Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di era Soeharto, PLN surplus listrik tapi kesulitan menjualnya ke industri.
PLN kesulitan menjual karena tarifnya mahal di atas negara tetangga.
Industri memilih menggunakan pembangkit listrik sendiri ketimbang membeli listrik dari PLN.
KINERJA PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah disorot oleh Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara. Erick meminta PLN menyetop proyek-proyek yang mubazir. “Kesehatan (keuangan) PLN lebih penting. Kalau PLN sakit, semua sakit,” kata Erick, Kamis, 12 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, agar keuangan sehat, PLN perlu merenegosiasi dengan produsen listrik swasta di tengah menurunnya konsumsi listrik karena pandemi. Selama kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali, konsumsi listrik anjlok sebanyak 2.000 megawatt (MW) atau 7 persen karena berkurangnya aktivitas di kantor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada era Presiden Soeharto, seperti dalam artikel majalah Tempo edisi 11 Februari 1978 berjudul “Kini Tarifnya Jadi Soal”, PLN juga kesulitan menjual listrik karena tarifnya mahal. Terutama untuk industri, tampaknya PLN masih perlu banyak menjelaskan bahwa tenaganya lebih murah. Jika ditanyakan kepada kaum pengusaha, umumnya menjawab bahwa tarif PLN mahal.
Persoalan dimulai 10 tahun yang lalu, ketika perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mulai berdatangan mendirikan pabrik, sedangkan PLN masih lemah dengan daya yang terpasang cuma 65 MW. Akibatnya, pengusaha terpaksa memasang diesel, satuan pembangkit listrik sendiri yang disebut captive power.
Daya non-PLN ini, walaupun kecil-kecil, keseluruhannya sudah mencapai 1.837 MW. Sementara itu, dengan adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita, PLN memiliki daya terpasang sebesar 1.376 MW dan jangkauannya makin luas. Jangkauan PLN sudah mencapai banyak perusahaan dan pusat industri.
Persoalannya, masih banyak perusahaan yang belum berlangganan walaupun sudah dijangkau oleh PLN. Hal demikian, bagi PLN, secara komersial tidak menggembirakan. Untuk wilayah distribusi Jakarta dan Tangerang, misalnya, daya terpasang PLN yang belum terjual adalah sebanyak 200 MW.
Surplus daya sebesar itu oleh PLN diharapkan untuk dijual, tentu saja, terutama kepada industri, hotel besar, dan bangunan pencakar langit yang bertumbuhan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu, Surat Keputusan Gubernur DKI Jaya Nomor 329 Tahun 1977 sudah membantu PLN. Isinya melarang pemakaian captive power.
PLN sendiri tanpa disangsikan lagi memang sudah siap melayani pelanggan. Pelayanannya tak akan berbelit-belit. Sejak dua tahun lalu, kata Direktur Utama PLN Suryono, PLN sudah memasukkan persneling kedua. “Ini berarti PLN mulai berjalan agak cepat,” ujar Suyono.
Direktur Pengusahaan PLN Bambang Sarah mengatakan akan mahal buat pengusaha bila memakai diesel jika diimpor dengan bea masuk 40 persen, termasuk biaya perawatannya pun tinggi. Tapi banyak pengusaha yang memperoleh fasilitas PMDN dan PMA bisa mengimpor diesel itu tanpa bea masuk.
Tarifnya untuk dunia usaha ialah antara Rp 19 dan Rp 21 per kWh (dibanding untuk rumah tangga di kota besar sekitar Rp 26 dan Rp 30). Namun kaum pengusaha, menurut Direktur Utama PT Pupar Djamsu Papan, hanya membayar Rp 10 per kWh dengan diesel. Jadi tarif PLN dianggapnya terlalu mahal.
Di Singapura, kata Soehindrijo dari PT Philips Ralin Electronics, tarif listrik untuk industri setelah dirupiahkan cuma Rp 9 per kWh. “Bagaimana produk kita bisa bersaing di luar negeri,” ujarnya.
Adapun PLN cuma bisa menjelaskan bahwa Singapura (daya terpasang 2.000 MW) lebih beruntung karena unit pembangkitnya terpusat di suatu pulau kecil, sedangkan unit PLN terpencar dan tersebar luas dari Aceh sampai Irian Jaya. Karena terpencar itu, PLN terkena biaya lebih tinggi.
Pendapat lain datang dari Direktur PT Talang Tirta Hamizar Hamid. Menurut dia, keuntungan memakai listrik PLN adalah tidak perlu pusing lagi memelihara diesel. Tapi dianggapnya pabrik masih perlu memakai diesel sebagai cadangan meski berlangganan PLN. “Aliran PLN sering terganggu. Bila ada petir, listriknya mati,” kata Rudolf Danuasmolo, Ketua Asosiasi Industri Roti Biskuit dan Mie.
https://majalah.tempo.co/edisi/1970/1978-02-11
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo