Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga ahli geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya menciptakan alat deteksi tsunami.
Alat itu dikembangkan sejak 2019 dan diberi nama Senopati.
Dibutuhkan biaya besar untuk uji coba berulang kali di lapangan.
INDONESIA merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tsunami. Fakta itu yang mendorong tiga ahli geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amien Widodo, Juan Pandu Gya Nur Rochman, dan Kharis Aulia Alam, menciptakan alat pendeteksi tsunami. "Saat ini masih berbentuk prototipe," ujar Amien, Rabu, 21 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendeteksi tsunami yang diberi nama Senopati atau Sepuluh Nopember Pendeteksi Awal Tsunami itu digagas pada 2019 lalu. Menurut Amien, prinsip kerja Senopati berkebalikan dengan tsunami warning system (TWS) yang dipasang pada pelampung (buoy) dan terhubung dengan sensor yang dipasang di dasar laut. Cara kerja sistem TWS adalah buoy terangkat secara otomatis bila terjadi gempa yang diikuti oleh naiknya permukaan air di tengah laut. Selanjutnya, sistem meneruskan informasi datangnya tsunami ke stasiun di daratan yang akan menyalakan sirene.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendeteksi tsunami TWS ini, kata Amien, punya sejumlah kekurangan. Di antaranya instrumen yang ada di buoy tersebut kerap copot dari cantolannya, kabelnya bisa putus atau mati sinyal terputus, dan bahkan alat ini kerap diambil orang untuk pelengkap memancing ikan atau diambil komponen-komponennya.
Senopati, kata Amien, dirancang untuk mengirim peringatan dini ketika air pantai surut dalam waktu yang lama. Surutnya air pantai, menurut Amien, karena tertarik ke tengah laut sebelum diempaskan ke daratan. "Nah, ketika air laut surut secara tidak wajar, waktunya lama, dan surutnya lebih dari satu meter, Senopati akan mengirimkan sinyal tanda bahaya ke sirene," ujarnya.
Infografis: Tempo/Djunaedi
Amien mengatakan prinsip yang digunakan pada refleksi gelombang diaplikasikan ke dalam dua sensor, yakni sensor ultrasonik dan sensor doppler. Sensor ultrasonik mampu mendapat jarak pemantulan gelombang dengan menggunakan prinsip time of light atau metode yang digunakan untuk mengukur jarak antara sensor dan obyek. Adapun sensor doppler memanfaatkan gelombang ultrasonik yang ditembakkan pada obyek dengan kemudian menghitung pergeseran frekuensi yang diterima sebagai nilai kecepatan benda bergerak.
Alat tersebut akan memunculkan warna merah dan buzzer menyala mengirimkan peringatan evakuasi saat mengidentifikasi adanya penurunan ketinggian air dengan cepat. Dalam penelitian ini parameter kecepatan surutnya air masih menggunakan nilai sintetis, belum menggunakan nilai asli. "Selama ini uji cobanya masih di laboratorium dengan prototipe kecil," ucapnya.
Senopati diyakini Amien lebih aman dari empasan gelombang ataupun pencurian karena dipasang menyatu dengan tebing. Selain itu, semua perangkat sensor dan pelampung dimasukkan ke dalam pipa. "Sensor optik akan membaca bila pelampung turun drastis akibat surutnya air pantai waktunya lama," katanya. Data yang ditangkap oleh sensor itu kemudian dikirim ke komputer secara nirkabel.
Penelitian ini, tutur Amien, juga dikembangkan untuk mendeteksi tsunami secara ganda, yaitu bila datangnya tsunami tidak disertai dengan tanda-tanda surutnya air laut. Sebab, kata Amien, dalam kasus-kasus tertentu tsunami juga bisa terjadi ketika air laut naik secara tiba-tiba. "Rencananya ke sana juga arahnya," tutur Amien.
Namun Amien mengakui, untuk menjadi sebuah pendeteksi tsunami yang siap pakai, jalan Senopati masih panjang. Alat ini harus melewati serangkaian uji coba lebih dulu untuk melihat kelebihan dan kekurangannya. "Untuk menguji coba, butuh biaya besar, karena harus pakai pipa yang besar-besar," katanya.
Amien telah mengajukan permohonan biaya penelitian itu ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pemerintah menganggarkan biaya Rp 100 juta untuk satu obyek penelitian. Namun biaya itu dirasa masih sangat kurang. Alokasi anggaran terbesar bukan pada pembelian alat-alatnya, melainkan untuk membiayai uji coba yang harus dilakukan berkali-kali. "Karena alat ini kan maunya untuk pendeteksi tsunami yang bisa bertahan sampai puluhan tahun," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo