Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Mengapa Gunung Padang Diragukan Jadi Piramida Tertua?

Arkeolog mancanegara menyangsikan situs Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia. Penerbit jurnal melakukan investigasi.

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Makalah penelitian situs Megalitikum Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, yang terbit di jurnal Archaeological Prospection harus menjalani investigasi.

  • Penerbit jurnal, John Wiley & Sons Inc, menilai makalah yang disusun Danny Hilman Natawidjaja dan tim memiliki kesalahan besar.

  • Penerbit jurnal menerima protes dari sejumlah ahli mancanegara yang menilai klaim situs Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia tidak didukung bukti kuat.

SURAT elektronik dari kantor Jaminan Integritas dan Penyelesaian Kasus penerbit John Wiley & Sons Inc tertanggal 1 Desember 2023 itu membuat Danny Hilman Natawidjaja terkejut. Profesor riset Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu tak menyangka penelitiannya ihwal situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, sebagai piramida tertua di dunia berumur 16 ribu tahun, yang terbit di jurnal milik Wiley, harus menjalani investigasi. Wiley menilai makalah Danny memiliki major error alias kesalahan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Danny menganggap aneh bila makalah yang terbit di Archaeological Prospection pada 20 Oktober 2023 itu dinilai mengandung kesalahan besar. “Setahu kami, tak pernah ada major error karena kesalahan metode atau interpretasi di makalah,” ucap Danny yang ditemui di kawasan Antapani, Bandung, 16 Januari 2024. “Biasanya kesalahan besar itu terkait dengan plagiat, pemalsuan atau fabrikasi data, pengambilan data tanpa izin, atau mempresentasikan data yang sudah dipublikasikan,” tutur Danny.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keanehan perihal alasan penerbit menggelar investigasi, yang disebutkan sesuai dengan pedoman Komite Etika Publikasi, membuat Danny mengirim surat balasan dua hari kemudian. Danny meminta klarifikasi dari Wiley apakah investigasi itu termasuk kategori kritik pascapublikasi atau perselisihan ilmiah. Dalam balasannya tertanggal 5 Desember 2023, Wiley menyatakan investigasi itu tidak memiliki bukti pelanggaran etika. Penyelidikan ini, menurut dia, dilakukan karena ada ahli di luar Wiley yang menyebutkan makalah itu memiliki kesalahan besar.

Ada empat poin yang dipersoalkan para ahli anonim yang disebut Wiley sebagai ahli A, B, C, dan D itu. Pertama, para ahli mengkategorikan pengamatan visual sebagai imajinasi dan dugaan. Kedua, mereka menganggap tim peneliti menyalahgunakan penanggalan radiokarbon. Ketiga, sampel tanah tidak mengandung artefak terkait sehingga penanggalan hanya menentukan umur bahan alami pembentuk tanah. Keempat, penanggalan disangsikan akurasinya karena dinilai sulit untuk ditentukan.

Pos ekskavasi situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, September 2014. TEMPO/Prima Mulia

Menurut Danny, sangat jarang terjadi investigasi yang digelar karena ada beberapa ahli yang tidak sepaham terhadap publikasi riset. Lazimnya para ahli yang tidak sepaham itu menulis makalah tandingan dan mengomentari atau membantah artikel di jurnal yang sama tanpa memprotes ke editor. Isu investigasi makalah itu membuat Danny dan tim menjadi sasaran kritik para arkeolog dan hujatan publik. Yang lebih parah, rencana investigasi sudah bocor ke media sebelum tim mendapat pemberitahuan resmi dari penerbit.

Tim peneliti, Danny menerangkan, pertama kali mengetahui kabar soal investigasi itu dari pertanyaan seorang jurnalis media luar negeri dan membaca tulisannya pada akhir November 2023. Editor jurnal baru mengabari tim ihwal investigasi sepekan kemudian. “Kami kaget, mengira itu bohong-bohongan. Masak, investigasi yang belum dilakukan sudah dibocorkan ke media. Etikanya di mana?” ujar Danny, yang meneliti sumber gempa dan tsunami di Sumatera sejak 1992 sebagai tesis doktoralnya di California Institute of Technology, Amerika Serikat. 

Tim merasakan kejanggalan soal investigasi makalah piramida Gunung Padang. Pasalnya, menurut Danny, editor ataupun para ahli yang mengkritik makalah memiliki major error tanpa alasan ilmiah yang jelas. “Hemat kami, jurnal melakukan pelanggaran etika,” tuturnya. Tim menyarankan penerbit mempublikasikan tanya-jawab antara tim dan para ahli yang mengkritik agar bisa disimak publik. Hampir dua pekan sejak tenggat 8 Januari 2024, tim masih menunggu kabar tentang nasib makalah yang diinvestigasi. 

Danny menjadi koordinator Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang meneliti situs Megalitikum Gunung Padang selama Oktober 2011-2014. TTRM terdiri atas geolog Andang Bachtiar sebagai ketua tim pengebor; ahli fisika Institut Teknologi Bandung, Bagus Endar B. Nurhandoko, ketua tim seismik tomografi; dan arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar, ketua tim arkeologi. Adapun anggotanya adalah Pon Purajatnika, Mudrik R. Daryono, Dadan D. Wardhana, Andri S. Subandriyo, Andi Krisyunianto, Taqyuddin, Budianto Ontowiryo, dan Yusuf Maulana. 

Sebagian temuan dan perkembangan riset TTRM itu telah dipublikasikan. Misalnya lewat buku berjudul Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi yang ditulis Ali Akbar dan terbit pada 2013. Tim juga memaparkannya di Borobudur Writers & Cultural Festival 2015 di Yogyakarta. Makalah “Evidence of large pyramid-like structure predating 10,000 year BP at Mount Padang, West Java, Indonesia” juga dipresentasikan dalam Pertemuan Musim Gugur American Geophysical Union 2018 di Washington, DC, Amerika Serikat. 

Sementara itu, versi lengkap hasil riset dituangkan dalam makalah yang aksesnya terbuka di situs onlinelibrary-wiley-com. Tim harus membayar sekitar US$ 4.000 agar hasil risetnya bisa dibaca publik secara gratis. “Kami yang mengganti biaya publikasinya,” kata Danny. Menurut Danny, tim memerlukan waktu untuk mengolah dan menganalisis berbagai data, selain karena kesibukan anggota tim masing-masing. Pembuatan rancangan makalah dimulai pada awal masa pandemi Covid-19.

Dalam penulisan makalah, tim menggaet Graham Hancock sebagai korektor. Alasannya, Danny menjelaskan, Hancock penutur asli bahasa Inggris dan penulis yang andal. Selain itu, Hancock mengenalkan situs Gunung Padang dalam seri dokumenter Ancient Apocalypse di Netflix yang dirilis pada 2022. Awalnya, makalah itu dikirim ke Quaternary Science Review pada September 2022, tapi dianggap kurang cocok dengan ruang lingkup jurnal tersebut. 

Pada Oktober 2022, tim lantas menjajal jurnal Geoarchaeology dan Science and Technology of Archaeological Research (STAR). Tapi sebulan kemudian mereka mendapat surat elektronik dari editor yang memberitahukan bahwa paper itu kurang sesuai untuk jurnal STAR. Balasan senada juga datang dari Geoarchaeology pada November 2022. Archaeological Prospection, jurnal yang terkait dengan arkeologi dan sejarah, menerima naskah tim pada 14 Desember 2022.

Tim, Danny berujar, menunggu cukup lama hingga mendapat banyak pertanyaan dari tim reviewer via editor jurnal pada 1 Maret 2023. “Kami bikin revisinya sebulan lebih. Kami ingin cepat publish juga,” tuturnya. Setelah itu, tim menerima lagi banyak pertanyaan lanjutan dari pengulas. Menurut Danny, tim reviewer itu berjumlah tiga orang, Peter Lanzarone dan dua orang lain yang anonim. “Kalau yang paling banyak komentar itu Peter Lanzarone,” ucapnya.

Danny bercerita, sementara dua reviewer anonim menyampaikan sekitar lima pertanyaan, Lanzarone bisa mengajukan hingga 20 pertanyaan. Danny mengaku tidak mengenal ahli geologi-geofisika dari Amerika Serikat itu. Proses revisi sebanyak dua kali itu memakan waktu hingga sembilan bulan. Tim editor jurnal dan reviewer kemudian memutuskan makalah riset piramida Gunung Padang sudah layak dipublikasi. Tim mendapat kabar itu via e-mail pada 15 September 2023. 

Foto udara situs Megalitikum Gunung Padang dan rekonstruksi piramida.

Menurut anggota tim, Ali Akbar, jurnal Archaeological Prospection dinilai terkenal dan tergolong kelas berat dengan kategori Q1. Soal kredibilitas jurnal itu juga diamini Lutfi Yondri, 58 tahun, arkeolog yang juga meneliti situs Gunung Padang sejak 1997 tapi tidak masuk TTRM. “Kenapa tulisan itu sekarang akan ditinjau? Bisa jadi ada keteledoran dari reviewer untuk meloloskan tulisan,” kata peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN itu. 

Data verifikasi yang disampaikan TTRM, menurut Lutfi, tidak mendukung makalah yang luar biasa itu. “Tak ada satu pun jejak atau bukti budaya bahwa mereka telah mengenal teknologi batu untuk menghasilkan konstruksi yang besar,” tutur Lutfi di Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, Bandung, 21 Januari 2024. Dia menerangkan, budaya konstruksi batu di Nusantara dibawa oleh masyarakat Austronesia. Angka penanggalan budaya dari situs-situs konstruksi batu ini kurang dari 500 tahun sebelum Masehi. 

“Maka sangat sulit dicari bukti budayanya kalau konstruksi yang terkubur di Gunung Padang itu ada sejak 16 ribu atau 27 ribu tahun sebelum Masehi,” ucap Lutfi, yang mulai berkenalan dengan situs itu pada 1984 ketika kuliah kunjungan sebagai mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Ihwal asal-usul batu, Lutfi melakukan survei. Merujuk pada cerita warga, batunya berasal dari Tegalwatu, kemudian dipahat di Ciukir, dan dicuci di Kampung Empang sebelum dibawa ke Gunung Padang. “Saya enggak lihat ada sisa pengolahan batu di lokasi-lokasi itu.” 

Menduga batu berasal dari lokasi situs itu sendiri, Lutfi kemudian melakukan penggalian pada Teras-1 sampai Teras-4 untuk pembuktian. “Saya menemukan sisa arang yang kemudian saya jadikan sampel untuk analisis penanggalan budaya punden berundak Gunung Padang,” ucap Lutfi. Ekskavasi itu tidak menemukan bukti kuburan seperti yang diduga Rogier Diederik Marius Verbeek—yang pertama kali mengungkap situs Gunung Padang pada 1891—dan Nicolaas Johannes Krom. 

Arang itu, Lutfi menambahkan, berasal dari kayu yang terbakar pada masa lalu. Lokasi penemuannya di bawah susunan dinding teras. Selain itu, ditemukan pula pecahan tembikar. Menurut dia, berdasarkan analisis penanggalan di laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional, arang temuan di Teras-1 itu berangka 117 tahun sebelum Masehi dan di Teras-4 berangka 45 tahun sebelum Masehi. “Arang itu satu konteks, satu keletakan, satu asosiasi, dan satu struktur teras atau susunan batu.”

Lutfi mengungkapkan, batu berasal dari Gunung Padang sendiri, yaitu bagian dari kekar kolom yang tampak berbeda dengan susunan punden berundak di Teras -1. “Ada di balik dinding antara Teras-1 dan 2, lalu muncul sebagian lagi di Teras-2 dan Teras-3,” ujar Lutfi, yang salah satu penelitiannya tentang situs Gunung Padang dipublikasikan di Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi pada 2013. Balok-balok batu itulah yang kemudian dibongkar atau ditambang dan disusun menjadi bagian setiap teras. 

Ihwal piramida di Gunung Padang, Lutfi mengatakan, Indonesia tidak mengenal budaya piramida. Secara matematika, piramida adalah bentuk bangun segitiga yang memangkas bidang segi empat dan sama di semua sisi. “Enggak bisa diistilahkan piramida terpancung,” ucapnya. Lutfi lebih memilih istilah punden berundak untuk konstruksi Gunung Padang. Bangunan seperti itu bentuk dan bahannya beragam serta tersebar di berbagai lokasi di dunia sebagai tempat upacara. 

Istilah piramida di Gunung Padang, menurut ketua tim arkeologi TTRM Ali Akbar, digunakan karena bentuk bangunan bertingkat buatan manusia itu berbentuk kerucut ke atas. “Persis berbentuk piramida atau tidak itu enggak jadi soal. Yang penting bawahnya lebih lebar dibanding atasnya, itu disebut piramida,” kata Ali saat dihubungi pada 19 Januari 2024. Adapun punden berundak dinilainya sebagai sebutan lokal, sedangkan istilah internasionalnya adalah piramida.

Ali mengatakan pihak lain tak bisa mengomentari makalah piramida Gunung Padang sebelum melakukan penelitian. “Kenapa ini jadi ada komentar? Karena tak ada perbandingannya. Ini sesuatu yang baru,” ucapnya. Secara kaidah keilmuan, untuk membuktikan hasil riset mereka, pihak lain harus melakukan penelitian berikutnya. Untuk membantah, peneliti lain harus masuk ke kedalaman penggalian yang sama. Ali mengaku tim telah menggali sedalam 4-11 meter. “Yang jadi kontroversi itu kedalaman 6-11 meter. Belum ada tim lain yang melakukan itu.” 

Ali menuliskan sebagian temuan dalam bukunya. Buku itu membahas situs Gunung Padang secara umum, riwayat penelitian, dan Lapisan 1 dan 2 yang ada sejak 5.700 tahun sebelum Masehi. Lapisan 3 yang bertarikh sekitar 14 ribu tahun dan Lapisan 4 yang ada sejak sekitar 20 ribu tahun sebelum Masehi belum ditulis karena analisis datanya belum penuh. Umur lapisan yang beragam itu, kata Ali, diketahui dari pengeboran. Misalnya lapisan tanah berumur seribu tahun, kemudian batu berumur 5 juta tahun, serta tanah yang ada sejak 8.000 tahun lalu hingga 20 ribu tahun sebelum Masehi. 

Menurut dia, tanah di lapisan situs Gunung Padang diangkut dari tempat lain. Faktor yang membuatnya yakin soal tanah urukan itu berasal dari parit penggalian di kedalaman 10 meter pada Teras-5 yang paling atas. Di sana, dia dan tim bertemu dengan bebatuan yang bentuknya bulat seperti batu di sungai. Beda ketinggian sungai terdekat, yaitu Cimanggu di bagian utara situs, dengan Teras-5 sekitar 200 meter. “Artinya, batu bulat itu sengaja dibawa orang,” ujar Ali.

Batu bulat yang dipindahkan itu, menurut dia, tergolong artefak karena ada campur tangan manusia pada benda alami tersebut. Artefak lain, yaitu di Lapisan 2, berupa kerak logam sisa pembakaran di Teras-2 pada sisi timur. “Logamnya apa, belum tahu. Bentuknya seperti gumpalan,” tuturnya. Adapun arangnya yang selalu dicari arkeolog untuk penanggalan karbon, berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium, diketahui berangka 5.700 tahun sebelum Masehi. 

Adapun batu kekar kolom, Andri S. Subandriyo menuturkan, biasa terdapat pada kompleks gunung api purba. Batuan itu berasal dari lava yang mengalir dengan kandungan basal-andesitik sehingga tidak terlalu encer ataupun kental. Dosen teknik geologi Institut Teknologi Bandung itu mengatakan batuan kekar kolom akan berdiri tegak lurus dengan arah aliran lava. Posisi tegak itu, menurut Andri, terjadi karena lava mengalami kontraksi.    

Andri mengungkapkan, batuan seperti itu pernah ia temukan di selatan Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur; Sindangkerta dan Lagadar di Cimahi, Jawa Barat; serta Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sementara itu, di Gunung Padang, dia melihat batuan kekar kolom yang unik. “Perbedaannya, batu kekar kolomnya kemungkinan besar telah ditambang, dipindahkan, kemudian disusun oleh manusia purba,” ucapnya, 22 Januari 2024. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sangsi Piramida Gunung Padang"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus