuda masih dibebaskan dari beban pajak pendapatan. Tidak hanya itu, Soeparno akan melakukan negosiasi dengan Pertamina agar Garuda, paling tidak, bisa memperoleh harga pelumas yag lebih murah. Memang, peranan pelumas dalam struktur biaya operasi tidak begitu besar. “Kan, lumayan, biar jumlahnya kecil, kalau dikumpulkan, banyak juga,” kata Soeparno.
Sayangnya, “Senyum Garuda” yang mahal dan membuat kesal masih belum teratasi. Sering terjadi seorang penumpang yang sudah memiliki tiket ditolak dengan alasan pesawat penuh. Sedangkan penumpang lain yang tiketnya belum di-acc bisa langsung check in karena menyodorkan beberapa lembar rupiah kepada petugas. Hal-hal seperti itu diakui Soeparno tidak mudah diatasi. “Mengubah perilaku itu lebih sulit ketimbang mengubah aset,” tuturnya.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo