Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Jeremias Nyangoen: Yang Bertumpu pada Fisiognomi dan Pemeranan

Dunia teater mematangkan Jeremias Nyangoen dalam menggodok pemeranan. Mengantarkannya menjadi Sutradara Pilihan Tempo.

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jeremias Nyangoen terpilih menjadi sutradara pilihan dalam Film Pilihan Tempo 2023.

  • Film Women from Rote Island menyuarakan isu kekerasan seksual dan buruh migran.

  • Dunia teater mematangkan penyutradaraan Jeremias Nyangoen.

TAK mudah menemukan, menggerakkan, dan mengarahkan aktor dan aktris yang sebagian besar belum pernah berkecimpung di dunia film dalam sebuah cerita. Apalagi ceritanya adalah tema yang cukup berat serta diangkat dari kisah nyata mengenai banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan. Tapi Jeremias Nyangoen membuktikan diri dapat berkibar lewat Women from Rote Island tanpa nama-nama aktor dan aktris besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jeremias tak hanya menulis sendiri naskah film yang hingga menjelang syuting pun masih direvisi. Dia juga menyutradarai film yang mengambil lokasi di Rote, Nusa Tenggara Timur, itu. Dunia seni peran dan teater yang lama digelutinya menjadi bekal Jeremias menggarap film yang mengangkat tema kekerasan terhadap seksual dan buruh migran tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Women from Rote Island adalah film pertamanya sebagai sutradara. Namun sebelumnya pria yang lahir di Pontianak, 29 Juni 1969, ini telah berkecimpung di dunia layar lebar. Ia pernah menjadi aktor dan penulis naskah atau skenario di beberapa layar lebar dan layar kaca. Ia bahkan meraih Piala Citra 2006 sebagai Penulis Skenario Terbaik lewat film Denias, Senandung di Atas Awan.

Ide cerita Women from Rote Island lahir dari pengalaman pribadi Jeremias melihat kekerasan seksual yang menimpa seseorang dengan gangguan jiwa hingga dia hamil tak jauh dari kompleks rumahnya. Keprihatinan itu bersambut ketika muncul tawaran membuat film di tanah Rote dan menemukan fakta tingginya angka pelecehan dan kekerasan seksual serta isu buruh migran yang memprihatinkan. Di wilayah ini banyak sekali korban pelecehan dan kekerasan yang berakhir dengan kecacatan, gangguan kejiwaan, dan bahkan kematian.

Demikian pula pada buruh migran. Perempuan-perempuan di Nusa Tenggara Timur berjibaku di negeri orang tanpa bekal yang memadai. Di sana, mereka pun mendapat nasib malang, seperti penyiksaan secara fisik, hak ekonomi yang dilanggar, serta fisik dan mental yang tak lagi sehat. Banyak pula kasus bagian tubuh hingga organ dalam yang luka atau hilang. Tak jarang para buruh migran pulang dalam peti mayat. Dengan data dan kasus ini, Jeremias menyusun naskah yang ia garap hampir dua tahun. “Tapi saya tak ingin membuat film seperti teman-teman aktivis soal human trafficking,” ujarnya.

Jeremian Nyangoen, sutradara film Woman from Rote Island. Tempo/Jati Mahatmaji

Ia mengakui tak mudah mendapatkan para pemain yang berakting di film ini. Bersama asisten dan pencari bakat, Jeremias membuka audisi dan turun langsung mencari calon pemain. Setelah para calon pemain terseleksi, dia memantapkan mereka. Lahir dari rahim teater, dia sendiri yang menulis skenario karena tahu betul yang diinginkan. “Saya percaya proses, percaya dengan casting. Setidaknya proses ini 60-70 persen meringankan kerja sutradara,” ucapnya kepada Tempo.

Setelah terpilih sesuai dengan peran, para pemain menjalani semacam penggemblengan secara intensif oleh pelatih peran. Sejak pagi hingga malam, hampir setiap hari mereka berlatih vokal, peran, hingga penghayatan. Selama mereka berproses, Jeremias pun ikut mengisi “perasaan” para pemain serta memantau dan melihat mana yang masih kurang dan yang berlebih.

“Jadi saya tinggal urus mental dan psikologisnya,” tuturnya. Ia sangat mempercayai fisiognomi dan psikologi dalam membentuk dan mengarahkan para aktor dan aktris lokal Nusa Tenggara Timur yang hampir 99 persen belum pernah berurusan dengan dunia peran tersebut. Mereka juga bukan anak-anak teater, kecuali dua orang yang pernah ikut syuting iklan dan film serta satu pelatih akting yang akhirnya ikut bermain. Mereka adalah Van Jhoov (pemeran Damar), Putri Moruk (pemeran Koba), dan Norman Akyuwen (pemeran Abe).

Untuk tokoh Orpha (Merlinda Dessy Arantji Adoe), Jeremias lebih intensif menggali secara personal melalui wawancara mendalam agar Merlinda betul-betul menghayati karakter yang dimainkan. Tokoh Orpha adalah ibu tunggal yang baru ditinggalkan mati suaminya dengan dua anak gadis yang mengalami nasib nahas dalam waktu bersamaan. Ia harus menghadapi peristiwa-peristiwa berat dalam adegan yang subtil dan menghunjam nurani. Adat istiadat makin menekan hidupnya. Mengalami hidup yang berat, Orpha tetap muncul sebagai perempuan yang berdaya dan tak menyerah.

Ihwal Irma Novita Rihi, pemeran Martha, Jeremias butuh waktu agak panjang untuk menajamkan penghayatannya. Tapi, dari penglihatan Jeremias, mata Irma yang seperti selalu berkaca-kaca dan sifat yang introver memudahkan Jeremias menuntun karakter Martha. “Setelah ngobrol panjang, menggali lebih dalam hidup dia, saya arahkan ke poin center dan masukkan dengan dialog,” katanya.

Jeremias Nyangoen memberi instruksi kepada pemain Woman from Rote Island. Dok. Woman From Rote Island

Jeremias mengemas data, fakta, dan pengalaman beberapa korban yang tak sengaja ia temui menjadi sebuah rangkaian narasi yang dilakonkan para pemain. Ia mencontohkan ketika tak sengaja melihat seorang perempuan di pantai tengah mengobrol bersama perempuan lain. Tiba-tiba perempuan tersebut berjalan menuju laut, melepas baju, dan masuk ke air. Setelah itu, perempuan tersebut keluar begitu saja dari air dan mengenakan kembali bajunya tanpa menghiraukan sekelilingnya dan berjalan menjauh. Penasaran akan hal itu, Jeremias berusaha mengulik informasi mengenai perempuan tersebut. Rupanya, perempuan itu pun salah satu korban kasus buruh migran yang mengalami gangguan jiwa.

Dia berhasil merangkai pengalaman-pengalaman dan data itu dalam sebuah cerita yang menggedor sejak awal. Cerita disajikan melalui mata kamera yang merekam akting para pemerannya yang telah diarahkan sedemikian rupa. Pengalaman tumbuh di dunia teater dan berguru kepada sejumlah tokoh teater dan film, seperti Putu Wijaya, Didi Petet, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Sena Utoyo, dan Tatiek Maliyati, membantu mematangkannya. Ia juga berinteraksi dengan Hanny R. Saputra, Arya Kusumadewa, Riri Riza, Chand Parwez, Ari Sihasale, dan Nia Zulkarnaen. Dia pun bertemu dengan produser nekat seperti Rizka Shakira. Hasilnya, Women from Rote Island diapresiasi banyak pihak.

Meski hampir semua pemain adalah orang lokal, mereka berasal dari daerah yang berbeda, seperti Sabu, Rote, Atambua, Alor, dan Kupang. Ada pula yang dari Maluku. Dari perbedaan daerah, Jeremias menjelaskan, ada sedikit-banyak dialek yang berbeda. Ia tak ingin bahasa lokal ini menghilangkan dialek Rote. Karena itu, para pemain pun dilatih menguasai bahasa setempat. “Karena ini menyangkut pertanggungjawaban saya. Saya takut sekali dianggap menggampangkan. Lebih baik ambil pemain lokal,” tuturnya. Tak mau kecolongan, dari proses produksi hingga pengambilan gambar, ia memperlihatkan orang-orang lokal untuk menjaga bahasa atau dialek di sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Bertumpu pada Fisiognomi dan Pemeranan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus