Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Makalah yang ditulis eks peneliti KLHK di BRIN menggambarkan jejak pengelolaan kehutanan di Tanah Air.
Selain memuat kronologi tata kelola kehutanan, makalah yang terbit di jurnal Land itu berisi masukan berbasis data.
Disusun mandiri oleh komunitas eks peneliti sebagai kenang-kenangan untuk KLHK yang telah membesarkan mereka.
BAGI Agung Ady Setiawan, ulasan “A Chronicle of Indonesia's Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan jejak pengelolaan kehutanan di Tanah Air. Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) itu bisa melihat perkembangan aturan kehutanan seiring dengan pergantian rezim setelah membaca karya tulis ilmiah yang disusun oleh 124 peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak yang bisa dipetik. Apalagi pembahasannya menyentuh kebijakan yang masih berjalan,” kata Agung, 5 Februari 2024. Menurut dia, dinamika kebijakan itu dinilai positif. Paradigma pemerintah Orde Baru yang berorientasi pada bisnis kayu mulai berganti menjadi spirit pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Namun bongkar-pasang kebijakan menyisakan catatan. Regulator dan publik bisa melihat tantangan yang masih diwariskan sampai kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu topik yang menggelitik Agung adalah perhutanan sosial. Para periset, ucap dia, mengapresiasi peningkatan target perhutanan sosial secara besar-besaran, dari yang mulanya hanya 1,1 juta hektare menjadi 12,74 juta hektare. Bila target itu tercapai, luas program prioritas negara tersebut mewakili sekitar 10 persen total kawasan hutan di dalam negeri. “Ada pujian, tapi fair karena mereka tetap menyoroti implementasi yang masih jauh dari harapan,” tuturnya.
Perhutanan sosial adalah upaya distribusi izin pengelolaan hutan bagi warga lokal dan masyarakat adat. Area yang dikelola rakyat bisa hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, ataupun kemitraan kehutanan. Merujuk pada Peraturan Presiden tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, luas program ini ditargetkan 12 juta hektare pada 2030. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga Desember 2023, skema itu baru mencapai area seluas 6,4 juta hektare.
Deforestasi menjadi topik menonjol lain dalam makalah yang terbit di jurnal Land pada 16 Juni 2023 itu. Berbasis data pemantauan sejak 1990, karya tulis itu membunyikan lagi catatan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia pada 1996-2000. Kala itu, Indonesia kehilangan rata-rata 3,51 juta hektare tutupan hutan per tahun. Laju deforestasi melambat ke kisaran 0,42 juta hektare per tahun sejak 2015 hingga 2020, lalu melandai lagi ke 0,11 juta hektare pada 2020-2021.
Agung sependapat dengan para penulis makalah tentang pentingnya pelindungan hutan alam agar terhindar dari ancaman pengubahan fungsi lahan. Namun dia tak sepaham mengenai data deforestasi yang tercantum. FWI mencatat tingkat deforestasi di Indonesia pada 2017-2021 masih rata-rata 2,54 juta hektare per tahun. Dengan angka itu, ada tutupan hutan seluas enam kali lapangan sepak bola yang hilang setiap menit.
Dalam catatan awal 2024, FWI pun menyinggung tingkat kerusakan sumber daya hutan yang merata. Luas deforestasi di Kalimantan, contohnya, mencapai 1,11 juta hektare per tahun. Adapun tutupan yang lenyap di Papua tercatat seluas 556 ribu hektare per tahun, diikuti Sumatera (428 ribu hektare), Sulawesi (290 ribu), Maluku (89 ribu), Bali dan Nusa Tenggara (38 ribu), serta Jawa (22 ribu). “Dari dulu sampai sekarang, konflik antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.”
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Trend Asia Yuyun Indradi menyebutkan karya tulis ilmiah yang diterbitkan di jurnal akses terbuka dari penerbit Swiss, Multidisciplinary Digital Publishing Institute, itu bisa menyokong penelitian pemerintah di masa depan. Pasalnya, selain memuat kronologi tata kelola kehutanan, ulasan itu berisi masukan berbasis data. “Banyak tulisan soal hal positif dalam kebijakan kehutanan, walaupun dalam penegakan hukum masih banyak kedodoran,” ujarnya.
“A Chronicle of Indonesia's Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare
Tantangan tata kelola lingkungan yang dibahas dalam bab 4 kronik pengelolaan kehutanan Indonesia itu, menurut Yuyun, sangat relevan dengan situasi mutakhir. Dari sembilan tantangan yang dibahas, dia menyoroti masalah kelangkaan air, pangan, dan energi serta konflik manajemen hutan dan konflik manusia dengan satwa liar. Namun itu belum termasuk isu perdagangan ilegal hewan-hewan liar tersebut.
Yuyun juga menggarisbawahi catatan tentang upaya mitigasi emisi gas rumah kaca. Sampai 2022, Indonesia disebut masih berada di posisi keenam dalam daftar negara penyumbang emisi global dengan angka 214 juta ton setara karbon dioksida. Volume gas rumah kaca yang besar itu datang dari pemakaian batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap. Porsi bahan bakar fosil itu masih menjadi yang paling dominan dalam bauran energi, berkisar 42,3 persen.
Makalah yang dipersoalkan secara etik oleh petinggi BRIN karena 121 penulisnya dianggap melanggar kode etik itu pun bisa dijadikan basis untuk menakar risiko jangka pendek. Contohnya, Yuyun menjelaskan, tampak dalam isu daya dukung air untuk masyarakat. Badan Pusat Statistik mencatat sumber daya air mencapai 5,25 miliar meter kubik pada 2021. Namun, seiring dengan penebalan populasi, daya dukung air itu menipis. “Di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah over, berarti menuju krisis jika tidak segera ditanggulangi.”
Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia Doddy Sukadri masih tidak habis pikir terhadap desakan manajemen BRIN menarik KTI “A Chronicle of Indonesia's Forest Management” itu dari jurnal internasional. Musababnya, hampir tidak ada kritik sensitif yang muncul dalam makalah tersebut. Masalah kehutanan yang dikupas, menurut Doddy, masih tergolong umum dan kerap muncul dalam penelitian lain. Rekomendasi yang muncul pun klise dan terkesan sopan.
Doddy menuturkan, hasil studi bekas peneliti KLHK itu bisa dipakai dalam pertimbangan kebijakan krisis iklim. Mantan negosiator dalam Conference of the Parties United Nations Framework Convention on Climate Change tersebut menegaskan ihwal pentingnya keputusan berbasis riset. Terlebih karya tulis ilmiah tersebut mengungkapkan kekeliruan di masa lalu yang seharusnya bisa dihindari rezim saat ini. “Kita selalu membutuhkan penelitian soal kehutanan. Dalam mitigasi iklim, semua negara sepakat akan selalu mengandalkan sains,” katanya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menolak berkomentar tentang makalah buatan kelompok periset yang dulu bekerja di lembaganya tersebut. Dalam konteks kebebasan akademik, dia menerangkan, pihak mana pun bebas menulis jurnal dengan metode ilmiah yang sudah diakui. “Tidak ada intervensi pemerintah dalam ranah jurnal yang akademis,” ucapnya melalui WhatsApp, 6 Februari 2024.
Guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan pembaca bisa meneropong kondisi kehutanan di Indonesia secara umum melalui karya ilmiah tersebut. Namun, bagi Hariadi, temanya masih sangat umum dan belum menukik ke masalah utama. “Bagi yang sudah advanced, temuannya terlalu sederhana. Pokok masalah seperti korupsi, sentralisasi pemerintahan, dan sebagainya tidak disinggung.”
Salah satu penulis makalah, Ika Heriansyah dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, menyebutkan tim penulis ingin mendukung kebijakan negara, khususnya KLHK, dalam 20-50 tahun ke depan. Doktor bidang silvikultur pemulihan ekosistem itu mendapat sanksi etik berupa pemangkasan tunjangan kinerja 10 persen. Menurut Ika, karya tulis ilmiah ini disusun mandiri oleh komunitas eks peneliti KLHK sebagai kenang-kenangan. “Ini kontribusi untuk KLHK yang membesarkan kami,” ujar Ika, yang telah mengabdi selama 23 tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kronik Kehutanan Terancam Pencabutan"