Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harimau Sumatera satu-satunya spesies harimau yang dimiliki Indonesia setelah dua lainnya menghilang.
Populasi harimau Sumatera saat ini berkisar 560-600 individu.
Tiga aktivitas manusia yang mengancam populasi harimau.
Satu keluarga harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan tak bernyawa di dalam hutan lindung dekat Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, Aceh, 24 Agustus lalu. Lokasinya sekitar 302 kilometer dari Banda Aceh. Induk betina terjerat kawat baja di leher dan kaki belakang kiri. Satu anak yang berada didekatnya terjerat di leher. Satu anak lain yang berjarak sekitar lima meter terjerat di kaki kiri depan dan belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawat baja lazim dipakai untuk menjerat babi hutan, rusa, dan satwa liar lain. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengaku belum tahu pasti motif petani di Desa Ie Buboh memasang jerat di kawasan hutan lindung. "Yang jelas, yang terkena jerat itu harimau. Kalaupun untuk menjerat babi di kawasan hutan, tidak diperbolehkan. Babi itu kan makanan harimau," katanya, Kamis, 16 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kepolisian Resor Aceh Selatan Ajun Komisaris Besar Ardanto Nugroho mengatakan lokasi pemasangan jerat itu lebih-kurang 20 meter di area hutan lindung. Polisi sudah menetapkan pemasang jerat sebagai tersangka yang melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. "Apakah ini bagian dari perburuan harimau, belum kita temukan," ujarnya, Jumat, 17 September lalu.
Harimau Sumatera satu-satunya spesies harimau yang dimiliki Indonesia setelah dua lainnya menghilang. Harimau Bali (Panthera tigris balica) punah pada 1940 dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) lenyap pada 1984. Jumlah populasi harimau Sumatera saat ini berkisar 560-600 individu. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menetapkan harimau Sumatera berstatus kritis (critically endangered).
Praktisi konservasi Hariyo Wibisono mengatakan, dalam penetapan status satwa kritis seperti harimau Sumatera, lebih baik digunakan perkiraan konservatif ketimbang optimistis. "Kalau optimistis, kan, kita percaya kondisinya masih baik, padahal kenyataannya tidak, nanti penanganannya salah. Mungkin lebih santai, lebih longgar," tutur pria yang akrab dengan sapaan Beebach dan berpengalaman selama 25 tahun di bidang konservasi ini.
Beebach menilai kasus di Meukek itu memberikan indikasi bahwa perburuan—sengaja atau tidak—masih terjadi. "Sudah lama kita ingin pengaturan soal sling. Tampaknya susah diwujudkan karena kebutuhannya kan untuk macam-macam. Bukan khusus jerat satwa," ucap ahli konservasi yang meraih gelar doktor ekologi satwa liar dari University of Delaware, Amerika Serikat, pada pertengahan tahun ini tersebut.
Ketua Forum Harimaukita Ahmad Faisal mengidentifikasi tiga hal yang mengancam populasi harimau. Pertama, perburuan karena ada permintaan bagian tubuh. Kedua, konflik dengan manusia. Ketiga, hilangnya habitat. "Perburuan ini cara menangkapnya dengan jerat. Jerat ini sifatnya indiscriminate killer, tidak pilih- pilih. Itu jadi masalah nyata dan serius," katanya, Selasa, 14 September lalu.
Data kasus perdagangan harimau memang membuat risau. Menurut organisasi pemantau perdagangan satwa liar TRAFFIC, selama 2000-2018, harimau yang ditangkap dan diperdagangkan di Indonesia sebanyak 266 individu. Secara rata-rata, 14 harimau diperdagangkan setiap tahun. Melihat data itu, Faisal menjelaskan, kondisi harimau sangat memprihatinkan dan populasinya terancam.
Dua ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan mati di kawasan hutan Gampong Ie Buboh, Meukek, Aceh Selatah, 25 Agustus 2021. ANTARA/Hasan
Dalam enam tahun terakhir, menurut data yang dihimpun Tempo, daerah yang paling banyak mencatat pengungkapan kasus perdagangan harimau adalah Jambi. Dari 92 operasi penangkapan sejak 2015 sampai 2021, harimau yang diburu dan diperjualbelikan sebanyak 123 individu. Sebanyak 23 penangkapan terjadi di Jambi, 11 di Aceh, dan 11di Sumatera Utara.
Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh mengatakan tahun lalu pihaknya menangkap pedagang harimau. "Sudah dalam bentuk potongan kecil. Ada puluhan potong kulit, tulang, dan gigi harimau," tuturnya saat ditemui di kantornya, Rabu, 15 September lalu. Namun jaringan itu tak mudah diungkap. "Seperti jaringan pengedar narkotik dan obat-obatan terlarang. Sulit diungkap."
Indikasi masih tingginya angka perburuan bisa dilihat dari banyaknya temuan jerat. Menurut Abdul Hadison dari Fauna & Flora International Indonesia Programme, setiap kali Fauna & Flora International Indonesia dan Balai Taman Nasional Kerinci Seblat melakukan patroli sapu jerat, pasti ditemukan jerat harimau di kawasan tersebut serta hutan penyangganya. "Bisa sampai 80 jerat yang ditemukan," ucapnya, Rabu, 15 September lalu.
Perburuan dan perdagangan harimau tidak bisa dipisahkan. Rudi Putra, Penasihat Senior Forum Konservasi Leuser, menyebutkan organ harimau diburu dan diperdagangkan karena dihargai mahal. Dari kulit, tulang, taring, hingga kuku harimau, semuanya laku. "Umumnya untuk ekspor," ujarnya, Kamis, 16 September lalu. Tulang harimau biasanya dipakai sebagai bahan obat.
Abdul Hadison menambahkan, maraknya perburuan tak lepas dari adanya permintaan pasar. "Harga yang ditawarkan cukup menggiurkan. Satu lembar kulit harimau harganya bisa sampai Rp 50 juta," katanya. Menurut Ahmad Faisal, dengan kondisi seperti itu, yang berlaku adalah hukum permintaan dan penawaran.
Masalah lain yang mengancam populasi adalah konflik harimau dengan manusia. Rudi Putra mengatakan konflik ini kerap terjadi di Aceh. Pada 29 Juni 2020, seekor harimau Sumatera ditemukan mati di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan. Satwa dilindungi ini mati akibat keracunan setelah memangsa kambing. Ada jejak racun pestisida di dalam perut si belang.
Peristiwa serupa terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 10 Juni 2020. Satu harimau jantan yang panjangnya 150 sentimeter dengan berat 75 kilogram ditemukan mati diracun di Desa Ranto Panjang, Kecamatan Muara Batang Gadis, yang merupakan daerah penyangga Taman Nasional Batang Gadis. Harimau itu mungkin diracun karena berkeliaran di sekitar permukiman dan memakan ternak penduduk.
Ahmad menambahkan, tak semua cerita tentang konflik tersebut terjadi karena satwa liar ini memangsa ternak. Dia menyebutkan peristiwa pada 2016, saat ada orang diterkam harimau di Taman Nasional Berbak-Sembilang di Jambi-Sumatera Selatan. Saat itu ada warga yang berburu harimau dengan kawat listrik. Harimau tersengat, tapi tidak mati. "Harimau itu menyerang penduduk sampai meninggal," ucapnya. Peristiwa itu bukan konflik, melainkan perburuan.
Ihwal turunnya harimau ke permukiman, banyak penyebabnya. Menurut Beebach, harimau turun karena mangsa berkurang atau lanskap habitat yang kecil. Harimau betina dewasa memiliki kawasan jelajah 30 kilometer, sementara jantan dewasa 100-150 kilometer. Hal itu membuat harimau keluar dari hutan. "Kebiasaan masyarakat memelihara ternak tanpa dikandangkan juga faktor yang menarik keluar harimau," ujarnya.
Faktor lain adalah karakter harimau yang disebut Beebach sebagai makhluk "teritorialitas". Saat anak harimau tumbuh dewasa, dia menerangkan, ia akan berpisah dari induknya dan mengembara mencari daerah yang belum berpenghuni. Pada saat itu, bisa saja harimau berinteraksi dengan manusia. "Sebagian besar harimau yang berkonflik itu individu muda," tuturnya.
Menurut Rudi Putra, perubahan fungsi lahan dan tumpang-tindih area dengan permukiman manusia juga bisa mendorong harimau keluar dari hutan. Pembukaan suatu lahan dibuka biasanya diikuti tumbuhnya rumput liar yang mengundang rusa dan kijang datang. Dua satwa itu adalah makanan utama harimau. "Karena mereka datang ke sana, harimau mengikuti.”
Secara umum, Rudi menambahkan, warga sekitar hutan di Aceh sebenarnya bersahabat dengan harimau. Bahkan di beberapa tempat harimau disebut sebagai datuk alias nenek. Cuma karena diiming-imingi pemburu, ada warga yang mengikuti jejak berburu.
Beebach juga menyebutkan ihwal kearifan lokal itu dan kasus harimau Sipogu sebagai salah satu contoh. Harimau itu meresahkan warga karena muncul di perkebunan di Pasaman Barat, Sumatera Barat, pada 14 Juli lalu. BKSDA Sumatera Barat lantas menangkapnya. Masyarakat meminta harimau itu dilepaskan. BKSDA kemudian melepaskannya pada 29 Juli lalu, bertepatan dengan perayaan Global Tiger Day 2021.
Berkurangnya daya dukung alam dan habitat serta banyaknya perburuan membuat praktisi konservasi risau akan populasi harimau Sumatera. Menurut Beebach, secara hipotetis, melihat tingginya angka perburuan yang dirilis TRAFFIC, konflik dengan manusia, dan penurunan jumlah satwa mangsa akibat flu babi Afrika, populasi harimau Sumatera ditaksir turun. "Seberapa jauh penurunannya, kita belum tahu," tuturnya.
Rudi Putra punya keyakinan bahwa jumlah populasi harimau Sumatera di wilayah Aceh justru meningkat. Kamera jebak di beberapa lokasi merekam harimau dengan anaknya. Di beberapa tempat juga terlihat kehadiran harimau. Namun jumlahnya berkurang dari puluhan ekor pada tahun lalu. "Zaman kakek saya, harimau di mana-mana. Sekarang terbatas di hutan saja," kata pria kelahiran Aceh ini.
Memang, tidak mudah melindungi populasi harimau. "Kan, tidak mungkin memagari semua wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat yang 13 juta hektare atau Leuser-Ulu Masen yang seluas 27 juta hektare," ucap Beebach. Yang bisa diperkuat adalah kegiatan intelijen, termasuk kerja sama lintas batas.
Agus Arianto mengatakan BKSDA Aceh menempuh berbagai upaya untuk mengatasi perburuan dan meminimalkan konflik manusia dengan harimau. "Selain patroli bersama, ada peningkatan kesadaran masyarakat sekitar kawasan dan daerah yang punya tingkat konflik tinggi," ujarnya. Masyarakat disadarkan agar tidak ikut berburu dan tak melihat harimau sebagai hama.
Penyadaran ini sangat penting. Sebab, kata Beebach, harimau memiliki fungsi ekologis, yaitu mengendalikan satwa-satwa di bawahnya, seperti babi dan rusa. "Dia predator puncak," tuturnya. Tidak terkendalinya babi dan kawan-kawan ini akan membuat tanaman kecil tidak bisa tumbuh besar karena lebih dulu dimakan satwa liar tersebut.
Agus menambahkan, sifat harimau seperti satwa liar lain, yaitu menghindari manusia kalau tidak terdesak. Di alam, harimau berfungsi menjaga keseimbangan. Berlebihnya populasi salah satu satwa berdampak ke sekitar kawasan hutan. Selain itu, ada alasan religi. "Tuhan menciptakan makhluk, pasti ada manfaatnya," ucapnya.
Menurut Beebach, alasan ekologislah yang sebenarnya penting bagi manusia untuk menjaga harimau. "Untuk ke masyarakat umum, pendekatan religi mungkin lebih relevan daripada argumentasi ekologis," katanya. Ada pula kepentingan politik dalam urusan harimau karena masuk pengawasan IUCN. "Kalau sampai punah, nama kita yang jelek".
RAMOND EPU (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo