Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bintang di tengah malam itu adalah Emiliano Martinez, 30 tahun. Di Stadion Lusail, dia menjadi pahlawan bagi kemenangan Argentina atas Belanda dalam adu sepak penalti di babak perempat final. Dua tendangan pemain Belanda, Virgil van Dijk dan Steven Berghuis, berhasil dia gagalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Martinez pun menari di depan fan Argentina. Sebelumnya, saat menghadapi algojo dari De Oranje, dia melihat ke arah fan Argentina di belakangnya dan meminta mereka mengganggu pemain lawan saat mengambil penalti. Kebisingan pun memekakkan telinga di dalam stadion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepakan terakhir, Lautaro Martinez, yang tak terbendung oleh kiper Belanda, Andries Noppert, menjadi penentu kemenangan. Dia pun merebahkan dirinya di atas rumput. Argentina menang 4-3 setelah pertandingan berakhir 2-2 yang menelan waktu lebih dari dua jam.
Emiliano Martinez saat menggagalkan penalti bek Belanda Virgil van Dijk di Stadion Lusail, Lusail, Qatar, 10 Desember 2022. REUTERS/Kai Pfaffenbach
“Puji Tuhan, saya menyelamatkan dua,” kata Martinez. “Saya tidak bisa melakukan saves di sepanjang laga, tapi saya membantu mereka di adu penalti.”
Emi, panggilannya—dalam skuad Argentina di Qatar juga ada Lautaro Martinez dan Lisandro Martinez—sekali lagi menjadi hero adu penalti. Tapi ini bukan yang pertama. Tahun lalu, dalam semifinal Copa America, penjaga gawang Aston Villa ini menyingkirkan tiga sepakan pemain Kolombia, Davinson Sanchez, Yerry Mina, dan Edwin Cardona.
Seperti yang dilakukan saat melawan Belanda, Martinez pun menggempur mental lawan. Kepada Davinson, dia berteriak akan menghentikan sepakan penaltinya. “Kamu tertawa karena kamu gugup,” katanya kepada Yerry Mina. “Aku tahu, kok.”
Teror yang sempurna. Argentina menang 3-2 melalui adu penalti dan melaju ke final. Dalam laga akhir, mereka menundukkan Brasil. “Kami punya Dibu (julukan Martinez) dan dia fenomenal,” kata Lionel Messi, sang kapten, memuji keandalan kipernya.
Emiliano Martinez bersama Lionel Messi merayakan kemenangan atas mengalahkan Belanda d Stadion Lusail, Lusail, Qatar, 10 Desember 2022. REUTERS/Carl Recine
Prestasi yang sangat istimewa. Kemenangan ini pula mengakhiri penantian 28 tahun Argentina untuk gelar Copa America. Terakhir terjadi pada 1993, saat Martinez berusia 1 tahun dan masih dalam pelukan ibunya, Susana.
Martinez lahir dan tumbuh di Mar del Plata, kota di pantai Atlantik selatan Buenos Aires. Ekonomi orang tuanya jauh dari berkecukupan. Untuk makan saja sulit. Susana merupakan petugas kebersihan di apartemen. Sedangkan bapaknya, Alberto, sopir truk pengantar ikan.
Namun dia memiliki harapan di lapangan sepak bola. Pada usia 12 tahun, dia masuk Club Atlético Independiente di Buenos Aires. Dia mendapat julukan "Dibu", karakter animasi yang tengah populer di sana. Pada usia 17 tahun, dia terbang ke London untuk menjalani trial di klub Arsenal.
Sebenarnya Dibu Martinez ogah meninggalkan keluarganya. Namun jumlah uang yang didapat membuatnya terpaksa pergi. Pendapatan di sana bisa membantu keluarganya. Tak hanya berlatih di bawah gawang, dia pun cepat belajar berbicara bahasa Inggris, yang menjadi satu kunci keberhasilan kariernya di kemudian hari.
Namun kariernya di London jauh dari mulus. Meski sempat membela tim Argentina junior, untuk bisa dilirik bermain di tim senior rasanya sulit. Di sana dia seperti pemain spesialis pindahan. Berbagai klub pernah memakai jasanya, antara lain Oxford United, Sheffield Wednesday, Rotherham United, Wolves, dan Reading. Pelatih Arsenal kala itu, Arsene Wenger, tak melihat keistimewaannya.
Empat tahun lalu, dalam Piala Dunia di Rusia, saat Argentina tersingkir oleh Prancis di babak 16 besar, Martinez hanya menyaksikannya di televisi. Saat itu dia baru saja menyelesaikan masa pinjamannya dari Getafe. Semusim di sana, dia hanya beroleh kedukaan, yakni bermain sebanyak enam kali. Pengalaman buruk itu membuatnya frustrasi bahkan hampir saja dia memutuskan untuk berhenti dari sepak bola. Itu merupakan fase terburuk dalam kariernya.
Kedatangannya Unai Emery pun tak membuat kariernya berubah. Barulah saat Mikel Arteta datang, nasibnya sedikit berbeda. Itu pun terjadi setelah Bernd Leno, kiper pertama klub itu, cedera. Martinez memulai 11 pertandingan tersisa dan membantu Arsenal memenangi final Piala FA. Penampilannya tersebut menjadi yang terakhir. Dia pun pergi ke Aston Villa beberapa minggu kemudian.
Hampir bersamaan namanya mulai masuk dalam radar Lionel Scaloni, pelatih Argentina. Martinez diplot sebagai pelapis kiper Franco Armani. Sepeninggal Sergio Romero, Albiceleste memang kesulitan mendapatkan kiper terbaik. Martinez merupakan kiper kesembilan yang diambil Scaloni. Satu pertimbangannya, dengan bermain di Liga Premier, tentunya dia punya pengalaman menghadapi striker kelas dunia yang berkumpul di sana.
#Info Piala Dunia 3.1.1-Damian Emiliano Martinez
Selama di Aston Villa, beruntung dia bertemu dengan Neil Cutler. Pelatih kiper itulah yang berusaha keras menggali kehebatannya menjaga gawang. Cutler mendorong Martinez untuk menunjukkan kepribadian dalam permainannya, termasuk membiarkannya menjadi “liar”.
Seperti terlihat saat penalti, Bruno Fernandes gagal menjebol gawangnya. Di depan para pendukung Manchester United di Old Trafford, dia sempat menggoyangkan pinggulnya. Dalam kesempatan lain, seusai laga melawan Brighton, dia lari ke tribun pendukung timnya. Dia bernyanyi bersama sebelum melemparkan kausnya ke tribun. Pemandangan yang menjengkelkan tim lawan memang.
Itu pula yang diperagakan sesaat setelah Argentina dipastikan menjadi pemenang. Dia berlari ke arah bangku Belanda. Seperti pemain Argentina yang marah kepada Louis van Gaal, yang sempat sesumbar akan memenangi lewat adu penalti, dia pun ikut tersulut emosinya.
Ucapan Van Gaal membuat mereka kesal. Namun, di saat lain, ocehan itu menjadi bahan bakar untuk tampil di lapangan. “Mereka yang banyak bicara hal bodoh sebelum pertandingan itu membuat saya lebih kuat,” kata Martinez.
Kekuatan itu pula yang tentu akan menyala lagi di Stadion Lusail saat Argentina meladeni Kroasia dalam laga semifinal.
IRFAN BUDIMAN | BARRON |WASHINGTON POST
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo