Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasa penasaran Mudrik R. Daryono terbayar sudah. Sejak mengetahui terjadi gempa magnitudo 7,4 yang ber-episenter di darat dekat Sirenja, Kabupaten Donggala, sekitar 80 kilometer barat laut Kota Palu, Sulawesi Tengah, di kedalaman 11 kilometer pada Jumat, 28 September 2018, pikirannya berkecamuk. Inikah lindu besar yang pernah diprediksi akan menghantam Palu berdasarkan perhitungan pengulangan gempa di Sesar Palu-Koro?
Semula Mudrik dan beberapa peneliti gempa bumi menduga lindu itu dipicu oleh aktivitas Sesar Palu-Koro segmen Palu. Gempa pernah terjadi di segmen tersebut pada 2005 dan 2009, yang bermagnitudo 5,9. Penelitian Mudrik untuk disertasi doktoralnya pada 2012 memprediksi gempa besar akan kembali terjadi di segmen yang sama. Ia mengabarkan potensi lindu besar itu kepada Tempo pada 2014. Ia juga mengingatkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah saat beraudiensi dengan gubernur pada 2017.
Kekuatan gempa yang melampaui angka magnitudo maksimum di segmen Palu yang 6,8 berdasarkan buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 terbitan Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) itu mengusik Mudrik. Mengapa magnitudonya bisa mencapai 7,4? Temuan Mudrik dan tim riset Pusgen yang diterjunkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bekerja sejak 9 hingga 13 Oktober lalu, memberi jawaban.
Rombongan tim peneliti itu beranggota 16 orang dari berbagai instansi dan disiplin ilmu, termasuk Profesor Ramli, pakar likuefaksi dari Malaysia. Tujuan utama penelitian ini adalah mencari kejelasan terkait dengan gempa Palu-Donggala, tsunami, dan likuefaksi. Termasuk upaya penataan ulang daerah yang koyak oleh robekan Sesar Palu-Koro tersebut. Hasil survei itu dipaparkan dalam diskusi terbuka yang berlangsung di Aula Timur kampus Institut Teknologi Bandung, Selasa pekan lalu.
Mudrik, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tergabung dalam regu geologi. Tugasnya menyusuri jejak robekan sesar. Temuan survei di pantai barat Donggala: retakan bumi sekitar 15 sentimeter. Sedangkan di Palu, yang merupakan retakan maksimal, lebarnya hampir 6 meter (580 sentimeter). ”Itu di Balaroa wilayah barat Palu,” kata Mudrik di ruangannya di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung, Rabu tiga pekan lalu.
Temuan Mudrik dan tim yang lain sangat mengejutkan. Ternyata bukan hanya segmen Palu yang bergerak, sepertiga bagian segmen Saluki—segmen terdekat, yang terpisah sejauh 6 kilometer—juga ikut bergerak. Bukti ditemukan Mudrik saat ia menyambangi kembali parit uji yang dibuatnya dalam penelitian pada 2011 di Desa Omu, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi. ”Tanahnya bergeser 320 sentimeter,” ujarnya.
Mudrik menduga gerakan di dua segmen sekaligus inilah yang memicu dahsyatnya gempa Palu sehingga lebih tinggi daripada magnitudo maksimum di segmen Palu, yang M-6,8; ataupun di segmen Saluki (M=6,9). Fakta bergeraknya dua segmen di Sesar Palu-Koro secara bersamaan ini mencengangkan mereka. ”Ini di luar perkiraan kami sebelumnya,” kata Mudrik.
Secara teoretis—berdasarkan kejadian gempa-gempa di dunia sebelumnya—menurut Mudrik, dua segmen yang terpisah sejauh 4 kilometer semestinya menghasilkan gempa masing-masing. Jika jaraknya kurang dari 4 kilometer, energi gempa bisa meloncat ke segmen terdekat. Loncatan energi inilah yang mungkin terjadi pada gempa 28 September petang itu.
Fenomena seperti ini, kata Mudrik, dengan skala yang lebih dahsyat, pernah terjadi di Selandia Baru. Sebanyak 13 segmen Sesar Kaikoura kompak bergerak sekaligus pada gempa magnitudo 7,8 pada 14 November 2016. ”Dengan arah pergerakan yang berbeda pun energi gempa bisa menyeberang,” ujarnya.
Kini apakah segmen Saluki masih menjadi ancaman setelah sebagian segmennya telah pecah bersama segmen Palu? Mud-rik mengaku tidak tahu. Begitupun kondisi segmen tersisa lainnya. ”Bisa merembet ke Sesar Matano, ke subduksi, kita enggak tahu,” katanya. Secara sains, ada bujet energi yang dilepaskan ketika gempa dan berpindah ke tempat lain. ”Dari sisi mitigasi, kita wajib waspada.”
Soal mitigasi bencana ini yang disesalkan Irwan Meilano, wakil satuan tugas ITB yang tergabung dalam tim. Menurut pakar gempa dari Kelompok Keahlian Geodesi ITB itu, peta sumber dan bahaya gempa sudah dibuat pada 2017 untuk bercerita tentang kemungkinan bencana di masa depan. ”Tapi gempa masih menjadi bencana,” ujarnya.
Senada dengan Irwan, peneliti tsunami ITB yang juga anggota tim, Hamzah Latief, menyesalkan jatuhnya ribuan korban jiwa dalam gempa Palu-Donggala. ”Melihat Palu sedih sekali karena kita sudah punya datanya, punya petanya, disosialisasi ke pemda, tapi tidak sampai ke masyarakat,” katanya.
ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo