Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepala BRIN menghukum 121 penulis makalah yang terbit di jurnal internasional karena menganggap mereka melanggar kode etik.
Proses pemberian sanksi penuh kejanggalan dan tidak transparan.
BRIN tidak mengungkap pelanggaran yang dilakukan para penulis jurnal tersebut.
PANTANG bagi Ika Heriansyah menarik karya tulis ilmiah yang sudah diterbitkan di jurnal. Menurut peneliti ahli utama di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu, pencabutan makalah yang telah dipublikasikan bisa membunuh kariernya sebagai peneliti. “Kami kena blacklist jika menarik paper. Penerbit pasti mempertanyakan kualitas kami sebagai penulis,” kata Ika, yang mendapat sanksi dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko lantaran menulis makalah di jurnal internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ika menulis makalah bertajuk “A Chronicle of Indonesia's Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” yang terbit di jurnal Land pada 16 Juni 2023. Karya tulis ilmiah tentang sejarah kebijakan dan tantangan pengelolaan hutan di Indonesia itu dipublikasikan oleh penerbit asal Swiss, Multidisciplinary Digital Publishing Institute. Total ada 124 peneliti dari lima pusat riset di BRIN yang menulis karya itu. Sebanyak 112 penulis adalah eks peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di PREE.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerbitan makalah itu belakangan dipersoalkan secara etik oleh para petinggi BRIN. Dari 124 penulis, 121 orang dianggap melanggar kode etik dan ketentuan perilaku aparatur sipil negara (ASN) yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang ASN dan diperkuat dengan Keputusan Kepala BRIN Nomor 76/HK/2022 tentang Kode Etik dan Perilaku Pegawai ASN di Lingkungan BRIN. Sanksinya adalah penurunan nilai perilaku dalam penilaian sasaran kinerja dengan konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja sebesar 10-30 persen selama setahun.
Proses pemberian sanksi, ucap Ika, penuh kejanggalan. Selain tidak mendapat teguran lisan atau tertulis, mereka tidak pernah menjalani pemeriksaan atau sidang Majelis Etik dan Perilaku Pegawai ASN. Tiba-tiba saja dalam seminar daring, 18 Januari 2024, ia mendengar pengumuman pemberian sanksi dari pimpinan. “Sanksi pemotongan tukin (tunjangan kinerja) sudah berjalan pada akhir Januari 2024,” tutur Ika, yang sebelum bekerja di BRIN adalah peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK.
Tim penulis karya tulis ilmiah yang mendapat sanksi terberat, Ika melanjutkan, adalah Hunggul Yudono Setio Hadi Nugroho selaku penulis pertama. Dia mendapat potongan tunjangan kinerja hingga 30 persen dan hukuman tambahan membuat permohonan maaf serta menarik makalah dari jurnal. Ika mengaku baru mengetahui adanya sidang Majelis Etik satu bulan setelah Hunggul diperiksa pada 16 Agustus 2023. Sebelumnya, pada 10 Juli 2023, Hunggul dipanggil oleh Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Iman Hidayat tanpa diketahui penulis lain.
Menurut Ika, Hunggul satu-satunya yang diperiksa oleh pimpinan dan Majelis Etik BRIN. Hasil pemeriksaan pun hanya disampaikan kepada Hunggul sebagai perwakilan penulis. “Grup WhatsApp (PREE) langsung ramai. Ada dagelan apa lagi ini, karena bukan pertama kali kami dizalimi,” kata pria yang meraih gelar doktor bidang silvikultur pemulihan ekosistem dari Universiti Putra Malaysia tersebut melalui wawancara virtual, 31 Januari 2024.
Interogasi tunggal itu, ujar Ika, makin menekan mental Hunggul yang juga peneliti ahli utama di PREE. Saat dihubungi Tempo, 3 Februari 2024, Hunggul menolak menanggapi pertanyaan seputar polemik karya tulis ilmiah yang membuatnya terkena sanksi. “Maaf, saya tidak ingin lagi membahas itu,” ucap Hunggul, yang sebelum bergabung dengan BRIN merupakan peneliti konservasi tanah dan air di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo, Jawa Tengah.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko di Jakarta, Oktober 2022/TEMPO/Subekti.
Bukan hanya Hunggul, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko juga bungkam. Pesan dan surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke nomor telepon selulernya ataupun disampaikan melalui Biro Komunikasi Publik, Umum, dan Kesekretariatan BRIN tidak digubris. Kepala Biro Komunikasi Publik BRIN Driszal Fryantoni mengatakan substansi dan konten Majelis Etik merupakan informasi rahasia. “Karena menyangkut privasi para terperiksa,” ujarnya via WhatsApp, 2 Februari 2024.
Selain itu, Tempo menerima siaran pers BRIN tertanggal 5 Februari 2024. Ditegaskan oleh Kepala Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia Ratih Retno Wulandari, isu dugaan pelanggaran kode etik peneliti yang berkembang di media massa berawal dari aduan yang diterima BRIN. “Telah dilakukan sidang Majelis Etik dan Perilaku ASN dengan memanggil para pihak untuk klarifikasi. Telah diterbitkan pula keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian terkait dengan dugaan pelanggaran etik dan telah diserahkan kepada perwakilan penulis.”
Hunggul sebagai perwakilan penulis yang menjadi terperiksa lantas membuat jajak pendapat yang disebar di grup WhatsApp PREE. Jajak pendapat berjudul “Penyelesaian Chronicle” itu menawarkan tiga opsi, yaitu mematuhi dan menjalankan sanksi, menolak menjalankan sanksi, dan opsi lain untuk yang tidak mengambil sikap. Ketika polling ditutup pada 31 Januari 2024, ada 1 orang yang abstain, 109 memilih mematuhi, dan 3 menolak sanksi, termasuk Ika.
Menurut Ika, makalah setebal 62 halaman itu disusun oleh eks periset KLHK sebagai studi multidisiplin untuk menyokong kebijakan pemerintah. Dengan rekam jejak 23 tahun di KLHK, Ika berharap karya tulis itu bisa dijadikan referensi dalam pengambilan kebijakan. Publikasinya bahkan disponsori secara mandiri oleh penyandang dana yang juga veteran KLHK. “Publikasi ilmiah ini tidak merugikan BRIN sama sekali. Jadi apa dasar sanksi ini?” katanya.
Penyusunan makalah, Ika meneruskan, tidak ada sangkut-pautnya dengan keluaran kinerja minimal (KKM), walau tetap dikoordinasikan dengan kepala pusat riset sebagai atasan langsung. Menurut Ika, karya tulis itu tidak diklaim oleh para penulis sebagai bagian dari KKM. KKM yang diperiksa secara tahunan merupakan indikator vital untuk menilai kinerja pegawai BRIN. Kontrak tugas dibuat Kepala BRIN dengan kepala organisasi riset. Kemudian kepala organisasi riset meneruskan kontrak tugas itu ke pusat-pusat riset dengan target beragam.
Saat dimintai konfirmasi, Kepala PREE Anang Setiawan Achmadi memilih irit bicara. “Cukup di lingkup internal kami saja. Secara organisasi, saya sudah mengkoordinasikan (keputusan BRIN) dengan baik bersama penulis,” tuturnya. Anang bukan salah satu pembuat karya tulis ilmiah yang dipermasalahkan, tapi turut diganjar pemotongan tunjangan kinerja sebesar 30 persen. Pangkatnya sebagai kepala unit pun diturunkan setingkat selama setahun karena dianggap melakukan pembiaran.
Sanksi etik ini hanya berlaku bagi 121 penulis dari Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, yakni 112 peneliti PREE dan sembilan penulis dari Pusat Riset Zoologi Terapan. Adapun satu penulis masing-masing dari Pusat Riset Kependudukan, Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler, serta Pusat Riset Masyarakat dan Budaya tak menerima hukuman apa pun. “Padahal kontribusi kami setara,” ujar Subarudi dari Pusat Riset Kependudukan yang ikut menulis makalah itu.
Urusan kontribusi penulisan ini disebut-sebut menjadi biang kerok di balik hukuman etik terhadap penulis Chronicle—sebutan untuk karya tulis ilmiah yang bermasalah itu. Kesamaan peran penulis itu beberapa kali dibahas dalam rapat kalangan profesor riset yang diikuti Subarudi. Profesor bidang sosiologi kehutanan ini menduga ada pihak yang curiga terhadap jumlah penulis Chronicle. Beberapa penulis bisa saja dianggap hanya menumpang nama sehingga melanggar etika. “Pihak yang curiga ini yang mungkin membuat aduan,” tutur Subarudi.
Melalui surat terbuka yang disebarkan kepada pers, Subarudi mengungkapkan bahwa belum ada aturan baku tentang pembatasan penulis dalam suatu karya ilmiah. Ketentuan itu pun tidak ada dalam Surat Keputusan Kepala BRIN Nomor 198/I/HK/2023 yang berisi pedoman klasifikasi jurnal, prosiding, serta penerbitan buku ilmiah. Di dunia, kata Subarudi, banyak karya tulis ilmiah bereputasi tinggi yang dikerjakan oleh ratusan penulis. Rekor jumlah penulis dalam satu paper, dia melanjutkan, mencapai 5.154 periset, yaitu di jurnal Physical Review Letters edisi 15 Mei 2015.
Menurut Subarudi, pembagian kontribusi dalam sebuah karya tulis ilmiah lazimnya ditentukan sendiri oleh para penulisnya, bukan oleh lembaga mana pun. Penulis yang porsinya paling minim pun bisa dinyatakan berkontribusi penuh sesuai dengan kesepakatan bersama. Dengan fakta ini, dia menambahkan, alasan sanksi etik yang dikeluarkan BRIN makin buram. “Ini keputusan sewenang-wenang. Kemungkinan besar karena ketidaktahuan para manajer BRIN soal hal yang lazim itu,” ujarnya.
Penulis Chronicle lain yang tak mau diungkap identitasnya mengaku berani menjamin tak ada penulis yang sekadar menumpang nama. Meski basis idenya muncul dari Hunggul, semua periset mengikuti penyusunan makalah itu dari awal hingga final, setidaknya melalui rapat virtual. “Saya bisa menunjukkan persis bagian milik saya sejak draf awal sampai draf kompilasi,” ucapnya. “Chronicle tak akan diterima oleh Land bila masih membawa masalah kontribusi penulis.”
Sekretaris Dewan Pengawas Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) Agus Fanar Syukri menyatakan aduan tentang Chronicle tidak sampai ke lembaganya. Bahkan tak ada permintaan peninjauan dari manajemen BRIN. Padahal PPI merupakan organisasi profesi untuk periset dan akademikus lokal. “Artinya, BRIN menganggap kasus (Chronicle) itu masih di ranah kepegawaian. Tidak sampai ke kami yang mengurusi kode etik penelitian ilmiah,” ujar Agus.
Menurut Agus, Majelis Etik dan Perilaku ASN di BRIN bersifat independen sehingga tidak bisa dicampuri oleh PPI. Komposisi anggota majelis itu pun selalu berubah sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan dan hanya diketahui oleh pimpinan BRIN. Dari kasus-kasus sebelumnya, kata dia, Majelis Etik selalu berisi lima-tujuh orang. “Identitasnya sangat rahasia. Kalau ada yang membocorkan pun sudah termasuk pelanggaran etik,” tutur Agus.
Senada dengan Agus, Ketua Majelis Kehormatan Periset PPI Thomas Djamaluddin mengaku tidak tahu mengenai substansi pemeriksaan etik makalah Chronicle. Namun dia sempat menanyakan masalah itu kepada Laksana Tri Handoko. “Saya telah meminta konfirmasi kepada Kepala BRIN bahwa pelanggaran etik itu bukan karena jumlah penulisnya, tapi ada masalah pada proses penulisan dan penerbitannya,” kata Thomas via WhatsApp, 8 Februari 2024.
Peneliti Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan pendisiplinan etik dari BRIN belum didasari alasan yang jelas. Dari kacamata KIKA, Satria menuturkan, karya tulis ilmiah Chronicle tak terkait dengan fabrikasi, plagiarisme, serta praktik joki artikel alias ghost author. Riset itu pun lepas dari perkara pembiayaan yang tidak wajar. “Keputusan BRIN harus dikaji agar tindakan sewenang-wenang terhadap periset tidak terjadi,” ucapnya.
Menurut Satria, desakan penarikan karya tulis itu dari jurnal pun berpotensi menjadi pengekangan terhadap kebebasan karya ilmiah. Terlebih para penulis Chronicle tidak diberi hak jawab sebelum penjatuhan sanksi. Hal itu melanggar prinsip keempat Surabaya Principles on Academic Freedom yang ditetapkan pada 2017—kesepakatan yang dibangun untuk kebebasan akademik. “Harus ada kebebasan dalam produksi ataupun reproduksi ilmu pengetahuan.”
Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia Doddy Sukadri menilai persoalan prosedur karya tulis ilmiah bisa diperdebatkan secara ilmiah. Manajemen BRIN, kata dia, bisa membuka diskusi yang produktif ketimbang menjatuhkan sanksi secara sepihak. “Kalau ada metode yang salah atau informasi out of date, counter saja secara akademik,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sanksi Janggal Penulis Jurnal"