Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARFI'AN Fuadi, 28 tahun, dan M. Arie Kurniawan, 23 tahun, berhasil meraih prestasi mengejutkan. Kakak-adik lulusan SMA Negeri 7 Semarang dan SMK Negeri 2 Salatiga, Jawa Tengah, ini berhasil menjadi juara pertama lomba pembuatan desain 3D Printing Challenge yang diselenggarakan General Electric, Desember tahun lalu. Mereka mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara. Yang menarik, berkah dari kemenangan itu, nama mereka menjadi bertaraf internasional dan memperoleh proyek dari mancanegara. Kini ada 150 klien di seluruh dunia, dari Amerika Serikat, Selandia Baru, Inggris, Australia, Jerman, Swedia, Singapura, Arab Saudi, sampai Malaysia.
Lomba itu sendiri, menurut Arfi'an, merupakan adu kemampuan membuat desain jet engine bracket atau dudukan mesin jet yang menggantung di sayap pesawat. Braket itu dinilai memiliki kombinasi terbaik dari kekuatan dan bobotnya yang ringan. Braket asli ditimbang seberat 2.033 gram, tapi bisa dipangkas hampir 84 persen menjadi hanya 327 gram.
Secara langsung, menurut dia, pemangkasan berat tadi akan menekan konsumsi bahan bakar. "Setiap satu pesawat dalam sebulan melakukan perjalanan puluhan ribu mil. Jadi saya yakin penghematannya besar," kata Arfi'an.
Hebatnya, Arfi'an dan Arie menyisihkan peserta lain yang memiliki pendidikan jauh di atas mereka, yakni Dr Thomas Johansson, yang pernah bekerja di Swedish Air Force (Swedia). Johansson menempati urutan kedua. Kemudian juara ketiganya adalah Sebastien Vavassori, insinyur lulusan Universitas Oxford yang bekerja di Airbus Defence and Space (Inggris).
Dua bersaudara ini tidak menemui kendala serius dalam pembuatan karya mereka, kecuali komputer yang digunakan "lemot" dalam memproses analisis input. Sedangkan desain yang dilombakan hanya dicetak menggunakan plastik acrylic butadien styrene, yang biasa dipakai untuk bahan rangka peralatan elektronik. "Biayanya sangat murah," ujar Arie. "Kuncinya harus cermat, jeli, dan telaten saja."
Menurut Arie, ketertarikan mengikuti lomba ini karena diadakan oleh GrabCAD dan General Electric, salah satu perusahaan raksasa di dunia. Kemudian pesertanya adalah insinyur-insinyur pemula sampai yang berkaliber dunia. Dengan mengikuti lomba ini, setidaknya mereka membawa pesan bahwa Indonesia bisa berbicara di tingkat internasional. "Kami juga ingin membuktikan bahwasanya segala keterbatasan itu bukan suatu alasan untuk menyerah."
Keahlian Arfi'an dan Arie soal design engineering didapat secara otodidak. Mereka hanya mengutak-atik sendiri aplikasi Computer Aided Design (CAD), program komputer untuk menggambar produk tiga dimensi. Mereka juga menguasai Finite Element Analysis (FEA) hanya dari referensi situs-situs design engineering. "Dengan FEA, kami akan tahu di mana letak stress yang sesungguhnya dan bagaimana design ini akan bereaksi terhadap beban," kata Arfi'an.
Kemampuan inilah yang membuat kakak-adik itu kemudian mendirikan perusahaan DTECH-ENGINEERING pada 9 September 2009. Modalnya hanya komputer seharga Rp 1,5 juta yang dibeli dari gaji pertama Arfi'an sebagai petugas jaga malam di Kantor Pos Salatiga dan beasiswa yang diterima Arie. "Karena masih kurang, ditambahin uang bapak kami (A. Sya'roni) dan beberapa komponen komputer pemberian dari sepupu kami," ujar Arie.
Sohirin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo