Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lembaga pembiayaan pilih kasih terhadap proyek energi terbarukan berskala besar.
Proyek besar dan mahal, seperti pembangkit listrik tenaga air, justru memicu konflik sosial serta dampak lingkungan.
Perbankan masih ragu akan potensi ekonomi proyek skala komunitas lokal.
KOALISI organisasi masyarakat sipil mengkritik lembaga pembiayaan yang pilih kasih terhadap proyek energi terbarukan berskala besar. Dalam kajian bertajuk "Banking on Renewables: Powering People, Protecting the Planet" yang dirilis pada Rabu, 16 Oktober 2024, mereka menemukan bahwa di tengah gencarnya kampanye transisi energi, proyek hijau berskala komunitas lokal masih minim mendapatkan pendanaan dan berpotensi terbengkalai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kumpulan organisasi masyarakat sipil, termasuk Trend Asia yang membidangi isu lingkungan dan Recourse yang menyoroti kebijakan finansial, menilai pendanaan energi seharusnya bisa menghasilkan proses transisi serta akses energi yang universal. Visi ini belum terwujud karena permodalan condong mengalir ke proyek jumbo yang dikelola swasta, alih-alih oleh warga lokal. Padahal risiko lingkungan dan sosial dari megaproyek justru lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian mengatakan proyek energi terbarukan juga butuh dana awal yang besar tak ubahnya pembangkit konvensional. Proyek mini seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), menurut dia, juga berhak mendapatkan investasi asing, terutama yang mengalir dari bank pembangunan multilateral (MDB). Faktanya, pembangkit listrik yang dikelola masyarakat ini dipandang sebelah mata.
“Yang dilihat (perbankan) hanya keuntungan bisnis secara langsung, bukan ekonomi kolektif yang dibangun oleh masyarakat,” kata Beyrra kepada Tempo, Rabu, 30 Oktober 2024.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau Konferensi Para Pihak ke-28 (COP28) sebelumnya menyerukan agar MDB dan lembaga keuangan publik lain menggandakan investasi dalam aksi iklim. Forum yang diikuti 70 ribu peserta di Dubai, Uni Emirat Arab, pada awal Desember 2023, itu menagih janji penurunan emisi gas rumah kaca dari negara-negara pihak, sesuai dengan Perjanjian Paris 2015.
Pekerja melakukan pemeriksaan rutin di ruang mesin turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH). ANTARA/Ahmad Subaidi
Badan Energi Internasional (IEA) juga menyatakan dunia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan minimal 16,4 persen per tahun hingga 2030. Seiring dengan ambisi tersebut, forum Kelompok 20 (G20) juga memperkirakan dunia masih membutuhkan pendanaan sebesar US$ 4 triliun per tahun untuk transisi energi.
Dalam kajian Banking on Renewables, koalisi menganggap pembiayaan energi terbarukan harus jauh lebih merata bagi negara berpendapatan rendah dan menengah. Kajian itu juga menyimpulkan tiga prinsip yang harus ditegakkan, yaitu pendanaan hanya untuk energi yang 100 persen terbarukan tanpa jejak fosil, harus demokratis, serta memprioritaskan publik dan alam.
Yang terjadi, kata Beyrra, pemerintah dan perbankan justru terobsesi membiayai pembangkit skala besar yang sarat masalah. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede berkapasitas 110 megawatt di Sumedang, Jawa Barat, yang menenggelamkan lahan 30 desa seluas 4.896 hektare. Proyek yang didanai hingga Rp 2,06 triliun oleh PT PLN (Persero) Tbk dan Export Credit Agency ini 218 kali diprotes oleh warga lokal sejak dirancang pada era 1980-an.
Penolakan datang dari 11 ribu keluarga dan petani yang tergusur dari permukimannya. Ada juga 48 situs sejarah Kerajaan Sumedang yang rusak. Dampaknya menjalar ke urusan kebudayaan dan cara hidup masyarakat adat setempat.
Sebaliknya, PLTMH berkapasitas 70 kilowatt milik komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat, tak lagi diperhatikan. Perusahaan asal Jepang mendukung pembangunan pembangkit ini lewat dana tanggung jawab sosial perusahaan. Namun, setelah itu, nihil biaya untuk pemeliharaan dan perbaikan jangka panjang.
Contoh lainnya adalah PLTMH di Batu Sanggan, Riau, yang telantar, padahal terbukti membantu keperluan logistik dan industri kecil, seperti perkapalan. “Padahal PLTMH ini sudah sesuai dengan prinsip transisi energi berkeadilan, demokratis, dan langsung melibatkan masyarakat,” tutur Beyrra.
Selain berdampak terhadap lingkungan dan biodiversitas, bagi peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Atina Rizqiana, investasi yang berat sebelah itu juga membuat distribusi energi tidak merata. Proyek energi skala besar, kata dia, sering dibangun dengan pendekatan sentralistik.
“Fokusnya untuk memenuhi target bauran energi nasional, bukan pemerataan energi tersebut bagi masyarakat,” ucapnya, Rabu, 30 Oktober 2024. Selain itu, kata Atina, ada potensi beban utang karena kebiasaan pemerintah menggandeng kontraktor asing.
Saat ini MDB memegang porsi besar pendanaan energi terbarukan di Indonesia. Dana dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Jerman KfW masuk ke dalam dua proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Wae Sano dan di Ulumbu, Nusa Tenggara Timur. Ada juga Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menyokong perluasan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Dieng di Jawa Tengah.
Berbagai skema penyaluran dana, dari kemitraan publik-swasta (PPP), Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), hingga Dana Iklim Hijau (GCF), cenderung berupa pinjaman, alih-alih hibah. “Porsi hibah JETP pada proyek PLTP Ijen (di Jawa Timur) hanya 1,32 persen,” ujar Atina.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng di Jawa Tengah. TEMPO/Aris Andrianto
Kajian Banking on Renewables juga menyebutkan MDB condong menangani proyek yang dapat dibiayai bank dan PPP karena bisa didanai oleh pinjaman. “Kurang dari 1 persen investasi energi terbarukan Bank Dunia, pada 2023, dicairkan sebagai hibah,” demikian bunyi laporan itu. Fakta lain, 98,7 persen investasi Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD) berupa pinjaman atau ekuitas.
Sementara itu, perbankan dalam negeri masih penuh pertimbangan dalam menyalurkan pinjaman bagi proyek energi hijau yang dikembangkan oleh komunitas lokal.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan menyebutkan bank selalu menganalisis potensi kredit berdasarkan kelayakan proyek. Belakangan, porsi aspek keberlanjutan juga makin besar dalam pertimbangan pembiayaan. “Namun porsi filter terbesar masih tetap pada kemampuan membayar cicilan,” katanya saat dihubungi Tempo.
Menurut Lani, komunitas lokal yang mengembangkan proyek energi terbarukan bisa mengadakan pelatihan atau kegiatan edukasi tentang pengembangan proyeksi yang rasional dari sisi bisnis. “Serta punya target cash flow yang jelas. Hal ini penting bagi analisis bank.”
Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk Hera F. Haryn menjamin entitasnya mendukung pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan (KUB), termasuk untuk sektor energi terbarukan. Hingga September 2024, BCA sudah menyalurkan dana hingga Rp 2,5 triliun untuk proyek energi baru dan terbarukan, mencakup pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) serta PLTA.
“Sebagai lembaga yang menjunjung prinsip kehati-hatian, penyaluran pembiayaan disesuaikan dengan manajemen risiko yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo