Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri 23 Kota Malang, Jawa Timur, membuat smart digester untuk memproses sampah organik yang ada di lingkungan sekolah mereka. Dengan alat itu, mereka bisa mengatasi masalah lingkungan dan tak lagi terganggu oleh aroma busuk yang biasa muncul selama proses pembuatan kompos dari limbah organik.
Pengolah sampah organik itu dibangun oleh Niken Ayu Inazah, Ferdy Wildan Pratama, Alviatus Salama, Devy Audytiarahma, dan Diva Try Syafielia. Berkat smart digester, mereka mengantarkan sekolahnya menjuarai Green School Festival (GSF) 2018 pada 22 Oktober lalu. Itulah gelar pertama yang diraih sekolah tersebut sejak mengikuti GSF pada 2014.
Menurut Ferdy, ide membuat smart digester muncul karena mereka resah terhadap sampah yang menumpuk di Pasar Induk Gadang, yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Selain itu, sampah daun banyak bertebaran di sekolah. Selama ini sampah organik di sekolah itu diolah dengan composter yang terbuat dari drum plastik.
Masalahnya, proses membuat kompos itu menghabiskan waktu lama. Setidaknya diperlukan waktu dua bulan. Proses biodegradasi bahan organik itu juga menimbulkan bau yang menyengat. ”Baunya mengganggu saat proses belajar,” kata Ferdy, Rabu pekan lalu.
Ferdy dan timnya mencari referensi mengenai composter dari berbagai jurnal ilmiah. Para pelajar itu juga berkonsultasi dengan tenaga ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Budi Slamet Cahyono. Akhirnya mereka mendapatkan rancangan alat pengolah sederhana tapi efektif.
Mulanya ide smart digester ini diikutkan dalam kompetisi Indonesian Science Project Olympiad 2018. Namun proposal itu tak lolos seleksi. Mereka justru menyabet medali emas untuk kategori lingkungan di Indonesian Invention and Innovation Promotion Association di Bali pada September lalu.
Desain smart digester dirancang sederhana dengan memanfaatkan kaleng bekas cat tembok 25 kilogram, baskom, serta pipa-pipa polivinil klorida (PVC) berdiameter 5 sentimeter dan 2,5 sentimeter. Panjang pipa disesuaikan dengan tinggi kaleng dan lebar kaleng. Adapun baskom diberi lubang-lubang kecil untuk memisahkan kompos dengan pupuk cair. Seluruh proyek ini menghabiskan anggaran sebesar Rp 500 ribu.
Smart digester dilengkapi dengan sensor tingkat keasaman (pH) yang dihubungkan dengan pengendali Arduino Mikro dan perangkat lunak untuk menerjemahkan data yang diterima dari sensor. Arduino dihubungkan dengan komputer jinjing untuk memantau kadar pH sebagai penentu kompos siap atau matang. Kompos dikategorikan baik jika dalam kisaran kadar pH 5-7.
Proses pembuatan kompos ini juga melibatkan arang aktif, yang berfungsi mengendalikan bau. Campuran limbah organik dan arang di dalam composter itu kemudian disemprot dengan bahan aktivator effective microorganisms 4 (EM4) yang dibuat sendiri menggunakan campuran nasi basi, air cucian beras, dan gula.
Hasil kombinasi sampah organik, arang, dan EM4 itu kemudian difermentasi. Dalam dua pekan, proses pembuatan kompos sudah selesai. Selain menghasilkan kompos, smart digester menghasilkan pupuk cair dan biogas.
Tim menghabiskan enam bulan untuk riset dan pembuatan alat ini. Smart digester mudah diproduksi massal dan digunakan untuk skala rumah tangga. Menurut Ferry Ardianto, guru yang mendampingi tim, alat tersebut akan dikembangkan untuk produksi kompos dalam jumlah besar. Tujuannya mengatasi masalah sampah organik di lingkungan sekolah. ”Sudah disampaikan ke dinas pendidikan,” ujarnya.
EKO WIDIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo