Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGUNDAHAN meliputi Defri Elias Simatupang lantaran keputusan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko memindahkan peneliti yang tersebar di daerah ke pusat riset masing-masing. Peneliti di Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan itu selama ini berkantor di Kawasan Kerja Bersama (KKB) Naniek Harkantiningsih di Medan, Sumatera Utara. Awal tahun depan, tempat kerjanya mesti berpindah ke Kawasan Sains Gatot Soebroto, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Defri, arahan itu sangat mempengaruhi kinerja penelitian yang dia bangun sejauh ini. Doktor dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara itu menekankan bahwa keberadaan para peneliti di daerah sangat penting untuk menjaga relevansi riset dengan konteks lokal. “Kalau sudah di pusat, sulit, lah. Enggak mungkin kami naik pesawat bolak-balik ke daerah,” kata Defri melalui WhatsApp, Senin, 4 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika berada di Medan, Defri dengan mudah mengunjungi situs-situs prasejarah Sumatera Utara dan berinteraksi dengan pemangku kepentingan lokal. Bila ia ke Jakarta, kepindahan menuju lokasi penelitian akan membutuhkan biaya besar dan waktu lebih lama. Selama ini ihwal logistik penelitian yang tidak praktis itu bisa dia atasi karena lokasi riset yang dekat dengan domisili.
Masalah Defri bukan hanya jarak. Anggaran penelitian pun kian seret. Di bawah struktur BRIN, dana riset harus diperjuangkan melalui kompetisi dan jumlahnya tidak selalu cukup untuk mendanai proyek. “Kalau kalah kompetisi, ya harus cari sponsor. Selama ini kami masih bisa dapat dana dari pemerintah daerah,” tuturnya. “Tapi, kalau kami dipindahkan ke pusat, bisa ditinjau ulang. Bahkan tak tertutup kemungkinan diputus.”
Pemindahan peneliti dengan alasan agar dekat dengan laboratorium juga ia pertanyakan. “Tidak semua peneliti memerlukan akses ke laboratorium pusat,” ujarnya. Bagi periset arkeologi seperti Defri, laboratoriumnya adalah masyarakat dan situs arkeologi. Penyeragaman kebutuhan riset ini, dia menambahkan, mengabaikan kenyataan itu dan bertentangan dengan efisiensi kolaborasi jarak jauh yang sudah efektif tiga tahun terakhir.
Pemicu keresahan Defri dan para periset di daerah itu berawal dari arahan Kepala BRIN dalam apel Senin pagi, 7 Oktober 2024. Arahan Laksana itu menyangkut kebijakan penataan sumber daya manusia yang berbasis pangkalan unit kerja. Disampaikan pula opsi, jika menolak arahan tersebut, yakni pindah ke BRIN daerah, peneliti kembali ke kementerian atau lembaga asal dengan alih jabatan fungsional selain periset atau mundur sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Dasar kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Nomor 238/I/HK/2024 tentang Sistem Kerja di Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Gelombang protes terhadap kebijakan sentralisasi periset itu terus meluas. Tempo menerima foto-foto sejumlah peneliti dari KKB berbagai daerah, seperti Purwodadi, Jawa Tengah, serta Medan, Manado, dan Makassar, yang melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan.
Kegaduhan ini bukan pertama kali terjadi. Sejak dibentuk pada 2021, BRIN berulang kali diguncang masalah, dari pengalihan penelitian dari kementerian dan lembaga yang tak mulus hingga kebijakan manajemen yang dinilai sarat persoalan. Pada 2022, misalnya, pengalihan ribuan peneliti yang berada di 919 unit riset pada 74 kementerian dan lembaga ke BRIN disimpulkan melanggar prosedur. Ombudsman Republik Indonesia saat itu menemukan maladministrasi dalam proses penggabungan berbagai lembaga riset ke BRIN.
BRIN juga dinilai tidak siap menerima pengalihan pegawai karena banyak peneliti yang tidak dapat melaksanakan riset akibat terhambat masalah aset, struktur organisasi, dan anggaran. Alokasi anggaran manajemen dan infrastruktur BRIN saat itu juga jauh lebih besar dibanding kegiatan penelitian. Seorang peneliti BRIN mengungkapkan, anggaran riset pada 2022 hanya Rp 263,7 miliar dari total anggaran Rp 6,09 triliun.
Kebijakan-kebijakan BRIN yang terus berubah, termasuk pemindahan periset ke homebase, membuat para peneliti tidak bisa bekerja maksimal. “Justru yang membuat kami tidak bisa bekerja dengan baik itu aturan-aturan yang selalu berubah di BRIN,” demikian keluhan seorang peneliti.
Di KKB Denpasar sempat terjadi pertemuan dadakan antara Laksana dan seratusan pegawai BRIN pada Rabu, 30 Oktober 2024. Pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu dilakukan setelah Kepala BRIN menghadiri acara di Universitas Udayana dan menyempatkan diri berkunjung ke KKB BRIN Denpasar. Salah satu peneliti yang mengikuti pertemuan itu mengaku bingung atas tujuan pemindahan tersebut.
Di hadapan sekitar seratus peserta pertemuan, Laksana mengemukakan alasan kebijakan yang dinilai kurang memadai oleh para peneliti itu. Dia menekankan perlunya keberadaan fisik peneliti di pusat riset untuk memperkuat pusat keunggulan (center of excellence) serta mengklaim ada penyalahgunaan sistem work from anywhere (WFA). “Kami siap kok untuk work from office lima hari kerja seperti kantor pada umumnya. Tapi itu tidak diterima,” kata peneliti yang menolak namanya dicantumkan tersebut.
Beberapa peneliti menegaskan bahwa keberadaan mereka di daerah bertujuan mendekatkan riset dengan masyarakat dan obyek penelitian serta memungkinkan kolaborasi yang lebih efektif. Kebijakan sistem WFA justru memungkinkan peneliti berperan nyata bagi masyarakat. “Tapi, menurut Laksana, kontribusi yang bisa dilakukan dari daerah itu kecil. ‘Kalau mau kontribusinya besar ya harus ada di pusat’.”
Peneliti senior Pusat Riset Teknologi Daur Bahan Bakar Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN, Djarot Sulistio Wisnubroto, menilai kebijakan baru tersebut justru memperburuk efektivitas kerja. Ia menggambarkan keresahan para peneliti nuklir di Bandung dan Yogyakarta yang terpaksa pindah ke pusat riset di Serpong, Banten. Padahal ada reaktor nuklir yang tetap perlu dioperasikan. “Reaktor riset di Yogya dan Bandung itu juga laboratorium,” ucap Kepala Badan Tenaga Atom Nasional 2012-2018 tersebut.
Kegelisahan di tubuh BRIN bertambah akibat kebijakan perampingan jumlah pegawai di tingkat direktorat. “Jadi misalnya di suatu reaktor nuklir ada seratusan pegawai, nanti tinggal puluhan pegawai. Informasinya hanya segitu,” ujar Djarot, mengungkapkan ketidakpastian yang menyelimuti kebijakan ini. Djarot menjelaskan, informasi di lingkungan internal BRIN sering kali disampaikan secara sepihak. “Di bawah enggak bisa bertanya. Pokoknya ikuti. Kalau protes, tunjangan dipotong.”
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengklaim kebijakan ini sebagai tahap akhir transisi lembaga. “Teman-teman eks kementerian/lembaga dalam dua tahun terakhir masih diberi kesempatan tetap di domisilinya sembari diberi waktu untuk memilih, apakah bergabung ke lokasi pusat riset atau mutasi ke pemerintah daerah di wilayahnya,” tuturnya ketika dihubungi Tempo, Senin, 14 Oktober 2024.
Sementara itu, opsi mundur ASN, Laksana mengimbuhkan, merupakan pilihan normatif. “Karena, sesuai dengan ketentuan ASN, sejak awal telah bersedia ditempatkan di mana saja,” ucapnya. Laksana menekankan bahwa lokasi penugasan para periset memang di pusat riset masing-masing seperti yang sudah ditetapkan. “Domisili saat ini hanya transisi dan tidak ada lab yang memadai,” ujarnya.
Kepala BRIN itu melanjutkan, surat keputusan menetapkan para periset ditempatkan di pusat-pusat riset masing-masing. Sedangkan mekanisme WFA diberlakukan selama masa transisi. Di daerah, dia memaparkan, BRIN hanya memiliki fasilitas ruang kerja bersama dan kawasan koleksi ilmiah, seperti kebun raya, stasiun bumi, dan stasiun lapangan. Sedangkan 85 pusat riset berada di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, serta Serpong, Bandung, Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Yogyakarta.
Di tengah transisi besar yang dihadapi BRIN, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro memberikan pandangan tentang arah yang seharusnya diambil lembaga ini. Menurut dia, lembaga penelitian tidak seharusnya diatur. “Lembaga penelitian harus fleksibel dan punya kebebasan agar muncul ide-ide itu,” kata Satryo di kantornya, Rabu, 30 Oktober 2024.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 1999-2007 ini mengingatkan bahwa kebijakan pemindahan periset tersebut membuat BRIN justru menghadapi tantangan besar. “BRIN sekarang sangat sulit karena ruang geraknya dibatasi. Riset bukan hanya soal kenyamanan, melainkan juga iklim,” dia mengungkapkan. Aturan yang berlebihan justru akan menghambat inovasi dan membuat peneliti merasa seperti robot. “Begitu diatur, semuanya mandek,” tutur Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia 2017-2023 itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Resah Peneliti karena Sentralisasi"