Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa keterbukaan itu, publik akan terus bertanya: bagaimana perusahaan yang berdarah-darah tiba-tiba bisa meraup laba? Apalagi dua komisaris Garuda menolak menandatangani laporan keuangan tersebut.
Penolakan itu terungkap saat perusahaan yang mayoritas sahamnya milik negara ini menggelar rapat umum pemegang saham pada 24 April lalu. Pangkal soalnya adalah kontrak kerja sama antara Garuda dan PT Mahata Aero Teknologi. Perjanjian ini memberikan hak eksklusif kepada Mahata untuk memasang peralatan Internet dan hiburan pada 203 unit pesawat Garuda, Citilink, dan Sriwijaya.
Dari kontrak Oktober 2018 ini, Garuda memperoleh pendapatan US$ 239,9 juta atau sekitar Rp 3,47 triliun dengan kurs 14.481 per dolar Amerika Serikat. Masalahnya, pendapatan selama 15 tahun ke depan itu diakui sebagai penerimaan Garuda pada tahun buku 2018. Rapor keuangan yang merugi Rp 3,05 triliun sepanjang 2017 mendadak menjadi untung Rp 72,69 miliar pada akhir 2018. Padahal, hingga September 2018, Garuda masih tekor Rp 1,6 triliun. Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, komisaris yang mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd, menilai laporan keuangan tersebut menyesatkan. Keduanya adalah perwakilan pengusaha Chairul Tanjung, yang menguasai 28 persen saham Garuda.
Pada dasarnya, pengakuan piutang yang belum dibayarkan sebagai pendapatan merupakan praktik yang lazim dalam akuntansi perusahaan. Dengan metode ini, transaksi dicatat pada saat kontrak ditandatangani, bukan ketika perseroan menerima uang. Namun pencatatan berbasis akrual semacam ini memiliki sejumlah syarat.
Salah satunya adalah perusahaan harus lebih dulu memiliki hak tagih. Merujuk pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Garuda akan memiliki hak tagih atas biaya kompensasi pemasangan layanan Internet dan manajemen konten setelah perseroan melaksanakan kewajiban sesuai dengan kontrak. Kewajiban itu antara lain menyediakan pesawat untuk dipasangi perangkat layanan.
Persoalannya, baru Citilink yang menyediakan satu unit pesawat kepada Mahata—dari total 50 pesawat Citilink yang dijadwalkan. Anak usaha Garuda itu menargetkan delapan unit pesawat dipasangi perlengkapan serupa pada tahun ini. Ketersediaan pesawat tidak hanya disesuaikan dengan jadwal perawatan, tapi juga bergantung pada persetujuan dari perusahaan lessor sebagai pemilik pesawat. Dengan pelbagai risiko itu, transaksi belum layak dibukukan sebagai pendapatan.
Pencatatan piutang US$ 240 juta pada laporan keuangan Garuda juga harus diikuti pengakuan utang pada laporan keuangan Mahata. Hingga kini, Mahata belum mau mengakuinya karena termin pembayaran belum tertulis jelas pada perjanjian yang mereka teken. Belakangan, terungkap bahwa Garuda dan Mahata belum menyepakati rincian termin pembayaran atas biaya kompensasi pemasangan peralatan di pesawat. Skema pembayaran ini akan didetailkan pada adendum ketiga perjanjian kerja sama.
Dengan skema pembayaran itu, Garuda tidak bisa mengakui pendapatan di muka. Biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan Internet dan hiburan juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan usaha yang muncul di kemudian hari—misalnya bagi hasil pemanfaatan slot iklan. Dengan begitu, biaya kompensasi harus dicatat sebagai pendapatan yang dibagi rata selama kerja sama berlangsung. Dengan langkah ini, pendapatan dan beban operasi terbagi secara merata dalam periode kontrak.
Sebagai pemegang saham terbesar, Kementerian Badan Usaha Milik Negara semestinya bisa mencegah terbitnya laporan keuangan yang mencurigakan. Apalagi kedua komisaris telah menyampaikan keberatan melalui surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno jauh sebelum rapat umum pemegang saham berlangsung. Kementerian selayaknya berteriak paling kencang terhadap keanehan laporan keuangan itu. Sikap Kementerian yang justru setuju kini memantik curiga: untuk alasan apa Garuda “dibedaki”—pertimbangan bisnis atau politis?
Rapor merah keuangan Garuda sudah berlangsung lama. Perusahaan ini bahkan hampir masuk kategori bangkrut. Sempat membaik pada 2015 dan 2016, maskapai ini kembali terpuruk dua tahun lalu. Garuda selayaknya lebih terbuka kepada publik dalam menjelaskan skema kerja samanya dengan Mahata. Maskapai ini juga harus bersedia memperbaiki laporannya bila Bursa Efek Indonesia menemukan kekeliruan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo