Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seleksi hakim agung di Komisi Yudisial.
Calon bermasalah dan diragukan integritasnya melaju.
Rekam jejak abu-abu kandidat diabaikan.
SELEKSI hakim agung semestinya dimanfaatkan sebagai bagian untuk memperkuat lembaga pengadilan negara tertinggi kita. Sayangnya, proses penjaringan yang sedang dijalankan Komisi Yudisial untuk memilih calon buat dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat jauh dari harapan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Yudisial memutuskan 24 calon hakim agung lolos ke tahap berikutnya. Para calon itu mengikuti tahap wawancara pada awal bulan ini untuk mendapatkan tiket ke Senayan—lokasi gedung DPR di Jakarta—agar memperoleh persetujuan Dewan. Mereka akan mengisi 13 kursi kosong hakim agung pada kamar pidana, perdata, dan militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para aktivis pemantau peradilan menyoroti masuknya sejumlah orang dalam daftar itu. Mereka mendasarkan penilaian pada riwayat calon, termasuk yang berhubungan dengan penambahan kekayaan pribadi masing-masing. Sebaliknya, calon yang dinilai lebih baik dinyatakan tidak lolos uji kesehatan dan kepribadian pada tahap sebelumnya.
Komisi Yudisial mempersempit partisipasi publik dalam proses seleksi. Lembaga ini menutup akses masyarakat untuk mengikuti “pendalaman profil”, yakni klarifikasi terhadap riwayat kandidat yang dilakukan tertutup. Pada tahap wawancara, Komisi juga hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan normatif, tidak berfokus pada persoalan integritas yang menjadi persoalan banyak penegak hukum kita.
Besar kemungkinan calon yang terpilih kelak tidak membuat Mahkamah Agung menjadi lebih baik. Lembaga ini akan bekerja rutin, seperti birokrasi yang berjalan tanpa terobosan. Putusan yang dihasilkan pun lebih prosedural, bukan memastikan tegaknya keadilan. Padahal kondisi saat ini menuntut para hakim menjalankan hal sebaliknya.
Dua puluh tiga tahun setelah reformasi menumbangkan pemerintah Soeharto, kini terjadi rekonsolidasi kekuasaan. Hal itu ditandai oleh menurunnya indeks demokrasi pada tahun-tahun terakhir. Gejala menguatnya represi terhadap kebebasan masyarakat sipil terus menguat.
Proses hukum sering kali diintervensi hal lain, termasuk suap-menyuap. Pemberian keringanan hukuman bagi sejumlah terpidana korupsi akhir-akhir ini menunjukkan gejala itu. Hal itu diperparah oleh rendahnya komitmen hakim pada kesetaraan setiap anggota masyarakat. Terlihat, antara lain, pada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan surat keputusan bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Menteri Agama; dan Menteri Dalam Negeri tentang seragam siswa sekolah.
Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan terhadap lembaga peradilan yang kuat makin tinggi dan, karena itu, diperlukan darah segar. Komisi Yudisial semestinya bisa memahami kebutuhan itu sehingga menjadikan proses seleksi hakim agung buat mencari penegak hukum berintegritas tinggi.
Seleksi oleh Komisi Yudisial tak ubahnya proses serupa di lembaga lain. Sering kali panitia penyaringan lebih mementingkan akomodasi politik, bukan kualitas setiap calon. Hal itu bisa dilihat pada pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, hakim konstitusi, juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan ada olok-olok: panitia cenderung meloloskan calon terlemah, terutama ketika hasil seleksi harus mendapat persetujuan DPR.
Proses seleksi oleh Komisi Yudisial kali ini terus menjauhkan pada kemungkinan lahirnya hakim agung progresif. Tentu saja hasilnya juga tidak akan memenuhi kebutuhan akan terciptanya lembaga peradilan tertinggi yang berkualitas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo